BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillahi
Rabbil A’laimien. Segala puji
bagi Allah swt, Rabb seluruh alam. Dia lah yang telah memberi peringatan kepada
Nabi-Nya, Muhammad SAW, dengan penegasan:
“orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sehingga kamu mengikuti agama
mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Dari segi
keamanan, Allah SWT pun telah memberi peringatan kepada umat Islam:
“Mereke tidak
henti-hentinya memerangi kamu samapai mereka dapat mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup....” (QS. Al-Baqarah:
217).
Dalam menghadapi serangan mereka itu, Allah SWT telah memberi
petunjuk kepada kaum Muslimin:
“Dan janganlah
kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita
kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana
kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka
harapkan,..” (QS. An-Nisa’: 104).
Provinsi Maluku,
yang saat 1999 lalu menjadi fokus perhatian karena ratusan orang-orang Muslim
dibantai secara keji oleh orang-orang Kristen dan ribuan lainnya terpaksa
mengungsi, adalah salah satu provinsi RI yang terletak di wilayah Indonesia
Bagian Timur (IBT/WIT), yaitu di antara pulau Sulawesi dan Pulau Irian. Wilayah
ini terdiri dari lebih seribu pulau, besar dan kecil. Karena itu sering disebut
“Daerah Seribu Pulau”. Provinsi yang luasnya 85.728,36 km2 (4,2% luas
Indonesia) berpenduduk 1.851.087 jiwa (1992), kurang lebih 2 juta jiwa pada
1999. Di Maluku, terdapat banyak suku bangsa: Ternate, Seram, Buru, Takabu,
Tobelo, Akifuru, Wemale, Rana, Moa, Togiti, dan Banda. Komposisi pemeluk agama
pun di sana sangat variatif di mana Islam adalah agama mayoritas (Islam 54%,
Kristen 44,3%, dan lain-lain 1,7%). Dengan komposisi penduduk seperti ini, maka
adalah salah jika banyak orang memproyeksikan bahwa Maluku adalah wilayah
orang-orang Kristen. Maluku adalah Islam, meski orang-orang Islam di sana tidak
menjadi elit penentu dalam pemerintahan.
Wilayah
administratif Maluku terdiri dari Kabupaten 3 buah, Kotamadya 1 buah, daerah
administrasi 1 buah, Kecamatan 56 buah, Kelurahan/Desa 1511 buah. Dengan Ibu
kotanya Ambon, Maluku hanya memiliki 2 buah pelabuahan laut: Ambon, Ternate.
Namun wilayah propinsi seribu pulau ini memiliki 3 buah pelabuhan udara: Pattimura(Ambon),
Sultan Babullah (Ternate), dan Bandaneira (Banda). Hasil utama pertanian Maluku
adalah kelapa, pala, cengkeh dan kopi yang juga mayoritas dihasilkan oelh para
petani Muslim. Hasil utama perikanan adalah ikan laut, rumput laut, mutiara
yang dikerjakan oleh sedikit Muslim di sana. Sementara hasil utama kehutanan
(kayu dan kayu putih) dan hasil industri seperti minyak pala, minyak kelapa,
kayu lapis, kayu olahan serta hasil bahan tambang (minyak bumi, mangan, batu
perhiasan, dll) rata-rata dikuasai oleh elit Kristen di sana.
Provinsi Maluku beriklim tropis, yang dipengaruhi oleh perairan
lautnya yang luas. Pada umumnya dalam setahun terjadi empat kali pergantian
musim, yaitu musim hujan, musim pancaroba, musim kering dan musim pancaroba
kembali sebelum memasuki musim barat.
Gugus Kepulauan
Maluku berbentuk Relief-relief yang sanagt besar, di mana palung-palung oceanis
dan punggung-punggung pegunungan saling bersambung dengan sangat mencolok.
Permukaan tanah di pulau-pulaunya, didominasi oleh tanah perbukitan dan
pegunungan. Paparan dataran rendah yang tidak terlalu luas terdapat di
sepanjang pantai dan muara sungai, seperti yang terdapat di beberapa pulau
besar yaitu Pulau Morotai, Pulau Halmahera, Pulau Obi, Pulau Seram, Pulau Buru,
Pulau Tanimbar, dan Pulau Aru.
Masyarakat Ambon adalah masyarakat yang sudah lama terintegrasi
dengan sistem politik Belanda ketika VOC pertama datang mengeksploitasi
rempah-rempah cengkeh di sana bersama dengan diperkenalkannya agam Kristen bagi
masyarakat Ambon. Di mana pada saat monopolo perdagangan di Maluku ini Belanda
juga gencar-gencarnya mengKristenkan warga-warga Ambon. Kemudian warga Ambon
yang Kristen diberikan keistimewaan dalam beberapa kedudukan, meskipun tidak
tinggi. Nampaknya hal ini membuat warga Ambon Kristen merasa bersaudara dengan
kolonial Belanda, sehubungan dengan agama mreka yang sama.
Wilayah yang
bermotto Siwa Lima yang artinya “milik bersama” ini memiliki cara hidup
toleransi dan demokrasi yang sangat bagus. Segala sesuatau dianggap
“milik bersama” yang dijaga secara baik-baik. Bahkan Ali Moertopo dulu pernah menunjukkan contoh toleransi beragama adalah Ambon atau Maluku. Atas dasar Siwa Lima, memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun, nampaknya dilihat dari tragianya tragedi yang terjadi di Ambon 1999 lalu, terlihat bahwa rasa toleransi dan demokrasi itu kini telah pudar dan terkikis. Dikalangan beberapa tokoh, ada yang berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ketakutan Ekstrim Nasrani terhadap kekuasaan dan dominasi Islam. Ada pula yang berpendapat, bahwa hal ini merupakan hasil dari politi oknum-oknum tertentu yang menginginkan sesuatau.
“milik bersama” yang dijaga secara baik-baik. Bahkan Ali Moertopo dulu pernah menunjukkan contoh toleransi beragama adalah Ambon atau Maluku. Atas dasar Siwa Lima, memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun, nampaknya dilihat dari tragianya tragedi yang terjadi di Ambon 1999 lalu, terlihat bahwa rasa toleransi dan demokrasi itu kini telah pudar dan terkikis. Dikalangan beberapa tokoh, ada yang berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ketakutan Ekstrim Nasrani terhadap kekuasaan dan dominasi Islam. Ada pula yang berpendapat, bahwa hal ini merupakan hasil dari politi oknum-oknum tertentu yang menginginkan sesuatau.
Oleh karena itu penulis merasa terpanggil untuk menampilkan tema
Tragedi Ambon berdarah ini. Mudah-mudahan penjelasan dalam makalah ini dapat
membantu memperjelas serta menambah
khasanah pengetahuan penulis juga dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pudarnya
Budaya Demokrasi di Maluku Berbuah Tragedi Ambon Bersimbah Darah
I.
Demokrasi
Budaya Maluku Menurut Beberapa Pandangan[1]
Jika Demokrasi merupakan sebuah sistem yang menghendaki adanya
persamaan status dalam kehidupan riil sehari-hari maka Maluku merupakan
suku yang ada di Indonesia, yang mempunyai relevansi dengan sistem demokrasi.
Bagi orang Maluku tingginya heterogenitas yang ada di Masyarakat ini merupakan
aset pembangunan, sebatas keragaman itu bisa dimanfaatkan sebagai media
pertukaran, yang satu sama lain bisa saling mengisi dan mendukung bagi proses
pembangunan.
Akar
kehidupan masyarakat Maluku bermula dari sebuah sistem yang bernama pela.
Pela ini merupakan sebuah komunitas yang mempunyai sistem nilai yang khas. Pela
terbentuk atas dua desa atau lebih, yang karena kesamaan adat kemudian
mengintegrasi dirinya dalam satu pela. Warga dalam satu pela ini
ibaratnya telah menjadikan darah mereka menjadi satu saudara. Persoalan yang
dihadapi oleh salah seorang warga dalam satu pela kemudian menjadi
persoalan bersama. Yang terjadi kemudian masyarakat dalam pela ini
membentuk sebuah mekanisme musyawarah untuk mengatasi permasalahan yang ada di
wilayah pela itu.
Wujud
dari kerjasaman antar saudara satu pela itu dapat dilihat dari sistem
gotong-royong yang ditegakkan. Jika pela itu terbangun atas desa yang
mempunyai agama berbeda, misalnya warga pela dari satu dcsa beragama
islam sedang membangun masjid, maka saudara satu pela dari desa lain
yang beragama lain, misalnya Kristen juga turut membantu. Begitu juga jika
warga Kristen membangun gereja, maka saudara sepela dari agama Islam
juga akan turut membantu.
Dalam
implementasinya sistem pela juga memiliki fungsi melindungi warga pela
dari ancaman pihak luar. Karena heterogenitas yang ada di komunitas ini
kemudian memungkinkan terjadinya konflik. Hal inilah yang kemudian membuat
integritas yang ada pada masing-masing pela menjadi aset bagi ketahanan
di sebuah pela, yang kemudian manfaatnya dapat dirasakan bagi kedamaian,
ketenangan dan kesejahteraan hidup bersama.
Sistem
pela dalam masyarakat Maluku mengandung dua unsur pokok yang sangat
bermakna, yaitu rasa ketergantungan dan saling memberi. Dalam kedua unsur ini
masyarakat yang memiliki hubungan pela
terintegrasi dalam satu hubungan yang harmonis di mana mereka saling menghargai
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini bersama.
Dalam
suatu forum musyawarah adat suatu pela, yang lebih berperan adalah
Raja/Upu Latu sebagai kepala persekutuan mayarakat adat. Sistem yang ada di
Kepulauan Kei misalnya, tidak pernah punya atasan, karena sesama raja
sederajat. Walau persamaan itu tentu tetap menimbulkan perbedaan posisi antara
raja dan rakyat. Perbedaan posisi ini diantaranya diperkuat dengan adanya hukum
adat. Ketika terjadi peristiwa adat dengan menyembelih binatang kurban misalnya,
maka raja dan perangkat kerajaan lain mendapatkan bagian tertentu dari binatang
yang dibunuh itu, yang hal itu menggambarkan adanya perbedaan posisi antara
yang satu dengan yang lainnnya. Implikasi lebih jauh juga terjadi dalam
musyawarah. Bagi pengendali kekuasaan yang paling strategis tentu mendapatkan
posisi yang paling strategis pula dalam hal pembuatan kebijakan. Perbedaan
status ini yang kemudian dalam dataran berikutnya menimbulkan adanya
stratifikasi sosial dalam masyarakat khususnya yang terjadi di Kepulauan Kei.
Masyarakat terbagi dalam beberapa kelas; Mel-Mel (bangsawan), Ren-Ren (rakyat
biasa), Iriri (budak). Pemegang kekuasaan kemudian merupakan hak dari golongan tertentu
saja.
Walau
sebenarnya golongan penguasa itu kemudian berusaha menyampaikan aspirasi dari
masyarakat adat masing-masing (pela) ketika terjadi rapat/musyawarah
antar raja. sehingga yang terjadi kemudian, kini kemudian masyarakat Maluku
terdiri dari banyak kerajaan kecil yang terbentuk atas masarakat adat, yang
masing-masing mempunyai kekhasan tertentu. Masing-masing kerajaan ini mempunyai
otonomi yang cukup tinggi, sehingga tidak tejadi saling menguasai. Posisi antar
kerajaan ini yang sepadan kemudian memungkinkan terjadinya yang relatif
demokratis dalam kerjasama antar kerajaan lokal, yang secara paralel kehidupan
demokratis ini terjadi dalam masyarakat daam satu pela.
A.
Pandangan Erly
Laiwakabessy terhadap Demokrasi Budaya Maluku[2]
Daerah Maluku sebagai bagian integral dari wilatah Indonesia
memiliki ciri khas. Hal ini dapat dilihat dari keadaan geografisnya yang dapat
dikatakan sebagai Indonesia Mini. Di mana selain sekitar seribu pulau yang
disatukan oleh laut yang laas (laut luasnya 765.272 km2 dan luas daratannya
85.729 km2) dengan perbandingan luas lautan dan daratannya sebesar 9:1. Di samping
itu di daerah ini juga memiliki tradisi, adat istiadat, agama yang berbeda.
Menurut Erly
Laiwakabessy yang dimaksud dengan akar kehidupan sosial budaya Maluku ini ialah
apa yang disebut dengan “pela” sebagai suatu sistem nilai dalam
kehidupan masyarakat di daerah ini.
Apabila diperhatiakan secara mendalam maka akan diketahui bahwa
sistem pela mempunyai kaitan erat dengan kehidupan sosial budaya
masyarakat adat Maluku. Secara umum ada anggapan bahwa persekutuan pela
merupakan salah satu organisasi, namun “pela” dapat pula dilihat sebagai suatu
sistem nilai budaya karena makna dan hakekat “pela” ini memiliki penekanan yang
berbeda seperti “Pela Tempat Sirih”, “Pela Tulen” (Pela Keras) atau ada yang
menamakannya “Pela Minum Darah”.
Sistem “pela” di Maluku sebagai suatu tradisi dalam berdemokrasi
dapat dilihat dalam aspek musyawarah adat yang di dalamnya selalu diusahakan
suatu mufakat dengan menjunjung tinggi asas kekeluargaan untuk kepentingan
bersama. Kenyataan ini dapat dilaksanakan karena ada pengaruh nilai-nilai
fundamental dalam sistem “pela” yang mencegah terjadinya konflik yang selalu
menumbuhkan hubungan harmonis (P.J Pelupessy, 1993). Selanjutnya akan dilihat
juga perkembangan masyarakat Maluku dewasa ini serta kemungkinan-kemungkinan
melestarikan segi-segi positif dari sistem budaya yang telah ada sejak zaman
dahulu.
II.
Latar Belakang
Historis Terbentuknya Sistem Pela di Maluku
Hal-hal umum tentang pela dapat ditemukan dalam
penulisan-penulisan yang dilkukan oleh F.L P Sachse (1907): Seram en Zijne
Bewoners, J.P Cooley (1962) :Ambonese Adat; A General Description atau dalam
Ambonese kin groups, ethnologi (1966); Altar and Throne in Central Moluccan Societies
(1968), A lang Sebuah Desa di Pulau Ambon.
Menurut pemahaman masyarakat asli Maluku bahwa pulau Seram yang
dikenal dengan julukan ‘Nusa Ina’ yang berarti ‘Pulau Ibu’ merupakan pusat asli
penduduk Maluku di masa silam (tempat keluarganya orang Maluku). Karena situasi
politik yang tidak menguntungkan pada masa sekitar abad 14 dan 15 yaitu seiring
terjadi pergolakan yang berkepanjangan seperti yang terjadi di Maluku Utara,
maka dapat ditelusuri munculnya persekutuan “pela”. Persekutuan “pela” ini
sebenarnya telah tertanam dalam kehidupan adat masyarakat yang ada di pulau
Seram dan sekitarnya seperti pulau Ambon, Pulau Nusalaut, Pulau Saparua, Pulau
Haruku, dan beberapa daereah lainnya di Maluku.
Untuk memahami proses timbulnya ikatan “pela” ini perlu diketahui
bahwa dalam kehidupan masyarakat Maluku terdapat berbagai organisasi dalam
struktur masyarakat adat yang memiliki multi fungsi dan telah ada selama
berabada-abad yang lalu. Seperti yang terdapat dalam masyarakat pedesaan di
Maluku dengan ciri yang menyolok baik itu menyangkut organisasi adatnya maupun
tujuan dan fungsinya di mana kesemuanya memiliki kepantingan politik di masa
lalu. Misalnya organisasi Pata Siwa dan Pata Lima yang dapat ditemui di Pulau
Seram dan sekitarnya merupakan suatu organisasi untuk menghimpun kekuatan
politik yang dulunya merupakan organisasi kemiliteran atau Pata Alune (Halune)
dan Pata Waimale (Memele) yang ada sebelum Pata Siwa dan Pata Lima, organisasi
Kakehang dan organisasi lainnya yang khas. Menurut pengetahuan masyarakat Seram
organisasi-organisasi ini telah ada sebelum pecahnya perang Huamual.
Untuk organisasi
adat Maluku, organisasi Pata Lima dan Pata Siwa memiliki pengaruh yang sangat
besar, karena organisasi ini melahirkan berbagai tradisi, yang menjadi nilai
budaya masyarakat Maluku sampai kini.[3]
Namun dilihat dari latar belakang terjadinya “pela” menurut sejarah
dan kenyataan terjadinya, “pela” itu berbeda satu dengan yang lainnya, tetapi
tujuan tetap sama yakni, “Bekerja sama hubungan “pela” sebagai balas jasa dari
negeri yang satu kepada negeri yang lain yang pernah membantunya baik dalam
lapangan politik (peperangan) maupun dalam lapangan sosial (bencana alam,
pertolongan di Laut, dll); 2) hubungan “pela” sebab ada hubungan
persaudaraan anatara negeri yang bersangkutan
menurut cerita dari datuk-datuk mereka bahwa mereka adalah saudara kandung.
Contoh: Rumahkay dan Rutong; 3) hubungan “pela” sebab terjadinya hal-hal yang
luar biasa seperti negeri Latuhalat di tanjung Nusaniwe dan Alang di tanjug
Alang yang disebabkan larena kisah cinta. Hubungan “pela” di Maluku
dibedakan dalam beberapa hal/peristiwa
yang mengawalinya, jadi semakin besar peristiwa yang mengawali semakin keras
sifat dari “pela” tersebut.[4]
Menurut pendapat F. Cooley bahwa “pela” ini terbentuk dalam abad ke
XVI di Maluku. Menurut Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya Ambon Bersimbah
Darah ada beberapa katagori “pela”
yakni antara lain: pertama Pela Keras/ Pela Lunak ini disebut
Pela sejati karena menurut anggapan pihak-pihak yang berkepentingan hubungan
“pela” ini diikrarkan bersama berdasarkan suatu perjanjian yang kemudian
diperkuat dengan angkat sumpah.Dalam perjanjian itu ditetapkan antara lain: (1)
Pela harus membantu pela dalam segala kesukaran dan kesusahan; (2) Pela harus
menepati janji yang pernah diucapkan terhadap “pela”; (3) Pela tidak boleh
kawin dengan pela; (4) Dengan demikian hubungan pela dengan pela sangat erat
sekali seperti hubungan Gandong. Bila peraturan ini dilanggar maka akibatnya
menurut kepercayaan turun temurun mereka
akan mengalami akibat yang sangat pahit, dengan kata lain akan mendapat musibah
dalam rumah tangga bila tetap melakukan perkawinan antar “pela”. Kedua,
“Pela Tempat Sirih”, dalam ikatan pela ini tidak berdasarkan penyumpahan
(angkat sumpah) jadi dapat dikatakan sebagai jenis pela ringan, yang terjadi
karena balas jasa (bantuan sosial, ekonomi, dll). Tempat sirih memegang peranan
yang sangat penting dalam usaha pendekatan antara satu negeri dengan negeri
yang lain. Jadi karena upacara pengangkatan “pela” diawali dengan makan sirih
maka “pela” ini disebut dengan “Pela Makan Sirih”. Ketiga, Pela Minum
Darah ini disebut dengan “Pela Perang”. Keempat, “Pela Darah”. Kelima,
“Pela Batu Karang”. Keenam “Pela Adik Kakak” atau “Pela Saudara”. Ketujuh,
“Pela Kawin”.[5]
Ada beberapa negeri yang mempunyai hubungan “pela” sesuai katagori
di atas: 1) Pela Keras/Pela Tuni: AMETH-SOAHUKU KARIUU-BOOI-ABORU-HUALOI; 2)
Pela Tampa Sirih/Angkat Sumpah: TIHULALE-HUKU ANAKOTTA KAIBOBU-12 Desa di GunungSeram; 3) Pela Perang/ Pela Minum
Darah: ROHOMONI-HATUHAHA-TUHAHA HATUHAHAH-OMA HATUHAHA-TIHULALE; 4) Pela Batu
Karang: BATUMERA-PASO OMA-ULLATH; 5) Pela Adik Kakak/ Pela Saudara: HUTUMURI,
SIRISORI-TIMILOU; 6) Pela Kawin: ALANG-LATUHALAT HITTU-LATUHALAT. Ada juga yang
disebabkan karena genealogical bonds antara lain Pela Gandong seperti:
KULUR-OMA, RUMAHKAI-RUTONG, HUKURILA-KILANG, EMA-NAKU. Salah satu “pela” sangat
mengikat umat Kristen dan Islam yaitu Pela; AMBALAU-NUSA LAUT.[6]
III.
Pela dalam
Masyarakat Adat di Maluku.
A.
Arti dan Makna
Pela
Arti kata pela berasal dari pila yang berarti buatlah sesuatu untuk
kita bersama dan kadang-kadang kata pila diberi akhiran “tu” sehingga menjadi
pilatu yang artinya menguatkan, mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda
tidak mudah rusak atau pecah. Kini kata “pila” telah berubah menjadi “pela”[7].
Sedangkan menurut Subyakto pela dapat diartikan sebagai persatuan/persekutuan
ataupun persahabatan antara warga-warga dari dua desa atau lebih yang
berdasarkan adat.[8]
Anggota-anggota dari organisasi-organisasi serupa mempunyai berbagai kewajiban
satu dengan yang lain, tetapi bisa mengharapkan bantuan spontan dari sesama
anggota organisasi dalam keadaan bahaya atau kesusahan.[9]
Dari pengertian ini “pela” memiliki makna yang sangat fundamental,
karena melalui “pela” terdapat suatu hubungan persaudaraan yang sangat
harmonis, di mana ada kewajiban-kewajiban
baik moril maupun materil yang saling mengisi, dan yang paling penting
adanya toleransi dari sesama warganya. Kenyataan ini dapat pula dilihat dengat
sifat masyarakat Maluku yang merasa keterkaitannya dengan sesamanya dan orang
lain sangat besar. Masyarakat di daerah ini selalu bersifat gotong-royong yang
menurut istilah setempat disebut “masohi”, di mana seseorang akan merasa
tersinggung jika tidak diikutsertakan dalam “masohi” apalagi jika masohi itu
dalam pertalian keluarga (Debdikbud, 1978)[10]
Yang sangat menarik dari pela ini ialah kenyataan di Maluku Tengah
bahwa pela ini bukan saja terjadi antar negeri yang menganut agama sama, tapi
juga negeri yang menganut agama yang berlainan agama. Misalnnya hubungan pela
antara negeri: Titawai (Kristen) di Nusalaut dengan Pelauw (Islam) di Pulau
Haruku. Tuhaha (Kristen) di Saparua
dengan Rohomoni (Islam) di Pulau Haruku. Hutumury (Kristen) di Jasirah Leitimur
dengan Tamilouw (Islam) di Seram Selatan.[11]
B.
Hakikat Pela
Berkaitan
erat dengan pengertian dan makna pela di atas, maka ada beberapa ciri yang
sangat prinsipil dalam aktifitas para anggota yang terkait di dalamnya, yaitu:
1)
“pela” dapat
mempersatukan warga dari dua desa atau lebih tetapi tidak bersifat persahabatan
belaka, karena hakikat persahabatan dapat diingkari, tetapi “pela”
melarang/mencegah para anggotanya untuk mengingkari janji yang telah disepakati
bersama, baik itu secara sengaja atau tidak sengaja. Janji “pela” hanya hanya
bersifat lisan tapi sangat mengikat dan harus dipenuhi.
2)
Di dalam
persekutuan “pela” terdapat integrasi nilai yang sangat mendasar, sehingga hakikatnya turut
menjiwai para warga, walaupun terdapat perbedaan dalam agama yang dianut tetapi
ikatan “pela” tidak pernah membedakan untuk itu, mereka tetap merasakan sebgai
orang bersaudara atau orang gandong/segandong.
3)
Pada hakikatnya
tradisi “pela” di tiap-tiap masyarakat adat memiliki ciri-ciri umum yang sama.
Akan tetapi dalam hal-hal tertentu seperti penggunaan bahasa, adat, simbol dan
lainnya sering ada perbedaan. Karena perbedaan proses terbentuknya “pela”
maka ikatan “pela” pada setiap kelompok
masyarakat tidak sama sehingga dalam kenyataannya ada “Pela Tempat Sirih” dan
“Pela Keras” (Pela Tulen) atau oleh sebagian orang dinamakan “Pela Minum
Darah”.
4)
Hakikat “Pela
Minum sirih” memiliki ciri yang berbeda dengan “Pela Keras” (Pela Tulen” atau
“Pela Minum Darah” dan begitu pula bentuk pela khusus yang dinamakan olah warganya dengan sebutan “Bongso/Bungsu”.
5)
“Makna Pela
Bongo/Bungsu” termasuk sangat spesifik dan sulit ditemukan pada masyarakat adat
di Maluku. Hanya dapat ditemukan pada desa-desa adat tertentu misalnya ada tiga
desa yang biasa menggunakan Bongso/Bungsu dalam masyarakat adat di Maluku. Yang
menurut cerita dipelihara secara turun-temurun tentang tiga orang bersaudara
yang menurunkan Desa-Desa; Tamilou di Pulau Seram (mayoritas beragama Islam),
Hutumuri di Pulau Ambon (mayoritas beragama Kristen) dan Siri Sori Amalatu di
Pulau Saparua (mayoritas beragama Kristen). Hubungan “Pela” tiga desa ini
sangat unik dan masih tetap dijaga kelestariannya dengan apa yang disebut
“Bikin Panas Pela” secara kontinu.[12]
IV.
Pudarnya Budaya
Demokrasi di Maluku dan Sejarahnya
A.
Pudarnya Budaya
Pela
Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya menyatakan bahwa Kerusuhan sosial
di Ambon tahun 1999 telah melibatkan serangkaian konflik religi dalam
masyarakat yang terkenal sangat menghormati “kesatuan persahabatan” (pela)
bukanlah kerusuhan biasa. Kerusuhan Ambon termasuk tragedi yang amat tragis
diantara banyak kerusuhan di Tanah Air.
Ketika bentrokan yang berlangsung
sejak Hari Raya Idul Fitri 1999 silam yang memuncak pada awal Maretnya,
Silahuddin Genda, seorong kontributor dari Ujung Pandang, segera terbang ke
Ambon. Dia berada di tengah-tengah massa ketika bentrokan demi bentrokan
berlangsung. Bahkan, bersama puluhan ribu Muslim, di sempat di Masjid Al-Fatah,
salah satu tempat pengungsian. “Dari masjid ini, saya mendengar suara tembakan
dan ledakan bom tak henti-henti,” lapor Sarjana Ilmu Politik dari
Universitas Hasanudin (1996),
Ujungpandang itu.[13] Bentrokan
memuncak lagi pada pekan berikutnya.
Rentetan peristiwa amat dramatis_bahkan lebih dramatis dari hari-hari
sebelumnya_berlangsung dari hari ke hari. Siang-malam Kerusuhan ini sudah lama
menjadi kekuatan potensial pada masa Orde Baru Soeharto. Adat pela sudah
lama diruntuhkan oleh orang-orang “radikal kiri” dan kemana-mana mereka selalu
mendakwahkan “agama kasih” pada orang-orang Islam. Penolakan orang-orang islam
dianggapnya sebagai suatu penghinaan sehingga disimpan lama dalam potensi
kerusuhan yang kemudian sengaja direkayasa meletus.
Kembali pada peristiwa kerusuhan, penulis akan mencoba
menghubungkannya dengan adat dan norma sosial masyarakat setempat (pela). Jika
diteliti lebih jauh, kerusuhan yang mengakibatkan kerugian mencapai miliaran
Rupiah, ratusan korban jiwa serta pembakaran tempat-tempat ibadah itu
mengindikasikan bahwa kerusuhan ini bertentangan dengan norma sosial-masyarakat
setempat, di mana secara teoritis pastilah merupakan kerusuhan politik yang di
dalamnya penuh dengan rekayasa (Hartanto Ahmad Jaiz, 1999). Namun, sebelum kita
sampai pada kesimpulan ini, terlebih dahulu, beberapa gamabaran obyektif
tentang hubungan Islam dan Kristen di sana perlu dikaji lebih dulu.
B.
Gambaran
Obyektif Sejarah Masyarakat Ambon
Masyarakat Ambon adalah masyarakat yang sudah lama terintegrasi
dengan sistem politik Belanda ketika VOC pertama datang mengeksploitasi
rempah-rempah cengkeh di sana bersama dengan diperkenalkannya agam Kristen bagi
masyarakat Ambon. Maka, dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, beribu-ribu orang
Kristen Ambon meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di dinas militer
maupun sipil Belanda di seluruh Nusantara. Mereka dipakai sebagai serdadu
(meresose) dalam perang-perang kolonial menguasai wilayah-wilayah Nusantara
yang belum tertaklukkan. Poengalaman penyerbuan ke Aceh di tahun 1873 adalah
bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang telah terkooptasi ini. Pengalaman
ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari “orang-orang yang
dieksploitasi habis-habisan dibawah monopoli rempah-rempah” manjadi
“orang-orang yang kedudukannya relatif istimewa”. Secara ideologis akibat
kedudukan “istimewa” yang dirasakan ini adalah banyak orang kristen yang
berpendapat bahwa mereka mempunyai hubungan yang khusus dengan Belanda, karena
mereka mempunyai kesamaan agama maupun tugas, teristimewa kemiliteran, dalam
membawa damai bagi Nusantara.[14]
Berebeda dengan saudaranya yang Kristen, orang-orang Ambon Islam
tak ikut serta dalam usaha-usaha kolonial yang kemudian ini. Para penguasa
militer Belanda tidak merekrut mereka, seperti yang mereka lakukan terhadap
yang Kristen, dan sampai dasawarsa 1920-an di desa-desa Islam tak ada fasilitas
pendidikan. Hal ini tidaklah dirasakan sebagai “perlakuan diskriminatif” dari
pemerintah kolonial Belanda. Pihak Islam sendiri beranggapan, bahwa memasuki
pendidikan atau dinas Belanda sama saja artinya dengan masuk agama Kristen.
Tetapi, mereka bukannya tak terpengaruh oleh perubahan-perubahan di dunia
kolonial sekeliling mereka. Penghapusan monopoli cengkeh bersama-sama dengan
perbaikan komunikasi, memudahkan penggalangan kembali hubungan antara Ambon
Islam dengan reka-rekan seagama mereka, baik di bagain lain Nusantara maupun di
tempat lain. Mereka bertemu dengan dunia luar bukan sebagi budak kekuatan
kolonial seperti yang dialami Ambon Kristen, melainkan sebagi pelaut, pedagang,
atau haji.[15]
Adanya hubungan dengan dunia muslim menimbulkan cita-cita baru di Ambon, yang
umumnya ialah cita-cita Pan-Islamisme untuk menjadikan Ambon sebagai wilayah
Mulk sehingga nama Ambon diperkenalkan sebagai “Maluku “ yang diharapkan akan
menjadi wilayah Integrasi Islam dari Malaka hingga Maluku. Kelak cita-cita ini
menghasilkan perubahan-perubahan baik dalam kepercayaan maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Belanda pun menanamkan konflik ideologis ini sebagai jalan yang
memudahkan proses pasifikasi dan domestikasi pribumi Ambon. Keberhasilan proses
pasifikasi ini adalah jumlah Ambon Kristen mencapai 65% pada tahun 1940-an.[16]
Jadi, pengalaman orang Ambon Kristen berbeda sekali dengan
pengalaman orang Ambon Islam pada akhir zaman kolonial. Identifikasi
orang-orang Kristen dengan orang-orang Belanda itu bertentangan dengan kecurigaan
dan ketidakterlibatan orang-orang Islam dalam struktur kekuasaan kolonial.
Oarang-orang Kristen dengan bantuan pendidikan Belanda, mendominasi masyarakat Ambon sedemikian rupa, sehingga
banyak orang-orang non-Ambon menyangka Ambon daerah Kristen semata-mata.[17]
Kondisi ini semakin dalam
mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat Ambon, sehingga wajar jika kemudian
Belanda dianggap bukan sebagai representasi kekuatan penjajah. Hal inilah yang
mengakibatkan Proklamasi Soekarno-Hatta tahun 1945 menurut Chauvel tak banyak
mendapat sambutan di sana, apalagi perlawanan terhadap kembalinya pemerintah
kolonial.
Sehingga, dari situlah Hartanto Ahmad Jaiz mengatakan bahwa “tidaklah
terlalu salah jika bahwa pembagian Ambon yang paling kentara, yaitu Islam dan
Kristen, secara politik menjdi semakin penting. Konflik Islam dan Kristen
senantiasa potensial dalam politik detente yang laten sifatnya. Dalam
sejarahnya di masa lalu, tokoh-tokoh pergerakan di Ambon datang dari masyarakat
Islam maupun Kristen, namun pendukungnya kebanyakan Islam. Kecuali para raja,
tak banyak orang Islam yang ingin memperpanjang sistem kolonial. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa sebenarnya tidak ada “perang dingin” antara Ideologi Islam
dan Kristen di sana.”
Pada 24 April 19, Dr. Soumokil memproklamirkan berdirinya Republik
Maluku Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan.[18] Kekerasan
RMS dilakukan tidak hanya di wilayah Indonesia, namun juga di Belanda.
Penindasan mungkin jalan pemecahan yang terburuk untuk memasukkan Ambon ke
dalam Indonesia yang merdeka. Maka, sesuai dengan pengamatan F.L Cooley (1968),
masyarakat Ambon pasca revolusi nasional muncul dengan terpecah belah parah,
para warganya telah bertempur, baik di pihak RI maupun di pihak RMS, dalam
pertikaian yang banyak sifat perang saudara. Hubungan dengan masyarakat Islam
dan Kristen yang tadinya memang sudanh tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa
yang para pemimpin sipil RMS berikut serdadunya semua beragama Kristen, dan
yang menjadi korban para serdadu RMS itu kebanyakan adalah orang-orang Islam.
Ketakutan ini beralasan jika dilihat
semakin membiaknya jumlah orang-orang Islam di Maluku yang sebagaimana
dicatat oleh Cooley (1968:297), telah mencapai 49% di awal-awal Orde Baru, yang
tadinya hanya sepertiga saja jumlahnya.
Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman dominasi Kristen di sana.
Mengenai hubungan antara kedua masyarakat agama, RMS sebetulnya
merupakan suatu usaha untuk mempertahankan suatu dominasi Kristen dalam
masyarakat Ambon. Pada waktu itu desas-desus disebarkan Soumokil seolah-olah
ada paksaan untuk pindah masuk Islam, langsung mengena rasa takut orang Kristen
yang telah terbakar, bahwa mereka akan tenggelam ditengah mayoritas Indonesia
yang Islam. Negara kesatuan telah demikian menakutkan mereka sehingga RMS
haruslah dilihat dari “ketakutan terhadap munculnya kekuasaan Islam” yang disangka
akan mencengkram masyarakat Nasrani di sana. Bagaimanapun pemulihan kedaulatan
Indonesia akan berarti hulangnya “hubungan khusus” yang sudah lama dinikmati
masyarakat Ambon Kristen dengan pemerintah (baik Kolonial Belanda, maupun
Indonesia). RMS reda setelah para elit politik menyadari bahwa Orde Baru
ternyata sangat membeci kalangan Islam dan
memberikan banyak keuntungan terhadap pihak non-Muslim. Secara psikologis,
keterancaman orang-orang Maluku Kristen kembali dirasakan ketika Habibie naik
di pentas politik nasional yang dianggap sebagai representasi kekuatan Islam
Sulawesi yang telah lama mereka hiraukan.
Pada masa perkembangan sesudah RMS, nasib baik berbalik kepada kaum
Muslimin. Mereka tidak lagi hidup di sebuah negeri yang dipimpin oleh kaum
Kristen. Untuk pertama kalinya, kebutuhan-kebutuhan agama dan pendidikan mereka
mendapat dorongan langsung dan bantuan keuangan dari pemerintah RI.
Ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh RMS dan meningkatnya persaingan,
kemudian tidak menghasilkan hubungan-hubungan bermasyarakat yang harmonis,
melainkan hubungan-hubungan kecurigaan yang kompleks.
Sikap orang Ambon kepada RI sangat terpengaruh oleh pengalaman
orang-orang marsose (serdadu) Ambon yang pernah tinggal pada awal revolusi di
daerah RI atau daerah yang diperebutkan Belanda dan menjadi sasaran serangan
dan pembalasan dendam, acap kali gara-ggara tingkah laku para serdadu Ambon.
Kendati tidak pernah ada orang Ambon yang pulag secara besar-besaran dari Jawa
dan Sulawesi, namun pengaruh psikologis dan pengalaman di daerah-daerah tadi
itu terhadap pemikiran politik di Ambon jauh lebih besar krtimbang angka-angka
yang sebenarnya. Mereka menetap di Jakarta seabagai enclave tersendiri yang
secara formal kemudian menjadi kekutan rasional pembangun bangsa, namun kelompok ennklave yang informalm, yang
tidak terserap dalam institusi militer formal, kemudian menjadi
kekuatan-kekuatan preman irrasional yang kemudian banyak muncul dari berbagai etnik di Jakarta.
Kenyataan inilah yang
membuatkan kita sulit menolak penilaian bahwa kerusuhan di Maluku adalah suatu
kesengajaan atau rekayasa politik di mana preman-preman Jakarta sebagai kekutan
politik informal yang telah memainkan perannya yang destruktif di Maluku.
Mungkin kita bisa membaca dari pernyataan Soeharto ketika akan lengser yang
menyiratkan suatu “ancaman” akan adanya disintegrasi bangsa atau perang saudara
dalam negara kesatuan ini. Ancaman ini ditujukan dalam politik rekayasa
kerusuhan yang terlihat pada kasus Ambon
yang melanda Indonesia ini, supaya mengalihkan perhatian masyarakat atas
diadilinya Soeharto beserta kroni-kroninya. Soeharto adalah politisi yang sangat
mahir dalam membangkitkan kekuatan-kekuatan konflik laten menjadi kekuatan yang
manifes dalam serangkaian kejadian yang telah ada dan akan menghancurkan
keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa.[19]
V.
Sejarah Dan
Latarbelakang Peristiwa Ambon Berdarah
A.
Politik dan
Kecemburuan Berbungkus Agama
Menurut Markus Mietzeiner, pengamat politik dari Universitas
Nasional Australia konflik itu lahir dari politik pemerintah kolonial Belanda
(Tekad, 1-7 Februari 1999). Awalnya dimulai
ketika VOC (Vereenigde Oost-Compagnie) mengupayakan kristenisasi paksa
atau penduduk lokal di awal abad ke-17, saat perusahaan Belanda itu mau
mendirikan pusat perdagangan cengkeh di Ambon. Itu dilakukan untuk menghadapi
perlawanan gigih penduduk muslim.
Dengan mengajak
penduduk yang semula menganut kepercayaan tradisional masuk Kristen, VOC
berharap lebih mudah mengatasi persoalan. Sebab, kekuatan yang lebih besar
dapat digalang bersama dengan penduduk Kristen
melawan penduduk Muslim di Utara.
Islam adalah agama
yang pertama masuk ke Maluku, dibawa pedagang dari tanah Arab, Gujarat dan
Persia. Kemudian menyusul Khatolik dan Protestan yang dibawa penjajah Portugis
dan Belanda. Menurut sejarahwan Ambon, Thamrin Ely, ketika pada tahun 1640-an VOC berhasil menguasai
seluruh pulau Ambon. Desa-desa Muslim yang kebanyakan terletak di pegunungan
direlokasikan ke daerah pantai. Maksudnya agar lebih mudah di kontrol oleh VOC.
Sebaliknya, desa-desa Kristen sebaliknya ditempatkan di sekitar pusat kota
Ambon, yang menjadi pusat Adminstrasi kepulauan Maluku.
“Orang Ambon yang
Kristen mendapat perlakuan istimewa dari VOC dan pemerintah kolonial”, kata
Thamrin. Mereka menikmati pendidikan belajar bahasa Melayu, dan akhirnya
diperbolehkan memasuki jalan Administrasi, walau hanya di tingkat rendah. Hanya
orang Ambon Kristen yang boleh memasuki dinas militer tentara kolonial, KNIL.
Pada awal abad
ke-20 sistem sosial semakin digoyang oleh beberapa faktor eksternal sebagai
berikut :
1.
Dengan semakin
terbukanya sistem perdagangan di Hindia-Belanda. Kota Ambon semakin dibanjiri
pendatang beragama Islam, diantara etnis Buton. Sejak itu, pemukiman baru warga
Muslim mulai tumbuh di kota Ambon. Perkembangan ini didikuti oleh perpindahan banyak penduduk dari
desa Muslim di luar kota Ambon untuk bekerja di pelabuhan. Banyak di antara
mereka bermukim di desa Batu Merah, yang tak jauh dari pusat kota.
2.
Munculnya
pemikiran Islam baru akibat meningkatnya perjalanan haji dan kedatangan banyak
pedagang dari Timur Tengah.
3.
Bangkitnya
gerakan nasional, yang oleh orang Muslim dianggap sebagai harapan, namun oleh
orang Kristen dianggap sebagai ancaman.[20]
B.
Menolak RI
Masyarakat Ambon kian tajam terbagi dalam dua kutub pada masa tahun
1945-1950. Menurut Mietzner, Muslim umumnya mendukung perjuangan kaum Republik
di Jawa dan Sumatera, sedangkan warga Kristen kebanyakan mendukung Belanda karena
mereka bersaudara dengan pihak KNIL yang melawan Soekarno dan kawan-kawan.
Mietzner pernah setahun tinggal di Ambon (1990-an) dan meneliti sejarah Ambon
periode 1920-1950-an.
Sebagaimana telah
dijelaskan di awal, pada masa itu, banyak tokoh Kristen di Ambon menolak RI.
Alasannya ialah takut dijajah oleh orang Jawa yang beragama Islam. Kelompok
Kristen juga mendukung pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Di masa Orba, ketegangan antara pemeluk Kristen dan Islam
kelihatannya berhasil diredam. Padahal terus merayap di bawah permukaan.
Apalagi setelah warga Muslim, yang mulai menuai hasil pendidikan tinggi, mulai
memasuki elite pemerintahan secara proporsional, sebagai warisan kolonial.
Gubernur Maluku
pertama adalah seorang Kristen Protestan, Mr. Latuharhari. Begitupula beberapa
Gubernur berikutnya. Banyak posisi kursi di pemerintahan sejak awal kemerdekaan
dipegang oleh warga Kristen. Namun, walaupun demikian adanya Umat Islam tidak
memprotes.
Tapi di saat dua
Gubernur terakhir, Akib Latuconsina dan Saleh Latuconsina, yang Muslim asli
Maluku, memberi beberapa jabatan kursi kepada Muslim, dan itupun masih belum
representatif, kelompok Kristen tidak puas. Lantas mereka menghembuskan isu
bahwa Islam menguasai lembaga pemerintahan.
Karena itulah,
Thamrin menganggap orang Kristen tidak Fair. “Ketika orang Kristen menduduki
posisi kunci, mereka tak pernah membicarakan penimbangan,” tukasnya. Padahal
jumlah Muslim mayoritas di Maluku.
Orang-orang
Kristen, misalnya, protes saat Kolonel Juanidi Ponegoro diusulkan oleh ABRI
untuk duduk di kursi walikota beberapa tahu lalu. Alasanya, tak sesuai dengan
keadaan penduduk kota Ambon yang jumlah penduduk Kristennya lebih besar. Maka
Junaidi ditarik dan naiklah Christanasale, seorang Kristen. Umat menerima hal
tersebut. Bahkan yang pertama mengatakan dukungan adalah Himpunan Mahasiswa
Muslim (HMI) Ambon.
Menurut Thamrin,
orang Kristen juga tidak fair dalam hal kepengurusan di KNIP setempat. Orang
Islam diam saja saat ketua dan sekretaris KNIP dipegang Kristen. Tapi ketika
Muslim menduduki jabatan ketua, kalangan Kristen langsung protes, dan meminta
perimbangan keimbangan kekuasaan. Begitu pula di Golongan Karya. Sebaliknya,
umat Islam tak bereaksi terhadap dominasi Kristen di Universitas Pattimura.
C.
Pela Gandong[21]
Melihat potensi
konflik yang ada, nampaknya memang sangat masuk akal bila kemudian Ambon hancur
terbelah-belah seperti tragedi 1999 lalu. Ikatan Pela Gandong yang dibanggakan
sedari dulu, dan mengikat persaudaraan antar desa Islam dan Kristen, terbukti tak
mampu menahan nafsu dan egoisme kelompok. Padahal, Pela Gandong yang
sebagaimana telah dijelaskan diawal pembahasan, merupakan ikatan adat yang
benar-benar mencerminkan pola hubungan yang harmonis serta adanya demokrasi
yang baik.
Pela Gandong bermula dari terpecahnya warga satu kampung, yakni
satu kampung yang tadinya Islam semua. “Setelah Portugis datang dan meng-Kristenkan
kampung itu, warganya terpecah” tutur Saleh Patuhena, tokoh masyarakat Ambon.
“warga yang tetap beragama Islam memilih pindah, sedangkan yang masuk Kristen
tetap di kampung itu.” Akan tetapi, meskipun pecah dalam hal agama., hubungan
antar warga kedua kampung itu tetap akrab.
Lalu, menagapa kerukunan yang sudah sekian tahun terjalin bisa
terpecah dan tercabik-cabik? Saleh Patuhena maupun Thamrin Ely menganggap
adanya faktor politis yang membawa-bawa agama sebagai alat untuk mobilisasi
massa.
Sedangkan Thamrin beranggapan, format Pela Gandong sangat
statis. “itu sangat spesifik dan
lokalistik, hanya di Maluku Tengah ada desa-desa yang terikat dengan Pela
Gandong, ada juga yang tidak”, ujarnya.
Maka, ikatan itu tak bisa digunakan sebagai referensi untuk merujuk
semua komponen di Maluku. “lebih baik kalau menggunakan agama, kan lebih
universal, ujarnya kembali.
Ikatan agama dapat mengikat para pedagang, terutama suku Bugis
Buton dan Makassar (BBM), yang sudah puluhan tahun tinggal di sana. Selama ini
status mereka tak terikat budaya Pela Gandong.
Para pendatang BBM dan JKS (Jiwa, Kalimantan dan Sumatera) yang umumnya
Muslim ini memang menimbulkan kejengkelan warga Kristen. Soalnya mereka
menambah populasi Muslim di Ambon. Apalagi, secara ekonomis golongan BBM lebih
baik lantaran berprofesi sebagai pedagang.
Tapi melihat gerakan orang-orang Kristen menyerang kampung-kampung
Muslim dan mengajar siapa saja yang beragama Islam untuk dibantai sejak awal
konflik 19 Januari lalu, isu etnis menjadi relevan lagi. “pengusiran etnis
hanyalah sebagai kemasan politik saja. Sebenarnya yang mau diusir itu adalah
Islam Ambon, seperti H. Abdullah Solissa, ketua Yayasan Al Fatah.
Banyak diantara rumah yang dijarah dan dibakar itu lalu ditulisi
“Yesus” atau “I Love Yesus”. Di Karangpanjang, yang pendukungnya heterogen,
hanya pejabat beragama Islam yang rumahnya dirusak dan dijarah, sementara
pejabat Kristen tidak diapa-apakan. “Jadi, bagaimana kita tidak curiga kalau
ini konspirasi Kristen ekstrem? Tanya Thamrin. Ini menunjukkan bahwa mereka
memang ingin menghabisi Umat Islam di Ambon.”
VI.
Kronologi
Pembantaian Muslimin Ambon
A.
Kronologi Ambon
Berdarah Versi Posko Keadilan di Ambon [22]
Selasa 19 Januari 1999 (1 Syawal 1419 H) pukul 16.00-18.00
Sejumlah orang suku ABORU NASRANI menggunakan mobil milik suku
Bugis yang berdomisili di Batu Merah Bawah yang mayoritas muslim. Selama
operasi mobil sewaan itu dikemudikan oleh Yopie (teman suku Aboru Nasrani)
dibantu seorang kondektur yang juga warga Batu Merah Bawah. Setelah pemakaian
sewaan (carteran), tetapi diluar dugaan ternyata Yopie menolak membayar uang
sewaan dan bahkan menyerang si kondektur. Dengan dukungan beberapa penumpang
(suku Aboru Nasrani) mereka langsung menyerang. Pada saat tersebut kondektur
berusaha menyelamatkan diri dengan meminta pertolongan kepada sekelompok pemuda
warga Batu Merah Bawah. Akhirnya kedua belah pihak jadi saling berhadapan.
Situasi menjakar makin panas dan perkelahian antara kedua belah pihak tak
terelakkan. Suasana berkembang pesat dan panas sampai terjadi pembakaran rumah
penduduk.
Peristiwa ini terjadi disekitar masjid Batu Merah Bawah sepanjang
rute mobil Batu Merah menuju Jalan Raya Simpang Tiga. Insiden itu menimbulkan
korban dua orang luka dan dilarikan ke RSU Ambon.
Pukul 18.00-21.00
Suasana panas merebak dan meluas dengan sangat cepat. Di Silale
terjadi pembakaran mobil enam buah. Bebebrapa tempat dikota Ambon mulai
mengobarkan api dan mengepulkan asap tebal.
Pukul 21.00-24.00
Pukul 21.00 terjadi penyerangan terhadap perkampungan muslim di
Batu Gantung dan sekitarnya. Penyerangan dilakukan oleh kelompok Nasrani dari
Kuda matiterhadap Kampung Batu Gantung. Massa muslim berkonsentrasi di masjid
dan bertahan menjaga jiwa dan keluarga mereka masing-masing. Penyerangan
pertama diikuti dengan penyerangan kedua dari berbagai arah pada pukul 23.00.
Pada pukul 22.00-24.00 massa Nasrani berkumpul di gereja GMP di
jalan Anthony Reebok. Massa membakar sejumlah warung kecil pinggir jalan,
sejumlah becak dan sejumlah mobil. Modus pembakaran becak adalah becak-becak
dikumpulkan menjadi satu dalam jumlah besar kemudian dibakar sehingga
menimbulkan hubungan api yang cukup tinggi. SD dan TK Islam Al-Hilal juga
dibakar dan dirobohkan. Kemudian massa islam yang berdimisili di sekitar masjid
Raya Al Fatah berkumpul sampai kesekitar masjid An Nur dijalan A.M.
Rabu, 20 Januari 1999 (2 Syawal 1419 H) Pukul 01.00
Kelompok dari Nasrani dan Muslim sudah saling berhadapan dan adu
fisik sekitar jalan A.Y.Patty dan Simpang dekatMasjid Al Fatah, dilaporkan satu
orang dari kelompok muslim tertembak dan belum diketahui siapa pelakunnya.
Pukul 01.20 dilaporkan bahwa Kampung Banda Islam dihadapan kompleks
QSM Air Salobar dibakar oleh kelompok Nasara.
Pukul 02.00
Pukul 02.00 dilaporkan oleh Posko Umat nbahwa ada perluasan gerakan
/ kerusuhan dari Ambon ke Laha. Posko Keadilan telah meneruskan laporan
tersebut ke Kompi C Waiheru (diterima oleh Petugas Piket).
Pukul 02.30 Masjid As Saadah yang terletak didesa Karang Panjang
dibakar. Pemukiman penduduk Muslim disepanjang Jalan di Ponegoro Atas dibakar.
Ikut pula dibakar masjid Al Huda yang ada disana.
Pukul 03.00-06.00
Pukul 03.00 rumah Ustadz Abdurrahman Khou ( Deawan Penasihat DPW
Partai Keadilan Maluku) di desa Air Salobar habis dibakar.
Sekitar pukul 04.00 terjadi pembakaran dibeberapa pasat yang
mayoritas dimiliki oleh orang islam pendatang dari BBM (Bugis, Buton dan
Makasar), yaitu :
1)
Pasar Mardika,
sebuah pertokoan besar yang menjual aneka kebutuhan masyarakat.
2)
Pasar Buah
Mardika, sebuah pasar yang menyediakan aneka buah bagi kota Ambon.
3)
Pertokoan
PELITA, sebuah pertokoan yang menyediakan kebutuhan sandang seperti toko bahan,
kendaraan bermotor, rumah makan dan penjahit pakaian.
4)
Pasar Gambus,
pasar yang banyak menjual sandang seperti pakaian, tas, sepatu dll.
5)
Pasar Cakar
Bongkar, yang menyediakan kebutuhan pangan dan rumah tangga lainnya.
Kerugian yang diakibatkan oleh pembakaran mencapai ratusan milyar
rupiah di samping puluhan nyawa yang melayang meninggalkan jasad yang terkapar
di tanah, setra kerugian hilangnya lapangan usaha bagi ribuan kepala rumah
tangga. Selain itu, terdapat pula kerugian imateril berupa rasa sakit hati yang
mendalam, yang sulit dihapuskan.
Idul Fitri 1419 H di Ambon yang suci berubah menjadi malapetaka.
Suasana gembira dengan seketika berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Api merambah
dan membakar seiring dengan membubungnya amarah didada.
Sehubungan dengan itu Pos Keadilan menyampaikan beberapa hal yang
merupakan hasil pantauan lapangan, sebagai berikut:
1)
Kerusuhan di
Ambon dipicu oleh maslah kriminal tetapi kemudian berubah menjadi masalah SARA.
2)
Situasi
keamanan sejak meletusnya tragedi pada hari selasa, 19 Januari 1999 pukul 16.00
WIT- Jumat, 22 1999 pukul 05.00 WIT terus memanas. Jumat pagi sampai siang
suasana tampak berangsur-angsur membaik walaupun belum dapat dipastikan. Sabtu,
23 Januari 1999 pikul 21.00 WIT terjadi lagi pembakaran di Dusun Karang Tagep
Desa Kuda Mati.
VII.
Kesaksian
serangan biadab dan Pembantaian Muslim
A.
Laporan
Perjalanan Tim Medis Posko Keadilan 23 Haru di Medan Jihad Ambon[24]
Saya, Dr. Heru Rustiadi, kelahiran Jawa 28 tahun lalu, Alumnus
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya angkatan ‘ 89. Di tengah suasana lebaran di
kampung, saya hanya bisa menganalisis apa sesungguhnya yang sedang terjadi di
Ambon sejak 19 Januari 1999. Dari berita yang saya peroleh, yang mangabarkan
adanya masjid, gereja serta pemukiman yang terbakar, saya yakin apa yang
terjadi di Ambon bukan masalah biasa tapi masalah antara Muslim dan Nasrani.
Rabu dini hari, 3 Februari 1999 ada telepon dari Surabaya. Saya
diminta bersedia dan segera mempersiapkan diri ke Ambon, sebab teman saya dr.
Rudi telah pulang dari sana dan saya diminta untuk menggantikannya.
Jum’at, 5 Februari 1999
Saya terbang ke Ambon. Di bandara Patimura, saya ditunggu oleh
seorang pemuda. Dalam perjalanan masuk ke Ambon, kami melewati puing-puing
rumah dan masjid yang terbakar di dusun Waylete dan Kamiri. Akibat serangan
warga Nasrani desa Hative Besar.
Sabtu, 6 Februari 1999
Bersama empat orang plus sopir, kami menyebrang ke Pulau Seram
untuk mencari data dan melayani kesehatan para pengungsi Muslim di Polsek
Kairatu. Rumah, pasar dan masjid dibakar oleh ditetangga mereka sendiri yang
beragana Nasrani. Suasana tegang dan mencekam sangat terasa saat memasukun Desa
Kairatu. Bisa saja orang-orang Nasrani menghadang. Di puing-puing rumah yang
terbakar tampak tulisan “Yesus Tidak Pernah Mati”, “Usir BBM (Bugis Butan dan
Makasar)”, “Hidup Israel Tolak Palestina” dan Gambar Bintang Daud.
Sementara di Masjid yang tidak terbakar, saya melihat pengungsi
dengan barang-barang yang sempat terbawa. Tenda-tenda darurat, dengan air
bersih yang minim, dan tempat MCK yang tidak memadai keadaanya, berdiri
disekitar halaman Polsek Kairatu. Tubuh kurus, lusuh, kumal, rambut
acak-acakan, anak-anak kecil, itulah fenomena yang ada di kamp-kamp penampungan.
Banyak anak pengungsi yang menderita panas, batuk, telinga keluar darah dan
nanah, kepala luka, mata merah, mencret dan cacingan. Sedangkan diwajah para orang
tua mereka tampak pandanngan mata yang kosong dan sarat kesedihan. Namun, itu
semua bertentang dengan wajah para pemudanya yang kebanyakan tergeletak luka.
Kegeraman dan kekecewaan tampak jelas diraut wajah mereka. Disini total yang
berobat 147 pasien.
Senin Ba’da Ashar, 8 Februari 1899
Sekembali dari Kairatu, Seram, pengobatan Posko Keadilan diadakan
di Kompoi Senapan C 20 m dari sekretariat. Di sini kondisinya lebih baik,
mereka ditempatkan di barak-barak. Dari sekitar 80 orang yang berobat, ada sejumlah
pasien yang menderita luka bacok di leher, jari-jari tangan terpotong, dan
tulang tangan kiri yang terputus akibat bacokan.
Selasa, 9 Februari
1999, team medis Posko Keadilan meluncur ke Telehu, ibu kota Kecamatan Salahutu
di Maluku Tengah. Warga Muslim Kiratu di Pulau Seram banyak mengingsi kesana.
Kami melewati dusun Nasrani Durian Patah, Hunut, Nania dan Negeri Lama yang
habis terbakar di hari kedua kerusuhan.
Rabu 10 Februari 1999,
Terjadwal
pengobatan di Posko Keadilan Al Fatah,
sebuah rumah lewat lorong kecil di desa Masjid Raya Al Fatah, Ambon. Saat
menyempatkan diri melihat keadaan mereka di masjid beralaskan kardus, tikar dan
ada beberapa yang memakai karpet. Kondisi air kurang lancar tidak berbeda jauh
dengan pengungsi muslim di Taman Hiburan Rakyat Waihong yang esoknya kami
datang.
Jumat, 12 Februari 1999
Terjadwal pengobatan di SPN
(Sekolah Polisi Negara) Passo. Setelah pengobatan, Bapak Kepala Dusun bercerita
tentang kronologis penyerangan perusuh Nasrani terhadap mereka dan ketidakjelasan
sikap aparat. Ia juga menceritakan baju yang tengah ia pakai adalah satu-satunya baju yang
dimilikinya.
Sabtu, 13 Februari 1999
Tim medis berangkat ke pulau Haruku. Pengungsi dari Kairatu, Seram
mengungsi ke sana. Empat orang berangkat, slahsatunya anggota tim investigasi
dan peliputan. Di daerah Kailolo ke Kairatu, Seram setelah penyerangan Nasrani.
Dan berhasil membunuh 20 orang.
Bagi orang Kailolo, permusuhan dengan orang Nasrani adalah
permusuhan abadi tahun ’50-an desa-desa Islam di Pulau Haruku pernah diserbu
oleh RMS (Republik Maluku Selatan/Nasrani). Ini pernah membekas sekali bagi
mereka dan keturunannya. Tapi untuk berperang dengan orang Nasrani, upacara
adat tidak dilakukan, karena perang ini adalah “Titah Nabi”, bukan lagi
perintah Bapak Raja atau Sesepuh. Warga Kailolo usia 15-35 tahun akan keluar
membawa senjata, baru disusul dengan berusia 35-40 tahun sebagai pasukan
lapisan kedua. Mereka berprinsip, “Kapan lagi bisa mati seperti saat peperangan
ini.” Militansi mereka diakui seluruh penduduk Maluku. Di mana ada pertempuran
dengan orang Nasrani di Maluku, orang Kailolo akan aktif terlibat mengirimkan
orangnya. Ada seorang tokoh masyarakat yang menyebut mereka sebagai KOPASSUS.
Ahad, 14 Februari 1999
Rencananya tim medis akan ke Desa Pelauw yang bersebelahan dengan
Desa Kailolo, sebab di sana juga ada pengungsi di Kairutu, Seram. Tapi pada
pagi harinya, pecah peperangan antara desa Pelauw dengan tetangganya, desa
Nasrani Kariu. Di tengah kesimpang siuran informasi, tiba-tiba mlintas di depan
rumah mobil membawa korban tembakan untuk dirujuk ke dasa Tuleha. Atas
permintaan warga Pelauw, tim medis segera meluncur ke Puskesmas desa.
Di Puskesmas yang telah ditinggal dokternya (Nasrani), nampak
seorang pemuda terbaring pucat dengan luka tembak di paha. Seorang perawat
(siswa) tampak kesulitan memasang infus. Setelah kita bantu infus pun masuk.
Sedetik say terlambat mengoreksi karena ada udara di dalam selang infus.
Setelah kejadian ini, tiap pemasangan infus yang saya ketahui, langsung saya
koreksi dan memberi contoh bagaimana cara pemasangan yang benar. Dalam hati say
bertanya, bisa pemuda ini mati bukan karena luka tembak paha (tak tembus), tapi
mati karena emboli udara dikarenakan salah pemasangan infus. Ini terbukti,
akhirnya pemuda itu meninggal. Menurut informasi, ia sesak saat dalam
perjalanan. Betapa cerobohnya dokter yang tidak bertanggung jawab itu, entah
disengaja atau tidak.
Kasus kedua, ada seorang pemuda yang luka tembak jarak dekat di ulu
hati, say yakin betul kalau lukanya tidak sampai menembus lapisan perut
(fascia) sehingga cukup dijahit saja, sambil dipasang tali melingkar perut
untuk mengevaluasi adanya pendarahan dalam perut (internal bleeding). Tiba-tiba
pemuda itu sesak (apneu) dengan tensi normal, nadi normal dan tidak ada sesuatu
yang khusus di paru. Saya curiga, jangan-jangan kesalahan dalam pemasangan
infus lagi. Dengan melonggarkan jalan nafas dan memberikan oksigen saya hanya
bisa berdo’a. Di saat itu sang ayah bertanya tentang kondisi pemuda, anaknya
itu, saya menjawab, “Kita tunggu saja, semoga apa yang telah kita lakukan itu
menolong.” Saya lihat masih ada kekecewaan di wajahnyha. Lalu saya tambahkan,
“Kalaupun dia meninggal, insya Allah dia mati syahid dan akan memberi manfaat
bagi 70 orang yang dia kehendaki”. Seketika itu wajahnya berseri. Sambil
mengusap wajahnya bapak itu berkata, “Alhamdulillah, Amin.” Subhanallah, betapa
mereka merindukan kesyahidan.
Ternyata korban terus mengalir masuk puskesmas dan semuanya dengan
luka tembak. Menurut informasi dari garis depan dilakukan aparat (Nasrani) yang
membuka baju dinasnya sebanyak tiga orang. Belum lagi pemuda Kairu (Nasrani)
yang bersenjatakan senjata api asli.
Menurut informasi dari seorang aparat, terbukti setelah desa Kairu habis terbakar, ditemukan 30
senjata api (lebih baik dari milik aparat) dan satu peti peluru. Bahkan saat
rumah orang Belanda terbakar terdengar ledakan amunisi. Tercatat oleh tim medis
46 korban luka tembak. Di antaranya harus merujuk karena pelurunya menyangkut
di dalam tubuh, baik di lutut, perut, paha, maupun bahu. Demikian juga yang
luka dengan pendarahan besar.
Seorang pemuda yang pergelangan tangan kanannya tertembak (tembus)
dengan pendarahan yang hebat, sempat berteriak kesakitan ketika tangannya saya
immobilisasi. Dengan dua batang kayu kecil untuk mengurangi rasa sakit akibat
goncangan saat diruju. Dengan tersenyum saya berkata kepadanya, “Hei,... Jangan
disesali. Ini akan menjadi catatan tersendiri nanti di akhirat.” Sambil
mengacungkan jempol kepadanya saya berkata, “Kamu hebat...!” seketika itu juga
dia berhenti berteriak kesakitan. Yaah... belum tentu kita seberani mereka maju
ke medan menantang maut.
Sabtu, 20 Februari 1999
Tim medis Posko Keadilan kembali mengadakan pengobatan dan
pemberian susu kotak di Tulehu. Di sini kami dibanjiri pasien yang minta
pengobatan. Hingga membuat saya dan ‘mantri obat’ M. Salam, seorang mahasiswi
Umpaty jurusan kehutanan kecaapeaan. Yang menarik di sini adalah perubahan
kasus penyakit yang ada. Pasien balita dan anak-anak menurun, dan jumlah dan kasusnya
ringan. Sedangkan orang tua berduyun-duyun datang baik itu pengungsi maupun
penduduk asli.. mereka mengeluh pusing, dada berdebar-debar dan nyeri ulu hati.
Mereka mengaku sulit tidur dan berjaga malam setiap hari (lebih kurang i
bulan). Desa Tulehu memang cukup rawan, karena bertetangga dengan desa Nasrani.
Selasa, 23 Februari 1999
Setelah dua hari libur karena kehabisan obat dan keterlambatan
pengiriman, tim medis posko keadilan kemnbali menyebrang ke Pulau Haruku untuk
melakukan pengobatan di desa Kailolo, Kebay dan Pelauw. Kunjungan kami ke
daerah ini khusus untuk mengontrol korban yang terkena tembakan hari Ahad
sebelumnya. Di tengah pengadaan pengobatan untuk kurang lebih 100 penduduk
Kebaw, tiba-tiba terlihat asap hitam mengepul di seberang. Menurut berita yang
kami dengar, asap itu berasal dari sebuah dusun yang dibakar oleh orang Waai.
Keinginan untuk menyeberang kembali ke Tulehu praktis tertahan, karena tidak
ada speed yang berjalan.
Rabu, 24 Februari 1999
Pagi hari kami menyeberang kembali ke Tulehu. Suasana tegang sangat
terasa di sini. Remaja, pemuda dan orang tua, dengan memakai ikat kepala putih
keluar rumah sambil membawa parang, tombak dan panah. Ada keinginan untuk
menyerbu desa Waai sebagai solidaritas atas hancurnya dusun Batu Naga. Tim
medis berinisiatif untuk menunggu di RSU Tulehu menunggu kemungkinan yang akan
terjadi.
Di rumah sakit, terbaring lemah mereggang nyawa pemuda muslim Liang
akibat tenmbakan di perut kanan. Dengan nafas tersengal-sengal sambil mengikuti
bisikan tahlil, akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Wajahnya putih
berseri. Sebelumnya pemuda, sempat bertahan sehari dengan lukanya.
Rujukan ke RSU Ambon untuk tindakan pembedahan lebih lanjut tidak
bisa dilakukan karena di Ambon pun sedang kacau, dan pemblokiran jalan menuju
kota itu di desa Nasrani Passo.
Pukul 12.00 Bapak Raja Tulehu memukul tifa/bedug di masjid tanda
penyerangan di Waai di mulai. Tak lam kemudian sejumlah mobil bergantian
membawa korban. Ada yang terken luka bacok di tangan, punggung, wajah dan
kepal. Begitu pula luka tembak paha, pantat, bahu maupun kepal. Seorag
laki-laki tengah baya yang tertembak keningnya tergeletak di lantai beralaskan
tikar. Suasananya sungguh mengharukan. Dalam kondisi nafas tersengal-sengal,
lelaki itu dikelilingi kaum ibu yang melantunkan bacaan surat Yaasiin. Darah
terus mengucur dari lukanya. Lalu, dari mulutnya keluarlah darah segar.
Nafasnya kian cepat, kedua tangannya mengejang dengan jari tergenggam menahan
sakit. Laki-laki itu akhirnya meninggal. Wajahnya terlihat sedemikian ikhlas.
Sementara dari mobil yang baru masuk, saya melihat mayat lelaki yang terpotong
separu kepalanya. Hanya hidung dan mulutnya yang tersisa. Inna lillahi wa
Inna ilaihi ra’jiuun.
Belum lama dari tragedi itu, seorang pemuda Tulehu datang
mengantarkan temannya yang terkena tembakan di paha. Mereka datang sambil
menunjukkan sebutir peluru yang berhasil diambil di samping mayat orang Waai.
Seorang aparat Intel AD yang kebetulan berada di samping saya turut
memperhatikan peluru tersebut. Sambil terkejut, ia menjelaskan kalau ini adalah
peluru senapan M 16. Pemuda Tulehu melihat orang Waai menggunakan senjata
rakitan. Muncul pertanyaan di benak saya, “Dari mana mereka mendapatkan peluru
itu? Apakah ada oknum aparat yang mendukung mereka dengan menyuplai peluru
itu?”
Ahad, 28 Februari 1999
Saya pulang ke rumah dengan membawa kenangan yang sulit untuk
dilupakan. Selamat tinggal Ambon dan selamat berjuang saudaraku seiman.
Percayalah, Allah selalu menolong kita.
B.
Mereka membunuh
secara keji dan Biadab![25]
(KH. Abdul Aziz, Imam Besar Masjid Al Fatah Ambon
Kejadian Idul Firi berdarah di Ambon bukan kerena Umat Islam di
Batu Merah merampas supir angkot yang bernama Yopie. Itu berita yang salah
dilansir oleh banyak media massa. Yang benar ialah, diawali dengan pembakaran
perkampungan umat Islam di Waylete oleh umat Nasrani dari Hative Besar. Itu
terjadi pada 14 November. Kampung Waylete dihuni oleh orang BBM (Bugis, Buton,
dan Makasar). Mereka tidak senang terhadap umat Islam, sehingga mereka membakar
kampungnya, lalu dirusaknya kampung Waylete tersebut.
Sebenarnya umat Islam di sana tidak tinggal diam, mereka siap
membalas, tapi aparat dan pemerintah mengatakan tidak usah dan nanti kami akan
mengatasinya. Tapi ternyata omong kosong semuanya. Tidak ada tindak lanjut dari
aparat dan pemerintah. Karena kejadian ini tidak ada reaksi dari umat Isl;am,
lalu mereka mulai membakar kembali perkampungan Islam yang bernama Air Bah.
Jadi tiga kejadian ini telah mereka jadikan tes apakah uamt Islam bereaksi atau
tidak. Ternyata tidak ada reaksi dari umat Islam, maka akhirnya terjadi apa
yang dikenal dengan Idul Fitri berdarah di Ambon.
Tapi sebelum terjadi Idul Fitri berdarah di Ambon, pada tanggal 14
Januari sempat terjadi kerusuhan di Dogo di perut Pulau Irian Jaya, di mana
umat Islam di sana diserang yang akibatnya pemerintah dan aparat Islam yang dikirim kesanauntuk menyelesaikan
permasalahan di sana. Samapi kejadian Idul Fitri berdarah, aparat yang muslim
masih berada di Dogo. Jadi pada saat terjadi peristiwa di Ambon tidak ada
aparat Muslimnya dan kalau memang ada umumnya mereka sedang cuti Idul Fitri.
Pada 10 Ramadhan saya sempat memberikan ceramah di Maluku Tengah,
sepulangnya dari sana saya melihat banyak truk yang berisikan parang-parang.
Pada waktu itu saya tidak mempuinyai pikaran buruk (Su’udzan), saya hanya
berpikir bahwa parang-parang dibawa dari Pulau Seram ke Ambon untuk dijual.
Yang melihat itu bukan hanya saya saja, banyak saksi mata lainnya yang melihat
pemandangan sehari-hari seperti itu. Kemudian pada tanggal 17 Ramadhan, saya
memberikan ceramah di Kairatu dan Jomba. Sepulang dari sana saya melihat merea
sudah membawa parang-parang tersebut ke mobil truk masuk ke Ambon. Kemudian di
bulan Ramadhan saya mengajar di PLN Ambon setiap Selasa dan Jum’at. Saya
dijemput oleh sopir yang beragama Nasrani, lalu saya berkata pada sopir itu,
alhamdulillah bulan puasa keadaannya tenag, aman, dan tidak ada kerusuhan
apa-pa. Tapi sopir itu menyatakan, inikan bulan puasa Pak Kiai, tapi setelah
pulan Puasa b\elum tentu aman.
Setelah terjadi peristiwa Idul Fitri berdarah itu, saya baru
teringat dengan ucapan sopir dulu. Saya teringat dengan parang-parang yang
mereka bawa bertruk-truk. Jadi ketika mereka menyerang Umat Islam, mereka telah
dipersenjatai dengan panah beracun, tombak, dan jika mereka sudah berhadapan
muka dengan umat muslim, mereka menggunakan parang. Dan yang sangat menyedihkan
waktu itu, umat Islam tidak mempunyai apa-apa.
Sebenarnya peristiwa yang mengawali Idul Fitri berdarah ini adalah
orang yang bernama Yopie sebagai sopir angkot menyewa mobil angkutan orang
Bugis dengan harga dan waktu yang disepakati. Setelah waktunya selesai yang
mempunyai mobil mengirim kenek untuk nmeminta uang sewa dari Yopie sesuai
perjanjian. Ternyata Yopie bukan memberikan kewajibannya, malah justru ia
marah-marah. Tapi Usman yang menagih itu merasa benar, ia pun marah karena
tidak diberikan bayaran. Tapi akhirnya Usman diserang Yopie dan kawan-kawannya
di dalam mobil. Karena ia banyak kemudian Usman lari meyelamatkan diri masuk ke
perkampungan Muslim Batu Merah meminta pertolongan. Ketika pemuda-pemuda Btu
Merah meberikan pertolongan, umat Nasrani menyerang dari kampung sebelah yang
bernama Mardesa, tidak kurang dari seratus pemuda Nasrani menyerang kampung
Batu Merah. Maka terjadilah pertumpahan darah di sana.
Pada jam yang sama mereka juga menyerang kampung Muslim Gan
Diponogoro, Kampung Muslim Jalan Baru di depan Masjid Al Fatahh, kampung Muslim
Wayout, menyerang kampung Tanah Lapang dan beberapa perkampungan Muslim
lainnya. Jadi jelas kejadian ini bukan mendadak, tetapi telah diatur dengan
rapi dan terencana. Jadi, kita bisa bayangkan bagaimana keadaan umat Islam yang selama 30 hari melaksanakan
puasa, malamnya bertakbir, paginya melaksanakan shalat Ied, kemudian
bersilaturahmi dengan sanak keluarga, dan handai taulan, dan setelah shalat
Dzuhur mereka tidur, dan ketika umat Islam bangun tidur, kira-kira pukul empat
sore diserang, di mana pada waktu itu umat Islam tidak mempunyai persiapan
apa-apa. Peperangan terus terjadi smapai memasuki waktu Maghrib.
Waktu Maghrib penyerangan sempat terhenti, tapi seusai Isya kembali
mereka menyerang, kali ini tidak lagi ke Batu Merah, tapi menuju Batu Merah
Puncak tempat saya tinggal. Tiang listrik dipukul berkali-kali oleh pemuda
Muslim sebagai tanda akan datangnya serangan. Anak-anak kecil sudah mulai
menangis, sementara itu ibu-ibu keluar masuk rumah tidak tentu arah. Suasana
waktu itu memang sangat mencekam.
Titip api dan asap terlihat mulai mengepul, mereka mulai membakar
pertokoan umat Islam. Di sini lah pasar termurah di antara pasar lainnya. Pada
dini hari mulai terlihat titik api dari Karang Panjang, asap pun mulai
mengepul. Ternyata yang pertama kali mereka bakar adalah Masjid As Sa’adah di
depan mantan Rektor Unpati Bapak Lestahulu.
Setelah itu mereka membakar pertokoan Pelita dan pertokoan Mardika,
milik orang Islam. Anehnya, di tempat tersebut ada toko orang Cina, tapi
ternyata pertooan tersebut tidak diapa-apakan. Yang dibakar oleh mereka adalah
pertokoan milik Umat Muslim.
Sebelum mereka membakar pertokoan Mardika, mereka membawa tiga
mobil truk. Satu truk isinya polisi dan Brimob untuk mengusir orang Islam dari
situ karena orang Islam yang akan menyerang, akan disuruh masuk ke kampung
mereka. Setelah umat Islam masuk, kemudian mereka mulai menjarah toko-toko
milik umat Islam, dua truk tui kini telah penuh dengan barang jarahan yang
kemudian di bawa ke Gereja. Jadi pada waktu itu
gereja berubah fungsinya jadi tempat penampungan barang jarahan. Gereja
Betlehem, Kilo Maranata, penuh dengan barang jarahan. Setelah itu baru mereka
melemparkan bom molotof, maka terbakarlah seluruh toko-toko umat Islam,
termasuk pula toko buah yang juga milik umat Islam. Tidak puas membakar pasar
milik umat Islam, mereka juga mengumpulkan becak-becak milik orang BBM, karena
memang kondisi ekonomi mereka lemah jadi orang-orang BBM inilah yang menarik
becak. Tapi apa boleh buat 300 becak mereka dikumpulkan lalu dibakar hingga
menimbulkan api yang sangat besar. Tidak puas sampai di situ, mereka juga
membakar mobil-mobil angkot milik umat Islam. Juga mereka membakar TK Al Hilal,
SD, SMP Al Hilal, di mana gedung ini kalau malam digunakan sebagai Universitas
Darussalam untuk pegawai-pegawai yang kuliah malam. Mereka juga merusak gedung
SMA Muhammadiyah, dan kemudian meneruskan aksinya dengan membakar
perkampungan-perkampungan Islam.
Pada waktu terjadi pembakaran ini, kami berulang kali menelepon
pihak pemadam kebakaran untuk memadamkan api, ternyata tidak satu pun ereka
yang datang. Malah ironisnya, ketika umat Islam diserang di Batu Gantung, umat
Islam kembali menyerang lalu polisi datang, menyuruh umat Islam masuk, biar
kami yang menangani, akhirnya umat Islam masuk kedalam. Polisi memang ada
disitu untuk menjaga, tapi satu persatu mulai menghilang, akhirnya kembali
mereka membakar perkampungan Islam dengan jalan terlebih dahulu membakar rumah
Nasrani dari gubug yang didalamnya telah disiapkan Bensin, yang ketika terbakar
memang api menjadi besar terhantam angin yang membuat rumah orang Islam di Batu
Gantung, kecuali Masjid Al Muflisin, masjid itu sama sekali tidak terbakar,
terkena asapnya pun tidak. Besoknya mereka merusak pintu masjid dan mimbar
masjid, tapi umat islam sempat mengetahuinya, mereka pun dikejar dan sempat
menyelamatkan diri.
Pada hari pertama korban pun mulai berjatuhan. Kita larikan korban
tersebut kerumah sakit umum Kuda Mati yang memang menjadi basis mereka. Di sana
tidaki mendpatkan pelayanan yang baik. Korban yang dikirim kesana bukan diobati
malah dibunuh. Berapa banyak ibu-ibu hamil yang ada kesana untuk melahirkanpun
dibunuh. Tapi tidak langsung dibunuh. Dibelah terlebih dahulu perut yang sedang
hamil kemudian dikeluarkan bayinya dan di cincang-cincang. Yanhg akhirnya
diambil keputusan untuk tidak menyerahkan korban kerumah sakit umum tapi
menyerahkan kerumah sakit bersalin Al Fatah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi
rumah sakit bersalin difungsikan menjadi rumah sakit umum. Dan yang lebih
menyedihkan dokter, tidak ada ahli medis. Kita mencoba menghubungi
dokter-dokter muslim, tapi tidak ada jawaban, ternyata mereka seluruhnya
disandra.
Akhirnya pada malam kamis saya dijemput oleh Kostrad dari Ujung
Pandang sebanyak 20 orang. Saya dan keluarga saya diselamatkan dan dinaikkan ke
truk. Say berada dintengah pasukan kostrad untuk melindungi saya dan keluarga
kalau-kalau ada serangan dari luar. Tapi begitu kami akan turun, Umat Islam di Batu Puncak tidak mengizinkan.
Mereka mengatakan, “Pak Kiyai, sebelum Pak Kiayi meninggal, mereka terlebih dahulu
harus membunuh kami. Kami besar disini karana ada Pak Kiyai. Kalau Pak Kiyai
meninggalkan kami, lalu apa yang biasa kami lakukan”. Tapi setelah mereka
diberi pengertian bahwa dibawah Umat Islam lebih banyak Al Fatah tidak ada
pimpinannya, akhirnya mereka mengizinkan saya turun.
Mulai pada malam itulah saya berada di Nasjid Raya Sal Fatah. Pada
tengah malam mereka menyerang kembali. Kebetulan Umat Islam di kota sedikit.
Mereka umumnya pulang kekampung halamanya masing-masing untuk berhari raya.
Sedangkan orang-Orang Nasrani malah sebaliknya, seminggu menjelang lebaran,
mereka berdatangan dari berbagai pulau-pulau yang dekat dari Ambon, dari Maluku
Tengah mereka masukm ke kota, dari Maluku Tenggara juga, dari pegunungan juga
mereka turun menuju kota.
Pada malam itu kita diserang dan jama’ah kita terjepit mundur.
Mereka sampai ditepi pagar masjid Al Fatah, bahkan ada yang sempat meloncat
pagar. Pada waktu itu umat Islam telah terpojok mengingat jumlah mereka yang
begitu besar. Tapi, dalam suasana yang begitu genting, datanglah pertolongan
Allah kepada Umat Islam. Keluarlah dari Masjid ribuan anak kecil yang memakai
baju dan songkok putih yang dipimppin oleh seorang kakek tua yang berjubah
putih, bersorban dan memakai tongkat seraya memberikan komando dengan menyebut
Allahu Akbar, keluarlah anak-anak kecil itu dari Masjid, mereka dihadang dengan
berbagai macam senjata, tapi tak satu pun yang menembus tubuh mereka. Dan
akhirnya membuat mereka bingung dan ketakutan. Lari meninggalkan masjid Al
Fatah. Ini terjadi pada malam Kamis.
Pada malam jumat mereka kembali menyerang untuk membakar masjid
Alfatah. Mereka bertekad apapun dalihnya masjid itu harus dibakar. Mereka belum
merasa menang kalau belum membakar masjid Al Fatah. Cara yang mereka lakukan
adalah dengan membakar terlebih dahulu perkampungan Islam yang letaknya didepan
masjid Al Fatah. Mulailah mereka melemparkan panah-panah berapi ke perkampungan
Islam tersebut, tapi ternyata lemparan mereka tidak tepat bahkan meleset ke
perkampungan Nasrani. Seluruh rumah mereka terbakar. Akan tetapi, karna angin
pada saat itu sangat besar, api pun sempat membakar perkampungan Muslim dan
hampir menuju ke Masjid Al Fatah, lalu saya dan kawan-kawan mulai
mengumandangkan Takbir dari Masjid Al Fatah yang suaranya sampai terdengat
kemana-mana. Hingga saat itu tidak ada satu pun Umat Islam yang tidak menangis
terdengar takbir tersebut.
Dalam suasana yang sedemikian mencekam itu, seluruh umat Islam
melihat ada cahaya berwarna biru jatuh dari langit, menuju ke Masjid Al Fatah. Setelah
itu angin pun berbalik arah 180 derajat yang langsung menembus gereja Kilo.
Akhirnya gereja itu terbakar bagian belakangnya. Takbir terus dikumandangkan.
Sememtara mereka masih terus meningkatkan serangan dan minta agar saya dan
kawan-kawan menghentikan takbir karena mereka merasa diejek dengan suara
takbir. Dan kalau tidak dihentikan mereka akan menyerang secara membabibuta.
Takbir pun kami hentikan selama 10 menit. Tapi ternyata serangan mereka tidak
mereda, bahkan semakin menjadi-jadi.
Akhirnya, kami putuskan untuk bertakbir kembali. Dan begitu
mendengar suara takbir, pemuda-pemuda muslim yang ada dimasjid denga keberanian
luar biasa mnyerang mereka. Mereka lari karena serangan itu dan masuk gereja
Kilo.mereka sebenarnya ingin terus dikejar, akan tetapi aparat menembaki kami.
Begitulah kejafdian yang semanjak awal. Kalau kami umat islam yang diserang
aparat diam tidak beraksi, akan tetapi ketika kami menyerang, aparat menembaki
kami begitulah yang terjafi sampai saat ini.
Pada hari juma’at Umat Islam yang ada didesa Mamala, Marola dan
Wakaro, mereka mendengar bahwa masjid Al Fatah sudah terbakar dan Kiyai Abdul
Aziz telah terbunuh. Lalu mereka berikrar Untuk apa lagi kita hidup. Maka
mereka mengumandangkan Jihad. Tidak kurang 40 jama’ah dengah pakaian warna
putih turun untuk menghadapi kaum Nasrani, akan tetapi di Air Besar mereka
dihadang oleh Brimob. Karena mereka tidak mau mengerti, akhirnya mereka
ditembak, tapi anehnya tidak ada peluru yang bisa menembus perut mereka. Dan
anehnya lagi menurut pengakuan penembak ternyata yang dilihat itu bukan 40
orang, tapi ribuan orang yang dipimpin oleh 4 orang penunggang kuda. Yang
kemudian akhirnya komando mereka menginstruksikan untuk mencari ke empat orang
tersebut dan sampai kini tidak ditemukan karena kami memang tidak mampunyai
Kuda berwarna Putih.
Ditengah perjalanan ketika merekahendak pulang, mereka dihadang,
maka disanalah mereka menghabiskan para penghadangnya. Perkampungan Batu Karang
dan Gereja dihabiskan.
Rupanya Umat Nasrani tidak puas lalu melakukan pembalasan. Mereka
membakar perkampungan Islam yang bernama Karang KTT, Batu Bulan, disana mereka
membakar rumah umat Islam. Setelah itu mereka menangkapi anaka kecil yang
sedang lari menyelamatkan diri kemudian dilempar kedalam api. Dan saudara-saura
kita yang muslimah diperkosa didepan orangtuanya. Setelah diperkosa, payudarah
mereka dipotong, baru kemudian dibunuh dan setiap yang dibunuh didadanya
diberikan tanda salib.
Kemudian Pak Wiranto datang. Saya bertemu dengan Pak Wiranto,
dengan ketua MUI Rusdi, ketua DMI Abdullah dan beberapa Ustadz lainnya, ada
perjanjian yang ditanda tangani MUI, MDI, PENDETA dan Pastor juga Gubernur.
Jadi pada waktu penanda tanganan perdamaian masalah dianggap selesai. Tapi
ternyata keesikan hrinya mereka masih juga menyerang. Berarti para pendeta dan
Pastor tidak konsekwen denga perjanjian. Mereka tidak menginstruksikan kepada
pengikutnya yang dibawa untuk berdamai.
VIII.
Darah Muslim
Mengucur
A.
TRAGEDI
PEMBANTAIAN TOBELO FEB 5, ’10 11:25 AM[26]
|
IX.
Semangat Jihad
Diserukan
A.
Tentara Allah Turun
di Ambon [27]
Pasukan kafir itu terbirit-birit. Ribuan jundullah cilik menyerang
mereka dengan keberanian luar biasa.
Tragedi Ambon telah lewat sebulan. Namun, asapnya masih belum pupus
benar. Meski berangsur pulih, denyut kehidupan di Ambon masih belum normal.
Apalagi, darah masih terus tumpah di beberapa tempat di sekitar Kepulauan
Maluku. Lagi-lagi, seperti pada tragedi Idul Fitri Kelabu di Ambon,korbannya
kebanyakan juga kaum Muslimin. Seperti diketahui, dalam prahara Ambon, kaum
Muslimin menjadi korban kebiadaban kaum Kafirin. Mereka dibantai dan disiksa
dengan cara amat keji. Sejumlah kaum Muslimin diperkosa. Sementara puluhan ribu
jadi pengungsi lantaran rumah dan toko mereka dibakar. Belum lagi belasan
Mesjid yang dihancurkan atau dibakar.
Namun tak banyak yang tahu, ditengah segala kengerian itu terjadi
peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Allah swt. menurunkan bala tentara-Nya
ketika umat Islam nyaris jadi korban. Firman Alah swt. yang turun saat perang
Badar berkecamuk balasan abad silam, terbukti di bumi jihad Ambon:
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu lalu
diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan
kepadamu dengan seribu malaikat yang berturut-turut.” (QS. Al-Anfal: 9).
Kejadian-kejadian menakjubkan itu diceritakan K.K ABDUL Aziz Arbi.
MA, Imam Besar Masjid Jami’ Al Fatah Ambon, kepada wartawan Sabili, M, Lili Nur
Aulia Rizki Ridyasmara yang menemuainya Ahad pagi (20/2) di Jakarta. Dalam
wawancara selama satu setengah jam ini ustadz Abdul Aziz menuturkan
kesaksiannya tentang turunnya bantuan Allah berupa pasukan Mujahidin cilik
berjubah dan bersongkok putih. “Saya terpaksa mengungsikan istri dan kelima
anak saya karena situasi Ambon yang masih sangat rawan. Tapi Insyaallah, saya
akan segera kembali ke sana,” tutur alumnus Universitas Ummul Qura’ Mekkah
berikikut uraiannya:
RIBUAN JUNDULLAH CILIK[28]
Pada malam pertama kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999 yang bertepatan
dengan 1 Syawal 1419 H, saya berada di rumah keluarga kompleks masjid raya Al
Fattah. Suasana malam ituterasa amat mencekam. Tiap setengah jam sekali
terdengar tiang listrik di pukul bertalu-talu tanda adanya serangan dari pihak
Nasrani. Ibu-ibu dan anak-anak semuanya dicekam ketakutan yang luar biasa. Para
penyerang itu menggunakan berbagai macam senjata. Mereka berteriak-teriak
dengan bengis. Itu terjadi sepanjang malam. Tak pernah berhenti. Kita hanya
bisa menahan serangan mereka.
Pada malam kedua, saya
dijemput dua puluh tentara dari Kostrad. Say diberitahu bahwa saya adalah orang
pertama yang akan dibunuh. Saat itu terjadi penyerangan yang cukup hebat
terhadap Masjid Al Fatah. Sejak dini hari hingga tengah malam orang-orang
Nasrani menyerang kita secara bergelombang. Mereka bersenjatakan panah-panah
api dan racun, parang, tombak, batu, bom molotof, hingga bom ikan. Pasukan
Muslim hanya dibekalkan senjata seadanya: parang; kayu batu, dan senjata apa
saja yang bisa diraih. Ada kalanya kita mendesak mereka namun sewaktu-waktu
mereka ganti mendesak kita. Sekitar pukul 24-01.00 malam waktu setempat, umat
Islam terdesak mundur. Musuh-musuh Islam itu, Nasrani-nasrani maju hingga
menuju pagar Masjid Raya. Mereka benar-benar ingin menghancurkan Masjid Raya kebanggaan
kota Ambon itu. Di dalam masjid berkumpul 5000-an pengungsi yang kebanyakan
terdiri dari ibu-ibu dan anak kecil. Para penyerang itu tampak sudah sedemikian
dekat dengan pagar masjid. Beberapa dari mereka bahkan telah melompati pagar.
Umat Islam panik bercampur marah. Para prngungsi histeris ketakutan. Gambaran
kehancuran masjid dan pembantaian pengungsi sudah terbayang di pelupuk mata.
Keadaan sudah sedemikian gawat. Nyaris tanpa harapan.
Entah mengapa, tiba-tiba para penyerang itu berbalik dan lari
terbirit-birit. Kelihatannya mereka sangat ketakutan. Kita sama sekali tidak
tahu apa yang sebenarnya terjadi ternyata mereka menyaksikan apa yang kita bisa lihat. Ini kita ketahui melalui cerita
seseorang Nasarani yang berhasil ditawan: “Saya melihat ribuan kanak-kanak
berusia sekitar 10 tahun, memakai baju dan songkok putih berlari kencang keluar
dari dalam masjid ke arah kita. Seorang tua berjubah dan bersorban putih dengan
tongkat di tangannya tampak memimpin pasukan itu. Jumlahnya sangat besar dan
keberaniannya menyerang sangat luar biasa. Itulah yang membuat kami takut dan
berbalik lari meninggalkan masjid.” Subhanallah... Allahu Akbar! Itu terjadi
pada malam Kamis.
TIUPAN MALAKAT[29]
Pada malam Jum’at mesjid Al Fatah kembali diserang. Kali ini mereka
menyerang dari jalan baru-jalan ini terletak di depan masjid. Dengan
memanfaatkan tiupan angin yang mengarah ke masjid Al Fatah, penyerangan
dilakukan dengan membakar rumah di ujung Selatan jalan baru. Mereka menggunakan
anak panah yang menyala. Namun ketika mereka menghujani rumah-rumah Nasrani
tetangganya. Tapi karena saat itu angin bertiup sangat kuat, rumah-rumah Muslim
yang letaknya bersebelahan ikut terbakar.
Api merambat kian besar ke arah masjid. Tiupan angin kian
mempercepat rembetan itu. Penduduk berhamburan keluar menyelamatkan diri keluar
mengamankan diri ke masjid Al Fatah. Penduduk Muslim yang laki-laki bertempur
dibawah kobaran api yang membumbung tinggi, menahan gelombang serbuan kafirin
yang berusaha menerobos ke Masjid. Di masjid, para prngungsi kembali panik.
Kaum ibu berteriak histeris. Anak-anak mnangis ketakutan. Hawa malam itu terasa
demikian panas, bercampur rasa kalut dan pasrah.
Melihat keadaan demikian, saya perintahkan semua wanita yang ada di
dalam masjid mengenakan pakaian shalatnya. Saya komandokan mereka bertakbir
mengagungkan nama Allah swt. Allahu Akbar! Gemuruh takbir kian lama kian kompak
dan bergemuruh. Takbir yang diteriakan oleh jiwa yang pasrah dan
sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah membahan hingga ke luar masjid.
Warga di Gang Diponegoro dan Batu Merah yang terletak di dekat Al Fatah
menangis saat mendengar takbir yang memilukan. Kita bertakbir dari pukul
23.00-01.00 malam.
Di malam penuh kekalutan itu, orang-orang yang berada di sekitar
masjid tiba-tiba dikagetkan oleh sebersit cahaya terang berwarna biru yang
jatuh dari langit. Bola cahaya itu membelah kepekatan malam, meluncur turun
tepat di atas Masjid Raya Al Fatah. Entah apa sebabnya tiba-tiba angin berbalik
arah dan berhembus amat sangat kencang. Yang tadinya berhembus ke arah masjid,
kini berbalik seratus delapan puluh derajat menuju Gereja Silo. Seandainya
angin tetap bertiup ke arah masjid, bukan tidak mungkin seluruh rumah Muslim
akan habis. Tapi dengan izin Allah swt angin itu berbalik, dan akhirnya
membakar Gereja Silo yang berjarak kurang lebih 300 meter dari Al Fatah.
Curangnya pemuda Ambon, khususnya pemuda pemadam kebakaran, mereka
telah memarkir dua unit pemadam kebakaran di samping Gereja Silo, namun tidak
di Masjid Al Fatah. Mereka memadamkan api yang menjilat Gereja Silo.
Kita di Masjid tetap mengumandangkan takbir, itu membuat orang
kafir makin kalap. Mereka kian bengis menyerang kita. Seorang pengungsi berkata kepada saya, “Ustadz, hentikan takbir.
Mereka makin kalap mnyerang kita. Takbir akhirnya kita hentikan. Namun setelah berhenti mereka tetap menyerang kita.
Takbir akhirnya kita lanjutkan. Kita kembali menyusun pertahanan. Dengan takbir
tersebut, kita memompa semangat jihad kawan-kawan. Mereka akhirnya bisa kita
pukul mundur.
Entah mengapa, seiring dengan terpukulnya pasukan kafir itu, angin
kembali bertiup sangat kencang menuju Gereja Silo. Api kembali membakar gerja
itu. Mobil-mobil pemadam kebakaran pun berusaha keras memadamkan api kembali.
Itu terjadi pada malam Jum’at, 22 Januari 1999. Kita tidak membakar gereja,
mereka sendirilah yang membawa-bawa api.
B.
Pentingnya
Jihad Dalam Islam[30]
Jihad secara bahasa artinya :
1)
Mengerahkan
segala kemampuan
2)
Berjuang
menghadapi segala kesulitan.
Jihad secara hukum Islam ada dua macam : pengertian umum dan
pengertian khusus.
Jihad dalam pengertian umum artinya usaha maksimal untuk
penerapan ajaran Islam serta pemberantasan kemungkinan dan kedhaliman, baik
terhadap diri pribadi maupun masyarakat. Ini menyangkut semua jenis ibadah,
baik dhahir maupun batin. Makna jihad umum ini di antaranya disebutkan dalam Al
Qur’an Surat Al-Furqan/ 25 ayat 52:
“Maka janganlah mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.” (QS 25: 52).
QS. Al-Hajj/22: 78:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan
(begutu pula) dalam (Al Qur’an) ini supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah
pelindungmu, maka Dia lah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS
22: 78).
Jihad dalam
pengertian khusus adalah perang melawan mush Islam. Pengertian khusus
inilah yang dibicarakan secara luas dalam kitab-kitab fiqh dan selalu dikaitkan
dengan qital, harb, dan ghazwat (pertempuran, peperangan dan
ekspedisi). (Lihat Ensiklopedi Islam, Departemen Agama RI 1978/1979 jilid 2,
hal 451).
Ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung pengertian jihad, yang turun di
Mekkah (terutama setelah turunnya ayat yang mengizinkan perang), mengandung
makna ganda, mengandung pengertian jihad khusus dan jihad umum. Seperti firman
Allah:
“Hai Nabi, berjihadlah menghadai orang-orang kafir dan
orang-orang munafiq, serta bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS.
At-Taubah/ 9: 73).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, juga orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan bantuan (kepada Muhajirin), mereka saling
melindungi satu sama lain.” (QS. Al-Anfal/ 8: 72).
Menurut Ensi
tersebut, dalam Mu’jam Alfadz Al Qur’an Al- Karim menegaskan bahwa kebanyakan
kata jihad dalam Al Qur’an berarti mengerahkan segala kemampuan untuk
penyerangan da’wah Islam serta mempertahankan dan melindunginya. Dengan
demikian, pengertian jihad bukan terbatas pada perang (qital, harb, dan ghazwat),
tetapi mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang sungguh-sungguh dalam
rangka da’wah Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Bertitik yolak dari
pengertian jihad seperti disebutkan di atas, maka jihad berlangsung secara
berkesinambungan, baik dalam situasi aman maupun perang. Jihad merupakan
sokoguru yang menentukan tegaknya ajaran Islam. Kehidupan yang aman dan damai,
sejahtera dan bahagia akan terwujud selama jihad ditegakkan. Sebaliknya, jika
semangat jihad melemah, maka kegairahan bekerja akan pudar, sifat apatis dan
pengecut akan muncul dan akhirnya mengakibatkan kemunduran dan kehancuran.
(ibid, hal 451)
Diizinkannya perang jihad dan perintah perang[31]
“Telah diizinkan
(berperang) bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka. (Yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Jikalah Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Dan
sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya; sesungguhnya
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada
Allah lah kembali segala urusan.” (QS.
Al-Hajj: 39-41)
Ulama salaf (angkatan terdahulu: shabat, tabi’ien, dan tabi’it
tabi’ien) berbeda pendapat tentang ayat yang pertama diturunkan mengenai
perintah perang. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya Rowaai’ul Bayaan (Tafsir
Ayat Ahkam, terjemahan) menjelaskan ada dua pendapat. Pertama ayat 190 Surata
Al-Baqarah, dan kedua ayat 39 Surat Al-Hajj/22. Lalu dikutip pendapat Ibnul
‘Arabi Al-Andalusi* bahwa ayat pertama diturunkan berkenaan dengan perintah itu
QS. Al-Hajj: 39, sifatnya diizinkan, dan turun di Mekkah. Kemusdian
difardhukan/diwajibkan berperang, dengan ayat 190 Surat Al-Baqarah yang turun
di Madinah. *(Bukan Ibnu ‘Arabi _tanpa al_sufi yang dikafirkan sejumlah ulama
karena pendapatnya yang sesat yaitu wihdatul wujud, menyatukan diri/alam
dengan Tuhan atau kalau aliran
kepercayaa Kejawen mnyebut istilah itu
dengan manunggaling kawula Gusti).
Berikut ini
kutipan tentang diizinkannya perang dan kemudian diwajibkannya:
Ulama salaf
berbeda pendapat tentang ayat pertama diturunkan yang berkenaan dengan perintah
berperang. Diriwayatkan dari Rabi’ bin Anas dan lain-lainnya, bahwa ayat
pertama kali diturunkan yang berkenaan denga perintah berperang yaitu firman
Allah:
“Dan perangilah
di jalan Allah, orang-orang yang menyerangi kamu.” (QS. Al-Baqarah : 190).
Ayat ini
diturunkan di Madinah, lalu Rasulullah SAW memerangi orang yang memeranginya
dan tidak memerangi orang yang tidak memeranginya.
Dan diriwayatkan
dari sejumlah Sahabat, di anatarnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas dan Sa’id
bin Jubair, bahwa pertama kali ayat yang berkenaan dengan perintah perang adalah firman Allah:
“Diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolog mereka.
(QS. Al-Hajj: 39).
Ibnul ‘Arabi
berkata: yang benar, bahwa ayat yang
pertama diturunkan yang berkenaan dengan perintah perang yaitu ayat diizinkan
(berperang) bagi orang-oramg yang diperangi... dst (QS. Al-Hajj: 39), kemudian
turun ayat “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” (QS.
Al-Baqarah :190), maka berperang pertama kali “diizinkan” kemudian
“difardhukan”, sebab ayat “izin perang” adalah turun di Mekkah, sedang ayat (perangilah
QS 2: 190) ini turun di Madinah. (Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, buku I,
hal. 180-181).
Musuh Masuk kampung Islam, Jihad Fardhu ‘ain[32]
Setengah ulama
berpendapat bahwa berperang ada kalanya fardhu kifayah (kolektif) dan ada pula
fardu ‘ain (tiap-tiap Muslim) menurut keadaan. Demikian penjelasan H Sulaiman
Rasyid dalam Al-Fiqhul Islami/ Fiqh Islam.
Berperang itu
termasuk fardhu kifayah (kewajiban yang cukup dilaksanakan oleh sebagian orang
Islam) bila dalam dua keadaan:
a.
Untuk menjaga
batas-bats negeri Islam sewaktu damai sebelum terjadi peperangan. Banyaknya
menurut keperluan yang sesuai dengan keadaan tiap-tiap masa dan tempat.
b.
Apabila Imam
telah mengumumkan perang terhadap musuh. Ketika itu fardhu kifayah atas
orang-orang yang mencukupi syarat-syaratnya. Banyaknya menurut keperluan pada
waktu itu.
Hukum berperang menjadi fardhu ‘ain (kewajiban setiap Muslim pen)
atas tiap-tiap Muslim apabila musuh telah masuk ke dalam negeri (kampung, pen)
Islam. Ketika itu perang menjai fardhi ‘ain atas tiap-tiap penduduk negeri itu,
yang jauhnya kurang dari perjalanan qashar (shalat) kira-kira 80,640 km).
Fardhu kifayah atas selebihnya. (sedang) banyaknya menurut kepentingan, sekedar
mencukupi hajat untuk pembelaan negeri yang telah dimasuki oleh msuh itu.
(Sulaiman Rasyid. Al-Fiqhul Islami/Fiqh Islam, Sinar Batu Bandung, cet
22, 1989, hal 419-420).
Hal-hal yang menyebabkan perlunya berjihad/berperang[33]
ada beberapa hal
yang merupakan latar belakang hal-hal yang menyebabkan perlunya berperang jihad
dalam Islam, antara lain:
a.
Mempertahankan
diri
b.
Memberantas
kedhaliman
c.
Menghilangkan
fitnah
d.
Membantu
orang-orang lemah
e.
Mewujudkan
keadilan dan kebenaran (QS. Al-Baqrah : 193 dan An-Nisa :75-76).
Tujuan jihad/ perang ini adalah terlaksananya ajaran Islam dalam
arti yang sebenarnya. Justru itu perintah jihad dalam Al Qur’an sering kali
dikaitkan dengan fisabilillah (di jalan Allah). Hakikat sabilillah
adalah segala jalur atau usaha untuk mencapai ridha Allah dengan titik sentral
pada perwujudan tauhid dalam bidang akidah, kasih sayang dalam bidang akhlak,
dan adil dalam bidang syariat.
Dirangkaikannya jihad dengan sabilillah merupakan isyarat bahwa pelaksanaan jihad
tidak boleh menyimpang dari norma-norma dan kaidah yang telah ditentukan oleh
Allah swt. jihad tidak dikaitkan dengan jangka waktu tertentu, tetapi berlaku
secara berkesinambungan dan merupakan ciri khas yang menandai orang-orang
beriman.
Para ulama berpendapat bahwa hukum jihad adalah wajib berdasarkan nash
(teks) yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah
Rasul. Namun terdapat perbedaan pendapat tenytang wajibnya, apakah
dibebankan atas setiap individu (wajib ‘ain) atau kolektif (wajib kifayah).
Hal ini berpangkal pada sudut pandang yang berbeda terhadap makna
jihad. Apabila jihad diartikan sebagai perang secara fisik, maka hukumnya
fardhu kifayah (Al-Syafi’i); dan apabila jihad dimasukkan dalam pengertian
umum, maka hukumnya fardhu ‘ain. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma;ad, II/
1970: 66, atau jilid III (1995) halaman 61, seperti dikutip Ensiklopedi Islam
di Indonesia, Departemen Aagam 1987/ 1988 jilid II, hal 451-452).
Yang dimaksud berjihad[34]
Kewajiban berjihad
dalam arti perang tidak dibebankan kepada semua orang, tetapi ditujukan untuk
orang-orang yang telah memenuhi persyaratan:
a.
Islam
b.
Baligh
c.
Berakal
d.
Merdeka
e.
Tidak cacat
f.
Ada biaya.
(Ibnu Qadamah, Abi Muhammad, Al-Mughni VIII: 347, Ensiklopedi Islam,
ibid, hal 452)
BAB III
PENUTUP
Dari makalah yang penulis susun tersebut yang
meninformasikan tragedi Ambon tetntu menyimpan banyak hikmah. Tentu masih
teringat tragedi-tragedi yang dipaparkan di atas, yang penuh ilustrasi
mencerikan pembantaian, pembunuhan, pemerkosaan, perusakn, pembakaran, hingga
mayat-mayat umat Islam jatuh bergelimpangan. Namun saya yakin, dengan semangat
Jihad di dada mereka, perjuangan mereka tidaklah sia-sia. Para pakar sudah
bicara, dengan segala aliansinya dan asumsinya masing-masing. Ada yang bilang
hal ini terjadi karena kesenjangan ekonomi, konflik umat beragama ataupun yang
lainnya.
Teori-teori
itu bisa saja benar, meski sulit
mendapatkan data-data yang akurat, tapi, yang pasti tragedi Ambon tak cukup
dipandang dalam dimensi duniawi belaka. Ada dimensi ukhrawi dan imani yang tak
boleh diabaikan. Yakni, berlakunya rencana Allah di balik semua peristiwa besar
itu. Manusia boleh berencana, ketetapan Allah jualah yang terlaksana.
Bertolak dari pemahaman ini, tragedi Ambon 1999 lalu sesungguhnya
mengandung blessing in disguise (hikmah tersembunyi). Di balik semua
kegetiran yang tak terperi, tercuat hikmah dan buah positif yang luar biasa.
Tragedi Ambon menyadarkan kita akan semua peringatan Allah ihwal kebencian
laten Kaum Yahudi dan Nasrani kepada Umat Muslim (QS. Al-Baqarah: 120).
Kebencian itu selama ini terpendam di dalam lubuk hati mereka, bak apai dalam
sekam. Toleransi yang manis di kota “manise” kini telah pudar termakan bara api
kebencian yang mulai memanas.
DAFTAR PUSTAKA
Jaiz,
Ahmad Hartono. 1999. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi Ketakutan Ekstrimis Nasrani. Jakarta: Dea
Press.
Muhammad
Najib, dkk. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta :
LKPSM.
Richard
H. Chauvel, dalam Audrey Kahin. 1985. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan,
(ter). Styagraha Hoerip), Jakarta: Grafti.
http://deeu47.multiply.com/journal/item/130/Tragedi_Pembantaian_Tobelo
Tabloid Aliansi Keadilan No.02, 11 Maret 1999 hal 4-8
Sabili No. 17/10 Maret 1999 Hal. 54-61
Media
Dakwah No. 297, Maret 1999 Hal. 24-27.
Lerissa, R.Z, dkk. 1999. Sejarah Kebudayaan Maluku, Depdikbud.
Jakarta : CV Ilham Bangun Karya.
[1] Muhammad
Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[2] Muhammad
Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[3] Muhammad
Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[4] Menurut
Dr. Frank Leonard Cooley dalam disertasinya yang berjudul “ Altar and Throne In
Central Mulaccan Societies” halamn 216 mengataklan “ Pela as it is found at present in Moluccan Societles is
an institutionalized bond of friendship or brotherhood betwen all native
residents of two or more villages, which bond was estabilised by the ancestors
under particuler circumstances and carries specific and privileges for the
parties thus bound together”.
[5] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi
Ketakutan Ekstrimis Nasrani, (Jakarta: Dea Press. 1999). Hlm. 20.
[6] Jaiz,
Ahmad Hartono. Op. Cit. Hlm. 20-21.
[7]Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi
Ketakutan Ekstrimis Nasrani, (Jakarta: Dea Press. 1999). Hlm.
[10]
Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[11] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi
Ketakutan Ekstrimis Nasrani, (Jakarta: Dea Press. 1999). Hlm.
[12]
Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[13] Menurut
Komandan Korem 174/Pattimura, Kol (Inf) Karel R. Rahalahu, hingga 19 Maret
1999, korban kerusuhan itu mencapai 721 jiwa: 190 meninggal, 274 luka berat,
257 luka ringan. Belum lagi kerugian materil, psiko-sosial dan
psikio-keagamaan_yang rasanya tak bisa diukur. Lihat UMMAT. 5 April 1999.
[14] Richard
H. Chauvel, dalam Audrey Kahin. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (ter).
Styagraha Hoerip), Jakarta Grafti, 1985. Hlm 244.
[15]
Chauvel, “Ambon” dalam Review of Indonesian and Malayan Affairs 14, 1,
1980:53-67.
[16] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 22.
[17]Chauvel,
Ibid. Hlm. 244
[18] Hartono
Ahmad Jaiz, Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) hlm. 23 yang
mengutip dari Chauvel.
[19] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 25.
[20] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 30-31.
[21] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 32
[22] Tabloid
Aliansi Keadilan NO.02,11 Maret 1999 Hal. 4-8
[23] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 67, yang
mengutip dari Sumber: Posko keadilan
[24]
Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm.
97-103, yang mengutip dari
Sabili no. 18, hal.36-40
[25] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 86-93,
yang mengutIp dari Media Dakwah No. 297, Maret 1999 Hal. 24-27.
[26]
http://deeu47.multiply.com/journal/item/130/Tragedi_Pembantaian_Tobelo
[27] [27]
Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm.
171-176, yang dikutip dari Sabili No. 17/10 Maret 1999 Hal. 54-61
[28] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 172-173.
[29] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 173-175.
[30] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 189
[31] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah,
(Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 191
[32] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah,
(Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 193.
[33] Jaiz, Ahmad Hartono. Op. Cit. Hlm. 194
[34] Jaiz,
Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 195.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar