Sabtu, 15 Oktober 2011

Pudarnya Budaya Demokrasi di Maluku Berbuah Tragedi Ambon Bersimbah Darah


BAB I
PENDAHULUAN
            Alhamdulillahi Rabbil A’laimien. Segala puji bagi Allah swt, Rabb seluruh alam. Dia lah yang telah memberi peringatan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, dengan penegasan:

            orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120)
            Dari segi keamanan, Allah SWT pun telah memberi peringatan kepada umat Islam:

            Mereke tidak henti-hentinya memerangi kamu samapai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup....” (QS. Al-Baqarah: 217).
Dalam menghadapi serangan mereka itu, Allah SWT telah memberi petunjuk kepada kaum Muslimin:
           
            Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan,..” (QS. An-Nisa’: 104).
            Provinsi Maluku, yang saat 1999 lalu menjadi fokus perhatian karena ratusan orang-orang Muslim dibantai secara keji oleh orang-orang Kristen dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi, adalah salah satu provinsi RI yang terletak di wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT/WIT), yaitu di antara pulau Sulawesi dan Pulau Irian. Wilayah ini terdiri dari lebih seribu pulau, besar dan kecil. Karena itu sering disebut “Daerah Seribu Pulau”. Provinsi yang luasnya 85.728,36 km2 (4,2% luas Indonesia) berpenduduk 1.851.087 jiwa (1992), kurang lebih 2 juta jiwa pada 1999. Di Maluku, terdapat banyak suku bangsa: Ternate, Seram, Buru, Takabu, Tobelo, Akifuru, Wemale, Rana, Moa, Togiti, dan Banda. Komposisi pemeluk agama pun di sana sangat variatif di mana Islam adalah agama mayoritas (Islam 54%, Kristen 44,3%, dan lain-lain 1,7%). Dengan komposisi penduduk seperti ini, maka adalah salah jika banyak orang memproyeksikan bahwa Maluku adalah wilayah orang-orang Kristen. Maluku adalah Islam, meski orang-orang Islam di sana tidak menjadi elit penentu dalam pemerintahan.
            Wilayah administratif Maluku terdiri dari Kabupaten 3 buah, Kotamadya 1 buah, daerah administrasi 1 buah, Kecamatan 56 buah, Kelurahan/Desa 1511 buah. Dengan Ibu kotanya Ambon, Maluku hanya memiliki 2 buah pelabuahan laut: Ambon, Ternate. Namun wilayah propinsi seribu pulau ini memiliki 3 buah pelabuhan udara: Pattimura(Ambon), Sultan Babullah (Ternate), dan Bandaneira (Banda). Hasil utama pertanian Maluku adalah kelapa, pala, cengkeh dan kopi yang juga mayoritas dihasilkan oelh para petani Muslim. Hasil utama perikanan adalah ikan laut, rumput laut, mutiara yang dikerjakan oleh sedikit Muslim di sana. Sementara hasil utama kehutanan (kayu dan kayu putih) dan hasil industri seperti minyak pala, minyak kelapa, kayu lapis, kayu olahan serta hasil bahan tambang (minyak bumi, mangan, batu perhiasan, dll) rata-rata dikuasai oleh elit Kristen di sana.
Provinsi Maluku beriklim tropis, yang dipengaruhi oleh perairan lautnya yang luas. Pada umumnya dalam setahun terjadi empat kali pergantian musim, yaitu musim hujan, musim pancaroba, musim kering dan musim pancaroba kembali sebelum memasuki musim barat.
            Gugus Kepulauan Maluku berbentuk Relief-relief yang sanagt besar, di mana palung-palung oceanis dan punggung-punggung pegunungan saling bersambung dengan sangat mencolok. Permukaan tanah di pulau-pulaunya, didominasi oleh tanah perbukitan dan pegunungan. Paparan dataran rendah yang tidak terlalu luas terdapat di sepanjang pantai dan muara sungai, seperti yang terdapat di beberapa pulau besar yaitu Pulau Morotai, Pulau Halmahera, Pulau Obi, Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Tanimbar, dan Pulau Aru.
Masyarakat Ambon adalah masyarakat yang sudah lama terintegrasi dengan sistem politik Belanda ketika VOC pertama datang mengeksploitasi rempah-rempah cengkeh di sana bersama dengan diperkenalkannya agam Kristen bagi masyarakat Ambon. Di mana pada saat monopolo perdagangan di Maluku ini Belanda juga gencar-gencarnya mengKristenkan warga-warga Ambon. Kemudian warga Ambon yang Kristen diberikan keistimewaan dalam beberapa kedudukan, meskipun tidak tinggi. Nampaknya hal ini membuat warga Ambon Kristen merasa bersaudara dengan kolonial Belanda, sehubungan dengan agama mreka yang sama.
            Wilayah yang bermotto Siwa Lima yang artinya “milik bersama” ini memiliki cara hidup toleransi dan demokrasi yang sangat bagus. Segala sesuatau dianggap
“milik bersama” yang dijaga secara baik-baik. Bahkan Ali Moertopo dulu pernah menunjukkan contoh toleransi beragama adalah Ambon atau Maluku. Atas dasar Siwa Lima, memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun, nampaknya dilihat dari tragianya tragedi yang terjadi di Ambon 1999 lalu, terlihat bahwa rasa toleransi dan demokrasi itu kini telah pudar dan terkikis. Dikalangan beberapa tokoh, ada yang berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ketakutan Ekstrim Nasrani terhadap kekuasaan dan dominasi Islam. Ada pula yang berpendapat, bahwa hal ini merupakan hasil dari politi oknum-oknum tertentu yang menginginkan sesuatau.
Oleh karena itu penulis merasa terpanggil untuk menampilkan tema Tragedi Ambon berdarah ini. Mudah-mudahan penjelasan dalam makalah ini dapat membantu memperjelas  serta menambah khasanah pengetahuan penulis juga dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya.













BAB II
PEMBAHASAN
Pudarnya Budaya Demokrasi di Maluku Berbuah Tragedi Ambon Bersimbah Darah
I.        Demokrasi Budaya Maluku Menurut Beberapa Pandangan[1]
Jika Demokrasi merupakan sebuah sistem yang menghendaki adanya persamaan status dalam kehidupan riil sehari-hari maka Maluku merupakan suku yang ada di Indonesia, yang mempunyai relevansi dengan sistem demokrasi. Bagi orang Maluku tingginya heterogenitas yang ada di Masyarakat ini merupakan aset pembangunan, sebatas keragaman itu bisa dimanfaatkan sebagai media pertukaran, yang satu sama lain bisa saling mengisi dan mendukung bagi proses pembangunan.
            Akar kehidupan masyarakat Maluku bermula dari sebuah sistem yang bernama pela. Pela ini merupakan sebuah komunitas yang mempunyai sistem nilai yang khas. Pela terbentuk atas dua desa atau lebih, yang karena kesamaan adat kemudian mengintegrasi dirinya dalam satu pela. Warga dalam satu pela ini ibaratnya telah menjadikan darah mereka menjadi satu saudara. Persoalan yang dihadapi oleh salah seorang warga dalam satu pela kemudian menjadi persoalan bersama. Yang terjadi kemudian masyarakat dalam pela ini membentuk sebuah mekanisme musyawarah untuk mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pela itu.
Wujud dari kerjasaman antar saudara satu pela itu dapat dilihat dari sistem gotong-royong yang ditegakkan. Jika pela itu terbangun atas desa yang mempunyai agama berbeda, misalnya warga pela dari satu dcsa beragama islam sedang membangun masjid, maka saudara satu pela dari desa lain yang beragama lain, misalnya Kristen juga turut membantu. Begitu juga jika warga Kristen membangun gereja, maka saudara sepela dari agama Islam juga akan turut membantu.
Dalam implementasinya sistem pela juga memiliki fungsi melindungi warga pela dari ancaman pihak luar. Karena heterogenitas yang ada di komunitas ini kemudian memungkinkan terjadinya konflik. Hal inilah yang kemudian membuat integritas yang ada pada masing-masing pela menjadi aset bagi ketahanan di sebuah pela, yang kemudian manfaatnya dapat dirasakan bagi kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan hidup bersama.
Sistem pela dalam masyarakat Maluku mengandung dua unsur pokok yang sangat bermakna, yaitu rasa ketergantungan dan saling memberi. Dalam kedua unsur ini masyarakat  yang memiliki hubungan pela terintegrasi dalam satu hubungan yang harmonis di mana mereka saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini bersama.
Dalam suatu forum musyawarah adat suatu pela, yang lebih berperan adalah Raja/Upu Latu sebagai kepala persekutuan mayarakat adat. Sistem yang ada di Kepulauan Kei misalnya, tidak pernah punya atasan, karena sesama raja sederajat. Walau persamaan itu tentu tetap menimbulkan perbedaan posisi antara raja dan rakyat. Perbedaan posisi ini diantaranya diperkuat dengan adanya hukum adat. Ketika terjadi peristiwa adat dengan menyembelih binatang kurban misalnya, maka raja dan perangkat kerajaan lain mendapatkan bagian tertentu dari binatang yang dibunuh itu, yang hal itu menggambarkan adanya perbedaan posisi antara yang satu dengan yang lainnnya. Implikasi lebih jauh juga terjadi dalam musyawarah. Bagi pengendali kekuasaan yang paling strategis tentu mendapatkan posisi yang paling strategis pula dalam hal pembuatan kebijakan. Perbedaan status ini yang kemudian dalam dataran berikutnya menimbulkan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat khususnya yang terjadi di Kepulauan Kei. Masyarakat terbagi dalam beberapa kelas; Mel-Mel (bangsawan), Ren-Ren (rakyat biasa), Iriri (budak). Pemegang kekuasaan kemudian merupakan hak dari golongan tertentu saja.
Walau sebenarnya golongan penguasa itu kemudian berusaha menyampaikan aspirasi dari masyarakat adat masing-masing (pela) ketika terjadi rapat/musyawarah antar raja. sehingga yang terjadi kemudian, kini kemudian masyarakat Maluku terdiri dari banyak kerajaan kecil yang terbentuk atas masarakat adat, yang masing-masing mempunyai kekhasan tertentu. Masing-masing kerajaan ini mempunyai otonomi yang cukup tinggi, sehingga tidak tejadi saling menguasai. Posisi antar kerajaan ini yang sepadan kemudian memungkinkan terjadinya yang relatif demokratis dalam kerjasama antar kerajaan lokal, yang secara paralel kehidupan demokratis ini terjadi dalam masyarakat daam satu pela.

A.    Pandangan Erly Laiwakabessy terhadap Demokrasi Budaya Maluku[2]
Daerah Maluku sebagai bagian integral dari wilatah Indonesia memiliki ciri khas. Hal ini dapat dilihat dari keadaan geografisnya yang dapat dikatakan sebagai Indonesia Mini. Di mana selain sekitar seribu pulau yang disatukan oleh laut yang laas (laut luasnya 765.272 km2 dan luas daratannya 85.729 km2) dengan perbandingan luas lautan dan daratannya sebesar 9:1. Di samping itu di daerah ini juga memiliki tradisi, adat istiadat, agama yang berbeda.
            Menurut Erly Laiwakabessy yang dimaksud dengan akar kehidupan sosial budaya Maluku ini ialah apa yang disebut dengan “pela” sebagai suatu sistem nilai dalam kehidupan masyarakat di daerah ini.
Apabila diperhatiakan secara mendalam maka akan diketahui bahwa sistem pela mempunyai kaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat adat Maluku. Secara umum ada anggapan bahwa persekutuan pela merupakan salah satu organisasi, namun “pela” dapat pula dilihat sebagai suatu sistem nilai budaya karena makna dan hakekat “pela” ini memiliki penekanan yang berbeda seperti “Pela Tempat Sirih”, “Pela Tulen” (Pela Keras) atau ada yang menamakannya “Pela Minum Darah”.
Sistem “pela” di Maluku sebagai suatu tradisi dalam berdemokrasi dapat dilihat dalam aspek musyawarah adat yang di dalamnya selalu diusahakan suatu mufakat dengan menjunjung tinggi asas kekeluargaan untuk kepentingan bersama. Kenyataan ini dapat dilaksanakan karena ada pengaruh nilai-nilai fundamental dalam sistem “pela” yang mencegah terjadinya konflik yang selalu menumbuhkan hubungan harmonis (P.J Pelupessy, 1993). Selanjutnya akan dilihat juga perkembangan masyarakat Maluku dewasa ini serta kemungkinan-kemungkinan melestarikan segi-segi positif dari sistem budaya yang telah ada sejak zaman dahulu.
II.            Latar Belakang Historis Terbentuknya Sistem Pela di Maluku
Hal-hal umum tentang pela dapat ditemukan dalam penulisan-penulisan yang dilkukan oleh F.L P Sachse (1907): Seram en Zijne Bewoners, J.P Cooley (1962) :Ambonese Adat; A General Description atau dalam Ambonese kin groups, ethnologi (1966); Altar and Throne in Central Moluccan Societies (1968), A lang Sebuah Desa di Pulau Ambon.
Menurut pemahaman masyarakat asli Maluku bahwa pulau Seram yang dikenal dengan julukan ‘Nusa Ina’ yang berarti ‘Pulau Ibu’ merupakan pusat asli penduduk Maluku di masa silam (tempat keluarganya orang Maluku). Karena situasi politik yang tidak menguntungkan pada masa sekitar abad 14 dan 15 yaitu seiring terjadi pergolakan yang berkepanjangan seperti yang terjadi di Maluku Utara, maka dapat ditelusuri munculnya persekutuan “pela”. Persekutuan “pela” ini sebenarnya telah tertanam dalam kehidupan adat masyarakat yang ada di pulau Seram dan sekitarnya seperti pulau Ambon, Pulau Nusalaut, Pulau Saparua, Pulau Haruku, dan beberapa daereah lainnya di Maluku.
Untuk memahami proses timbulnya ikatan “pela” ini perlu diketahui bahwa dalam kehidupan masyarakat Maluku terdapat berbagai organisasi dalam struktur masyarakat adat yang memiliki multi fungsi dan telah ada selama berabada-abad yang lalu. Seperti yang terdapat dalam masyarakat pedesaan di Maluku dengan ciri yang menyolok baik itu menyangkut organisasi adatnya maupun tujuan dan fungsinya di mana kesemuanya memiliki kepantingan politik di masa lalu. Misalnya organisasi Pata Siwa dan Pata Lima yang dapat ditemui di Pulau Seram dan sekitarnya merupakan suatu organisasi untuk menghimpun kekuatan politik yang dulunya merupakan organisasi kemiliteran atau Pata Alune (Halune) dan Pata Waimale (Memele) yang ada sebelum Pata Siwa dan Pata Lima, organisasi Kakehang dan organisasi lainnya yang khas. Menurut pengetahuan masyarakat Seram organisasi-organisasi ini telah ada sebelum pecahnya perang Huamual.
            Untuk organisasi adat Maluku, organisasi Pata Lima dan Pata Siwa memiliki pengaruh yang sangat besar, karena organisasi ini melahirkan berbagai tradisi, yang menjadi nilai budaya masyarakat Maluku sampai kini.[3]
Namun dilihat dari latar belakang terjadinya “pela” menurut sejarah dan kenyataan terjadinya, “pela” itu berbeda satu dengan yang lainnya, tetapi tujuan tetap sama yakni, “Bekerja sama hubungan “pela” sebagai balas jasa dari negeri yang satu kepada negeri yang lain yang pernah membantunya baik dalam lapangan politik (peperangan) maupun dalam lapangan sosial (bencana alam, pertolongan di Laut, dll); 2) hubungan “pela” sebab ada hubungan persaudaraan  anatara negeri yang bersangkutan menurut cerita dari datuk-datuk mereka bahwa mereka adalah saudara kandung. Contoh: Rumahkay dan Rutong; 3) hubungan “pela” sebab terjadinya hal-hal yang luar biasa seperti negeri Latuhalat di tanjung Nusaniwe dan Alang di tanjug Alang yang disebabkan larena kisah cinta. Hubungan “pela” di Maluku dibedakan  dalam beberapa hal/peristiwa yang mengawalinya, jadi semakin besar peristiwa yang mengawali semakin keras sifat dari “pela” tersebut.[4]
Menurut pendapat F. Cooley bahwa “pela” ini terbentuk dalam abad ke XVI di Maluku. Menurut Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya Ambon Bersimbah Darah ada beberapa katagori “pela”  yakni antara lain: pertama Pela Keras/ Pela Lunak ini disebut Pela sejati karena menurut anggapan pihak-pihak yang berkepentingan hubungan “pela” ini diikrarkan bersama berdasarkan suatu perjanjian yang kemudian diperkuat dengan angkat sumpah.Dalam perjanjian itu ditetapkan antara lain: (1) Pela harus membantu pela dalam segala kesukaran dan kesusahan; (2) Pela harus menepati janji yang pernah diucapkan terhadap “pela”; (3) Pela tidak boleh kawin dengan pela; (4) Dengan demikian hubungan pela dengan pela sangat erat sekali seperti hubungan Gandong. Bila peraturan ini dilanggar maka akibatnya menurut kepercayaan  turun temurun mereka akan mengalami akibat yang sangat pahit, dengan kata lain akan mendapat musibah dalam rumah tangga bila tetap melakukan perkawinan antar “pela”. Kedua, “Pela Tempat Sirih”, dalam ikatan pela ini tidak berdasarkan penyumpahan (angkat sumpah) jadi dapat dikatakan sebagai jenis pela ringan, yang terjadi karena balas jasa (bantuan sosial, ekonomi, dll). Tempat sirih memegang peranan yang sangat penting dalam usaha pendekatan antara satu negeri dengan negeri yang lain. Jadi karena upacara pengangkatan “pela” diawali dengan makan sirih maka “pela” ini disebut dengan “Pela Makan Sirih”. Ketiga, Pela Minum Darah ini disebut dengan “Pela Perang”. Keempat, “Pela Darah”. Kelima, “Pela Batu Karang”. Keenam “Pela Adik Kakak” atau “Pela Saudara”. Ketujuh, “Pela Kawin”.[5]
Ada beberapa negeri yang mempunyai hubungan “pela” sesuai katagori di atas: 1) Pela Keras/Pela Tuni: AMETH-SOAHUKU KARIUU-BOOI-ABORU-HUALOI; 2) Pela Tampa Sirih/Angkat Sumpah: TIHULALE-HUKU ANAKOTTA KAIBOBU-12 Desa  di GunungSeram; 3) Pela Perang/ Pela Minum Darah: ROHOMONI-HATUHAHA-TUHAHA HATUHAHAH-OMA HATUHAHA-TIHULALE; 4) Pela Batu Karang: BATUMERA-PASO OMA-ULLATH; 5) Pela Adik Kakak/ Pela Saudara: HUTUMURI, SIRISORI-TIMILOU; 6) Pela Kawin: ALANG-LATUHALAT HITTU-LATUHALAT. Ada juga yang disebabkan karena genealogical bonds antara lain Pela Gandong seperti: KULUR-OMA, RUMAHKAI-RUTONG, HUKURILA-KILANG, EMA-NAKU. Salah satu “pela” sangat mengikat umat Kristen dan Islam yaitu Pela; AMBALAU-NUSA LAUT.[6]

III.            Pela dalam Masyarakat Adat di Maluku.
A.    Arti dan Makna Pela
Arti kata pela berasal dari pila yang berarti buatlah sesuatu untuk kita bersama dan kadang-kadang kata pila diberi akhiran “tu” sehingga menjadi pilatu yang artinya menguatkan, mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kini kata “pila” telah berubah menjadi “pela”[7]. Sedangkan menurut Subyakto pela dapat diartikan sebagai persatuan/persekutuan ataupun persahabatan antara warga-warga dari dua desa atau lebih yang berdasarkan adat.[8] Anggota-anggota dari organisasi-organisasi serupa mempunyai berbagai kewajiban satu dengan yang lain, tetapi bisa mengharapkan bantuan spontan dari sesama anggota organisasi dalam keadaan bahaya atau kesusahan.[9]
Dari pengertian ini “pela” memiliki makna yang sangat fundamental, karena melalui “pela” terdapat suatu hubungan persaudaraan yang sangat harmonis, di mana ada kewajiban-kewajiban  baik moril maupun materil yang saling mengisi, dan yang paling penting adanya toleransi dari sesama warganya. Kenyataan ini dapat pula dilihat dengat sifat masyarakat Maluku yang merasa keterkaitannya dengan sesamanya dan orang lain sangat besar. Masyarakat di daerah ini selalu bersifat gotong-royong yang menurut istilah setempat disebut “masohi”, di mana seseorang akan merasa tersinggung jika tidak diikutsertakan dalam “masohi” apalagi jika masohi itu dalam pertalian keluarga (Debdikbud, 1978)[10]
Yang sangat menarik dari pela ini ialah kenyataan di Maluku Tengah bahwa pela ini bukan saja terjadi antar negeri yang menganut agama sama, tapi juga negeri yang menganut agama yang berlainan agama. Misalnnya hubungan pela antara negeri: Titawai (Kristen) di Nusalaut dengan Pelauw (Islam) di Pulau Haruku. Tuhaha (Kristen)  di Saparua dengan Rohomoni (Islam) di Pulau Haruku. Hutumury (Kristen) di Jasirah Leitimur dengan Tamilouw (Islam) di Seram Selatan.[11]
B.     Hakikat Pela
Berkaitan erat dengan pengertian dan makna pela di atas, maka ada beberapa ciri yang sangat prinsipil dalam aktifitas para anggota yang terkait di dalamnya, yaitu:
1)      “pela” dapat mempersatukan warga dari dua desa atau lebih tetapi tidak bersifat persahabatan belaka, karena hakikat persahabatan dapat diingkari, tetapi “pela” melarang/mencegah para anggotanya untuk mengingkari janji yang telah disepakati bersama, baik itu secara sengaja atau tidak sengaja. Janji “pela” hanya hanya bersifat lisan tapi sangat mengikat dan harus dipenuhi.
2)      Di dalam persekutuan “pela” terdapat integrasi nilai yang  sangat mendasar, sehingga hakikatnya turut menjiwai para warga, walaupun terdapat perbedaan dalam agama yang dianut tetapi ikatan “pela” tidak pernah membedakan untuk itu, mereka tetap merasakan sebgai orang bersaudara atau orang gandong/segandong.
3)      Pada hakikatnya tradisi “pela” di tiap-tiap masyarakat adat memiliki ciri-ciri umum yang sama. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu seperti penggunaan bahasa, adat, simbol dan lainnya sering ada perbedaan. Karena perbedaan proses terbentuknya “pela” maka  ikatan “pela” pada setiap kelompok masyarakat tidak sama sehingga dalam kenyataannya ada “Pela Tempat Sirih” dan “Pela Keras” (Pela Tulen) atau oleh sebagian orang dinamakan “Pela Minum Darah”.
4)      Hakikat “Pela Minum sirih” memiliki ciri yang berbeda dengan “Pela Keras” (Pela Tulen” atau “Pela Minum Darah” dan begitu pula bentuk pela khusus yang dinamakan  olah warganya dengan sebutan “Bongso/Bungsu”.
5)      “Makna Pela Bongo/Bungsu” termasuk sangat spesifik dan sulit ditemukan pada masyarakat adat di Maluku. Hanya dapat ditemukan pada desa-desa adat tertentu misalnya ada tiga desa yang biasa menggunakan Bongso/Bungsu dalam masyarakat adat di Maluku. Yang menurut cerita dipelihara secara turun-temurun tentang tiga orang bersaudara yang menurunkan Desa-Desa; Tamilou di Pulau Seram (mayoritas beragama Islam), Hutumuri di Pulau Ambon (mayoritas beragama Kristen) dan Siri Sori Amalatu di Pulau Saparua (mayoritas beragama Kristen). Hubungan “Pela” tiga desa ini sangat unik dan masih tetap dijaga kelestariannya dengan apa yang disebut “Bikin Panas Pela” secara kontinu.[12]

IV.            Pudarnya Budaya Demokrasi di Maluku dan Sejarahnya
A.    Pudarnya Budaya Pela
Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya menyatakan bahwa Kerusuhan sosial di Ambon tahun 1999 telah melibatkan serangkaian konflik religi dalam masyarakat yang terkenal sangat menghormati “kesatuan persahabatan” (pela) bukanlah kerusuhan biasa. Kerusuhan Ambon termasuk tragedi yang amat tragis diantara banyak kerusuhan di Tanah Air.
Ketika bentrokan yang berlangsung  sejak Hari Raya Idul Fitri 1999 silam yang memuncak pada awal Maretnya, Silahuddin Genda, seorong kontributor dari Ujung Pandang, segera terbang ke Ambon. Dia berada di tengah-tengah massa ketika bentrokan demi bentrokan berlangsung. Bahkan, bersama puluhan ribu Muslim, di sempat di Masjid Al-Fatah, salah satu tempat pengungsian. “Dari masjid ini, saya mendengar suara tembakan dan ledakan bom tak henti-henti,” lapor Sarjana Ilmu Politik dari Universitas    Hasanudin (1996), Ujungpandang itu.[13] Bentrokan memuncak lagi pada  pekan berikutnya. Rentetan peristiwa amat dramatis_bahkan lebih dramatis dari hari-hari sebelumnya_berlangsung dari hari ke hari. Siang-malam Kerusuhan ini sudah lama menjadi kekuatan potensial pada masa Orde Baru Soeharto. Adat pela sudah lama diruntuhkan oleh orang-orang “radikal kiri” dan kemana-mana mereka selalu mendakwahkan “agama kasih” pada orang-orang Islam. Penolakan orang-orang islam dianggapnya sebagai suatu penghinaan sehingga disimpan lama dalam potensi kerusuhan yang kemudian sengaja direkayasa meletus.
Kembali pada peristiwa kerusuhan, penulis akan mencoba menghubungkannya dengan adat dan norma sosial masyarakat setempat (pela). Jika diteliti lebih jauh, kerusuhan yang mengakibatkan kerugian mencapai miliaran Rupiah, ratusan korban jiwa serta pembakaran tempat-tempat ibadah itu mengindikasikan bahwa kerusuhan ini bertentangan dengan norma sosial-masyarakat setempat, di mana secara teoritis pastilah merupakan kerusuhan politik yang di dalamnya penuh dengan rekayasa (Hartanto Ahmad Jaiz, 1999). Namun, sebelum kita sampai pada kesimpulan ini, terlebih dahulu, beberapa gamabaran obyektif tentang hubungan Islam dan Kristen di sana perlu dikaji lebih dulu.

B.     Gambaran Obyektif Sejarah Masyarakat Ambon
Masyarakat Ambon adalah masyarakat yang sudah lama terintegrasi dengan sistem politik Belanda ketika VOC pertama datang mengeksploitasi rempah-rempah cengkeh di sana bersama dengan diperkenalkannya agam Kristen bagi masyarakat Ambon. Maka, dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, beribu-ribu orang Kristen Ambon meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di dinas militer maupun sipil Belanda di seluruh Nusantara. Mereka dipakai sebagai serdadu (meresose) dalam perang-perang kolonial menguasai wilayah-wilayah Nusantara yang belum tertaklukkan. Poengalaman penyerbuan ke Aceh di tahun 1873 adalah bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang telah terkooptasi ini. Pengalaman ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari “orang-orang yang dieksploitasi habis-habisan dibawah monopoli rempah-rempah” manjadi “orang-orang yang kedudukannya relatif istimewa”. Secara ideologis akibat kedudukan “istimewa” yang dirasakan ini adalah banyak orang kristen yang berpendapat bahwa mereka mempunyai hubungan yang khusus dengan Belanda, karena mereka mempunyai kesamaan agama maupun tugas, teristimewa kemiliteran, dalam membawa damai bagi Nusantara.[14]
Berebeda dengan saudaranya yang Kristen, orang-orang Ambon Islam tak ikut serta dalam usaha-usaha kolonial yang kemudian ini. Para penguasa militer Belanda tidak merekrut mereka, seperti yang mereka lakukan terhadap yang Kristen, dan sampai dasawarsa 1920-an di desa-desa Islam tak ada fasilitas pendidikan. Hal ini tidaklah dirasakan sebagai “perlakuan diskriminatif” dari pemerintah kolonial Belanda. Pihak Islam sendiri beranggapan, bahwa memasuki pendidikan atau dinas Belanda sama saja artinya dengan masuk agama Kristen. Tetapi, mereka bukannya tak terpengaruh oleh perubahan-perubahan di dunia kolonial sekeliling mereka. Penghapusan monopoli cengkeh bersama-sama dengan perbaikan komunikasi, memudahkan penggalangan kembali hubungan antara Ambon Islam dengan reka-rekan seagama mereka, baik di bagain lain Nusantara maupun di tempat lain. Mereka bertemu dengan dunia luar bukan sebagi budak kekuatan kolonial seperti yang dialami Ambon Kristen, melainkan sebagi pelaut, pedagang, atau haji.[15] Adanya hubungan dengan dunia muslim menimbulkan cita-cita baru di Ambon, yang umumnya ialah cita-cita Pan-Islamisme untuk menjadikan Ambon sebagai wilayah Mulk sehingga nama Ambon diperkenalkan sebagai “Maluku “ yang diharapkan akan menjadi wilayah Integrasi Islam dari Malaka hingga Maluku. Kelak cita-cita ini menghasilkan perubahan-perubahan baik dalam kepercayaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Belanda pun menanamkan konflik ideologis ini sebagai jalan yang memudahkan proses pasifikasi dan domestikasi pribumi Ambon. Keberhasilan proses pasifikasi ini adalah jumlah Ambon Kristen  mencapai 65% pada tahun 1940-an.[16]
Jadi, pengalaman orang Ambon Kristen berbeda sekali dengan pengalaman orang Ambon Islam pada akhir zaman kolonial. Identifikasi orang-orang Kristen dengan orang-orang Belanda itu bertentangan dengan kecurigaan dan ketidakterlibatan orang-orang Islam dalam struktur kekuasaan kolonial. Oarang-orang Kristen dengan bantuan pendidikan Belanda, mendominasi  masyarakat Ambon sedemikian rupa, sehingga banyak orang-orang non-Ambon menyangka Ambon daerah Kristen semata-mata.[17]
 Kondisi ini semakin dalam mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat Ambon, sehingga wajar jika kemudian Belanda dianggap bukan sebagai representasi kekuatan penjajah. Hal inilah yang mengakibatkan Proklamasi Soekarno-Hatta tahun 1945 menurut Chauvel tak banyak mendapat sambutan di sana, apalagi perlawanan terhadap kembalinya pemerintah kolonial.
Sehingga, dari situlah Hartanto Ahmad Jaiz mengatakan bahwa “tidaklah terlalu salah jika bahwa pembagian Ambon yang paling kentara, yaitu Islam dan Kristen, secara politik menjdi semakin penting. Konflik Islam dan Kristen senantiasa potensial dalam politik detente yang laten sifatnya. Dalam sejarahnya di masa lalu, tokoh-tokoh pergerakan di Ambon datang dari masyarakat Islam maupun Kristen, namun pendukungnya kebanyakan Islam. Kecuali para raja, tak banyak orang Islam yang ingin memperpanjang sistem kolonial. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sebenarnya tidak ada “perang dingin” antara Ideologi Islam dan Kristen di sana.”
Pada 24 April 19, Dr. Soumokil memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan.[18] Kekerasan RMS dilakukan tidak hanya di wilayah Indonesia, namun juga di Belanda. Penindasan mungkin jalan pemecahan yang terburuk untuk memasukkan Ambon ke dalam Indonesia yang merdeka. Maka, sesuai dengan pengamatan F.L Cooley (1968), masyarakat Ambon pasca revolusi nasional muncul dengan terpecah belah parah, para warganya telah bertempur, baik di pihak RI maupun di pihak RMS, dalam pertikaian yang banyak sifat perang saudara. Hubungan dengan masyarakat Islam dan Kristen yang tadinya memang sudanh tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa yang para pemimpin sipil RMS berikut serdadunya semua beragama Kristen, dan yang menjadi korban para serdadu RMS itu kebanyakan adalah orang-orang Islam. Ketakutan ini beralasan jika dilihat  semakin membiaknya jumlah orang-orang Islam di Maluku yang sebagaimana dicatat oleh Cooley (1968:297), telah mencapai 49% di awal-awal Orde Baru, yang tadinya hanya sepertiga saja  jumlahnya. Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman dominasi Kristen di sana.
Mengenai hubungan antara kedua masyarakat agama, RMS sebetulnya merupakan suatu usaha untuk mempertahankan suatu dominasi Kristen dalam masyarakat Ambon. Pada waktu itu desas-desus disebarkan Soumokil seolah-olah ada paksaan untuk pindah masuk Islam, langsung mengena rasa takut orang Kristen yang telah terbakar, bahwa mereka akan tenggelam ditengah mayoritas Indonesia yang Islam. Negara kesatuan telah demikian menakutkan mereka sehingga RMS haruslah dilihat dari “ketakutan terhadap munculnya kekuasaan Islam” yang disangka akan mencengkram masyarakat Nasrani di sana. Bagaimanapun pemulihan kedaulatan Indonesia akan berarti hulangnya “hubungan khusus” yang sudah lama dinikmati masyarakat Ambon Kristen dengan pemerintah (baik Kolonial Belanda, maupun Indonesia). RMS reda setelah para elit politik menyadari bahwa Orde Baru ternyata sangat membeci  kalangan Islam dan memberikan banyak keuntungan terhadap pihak non-Muslim. Secara psikologis, keterancaman orang-orang Maluku Kristen kembali dirasakan ketika Habibie naik di pentas politik nasional yang dianggap sebagai representasi kekuatan Islam Sulawesi yang telah lama mereka hiraukan.
Pada masa perkembangan sesudah RMS, nasib baik berbalik kepada kaum Muslimin. Mereka tidak lagi hidup di sebuah negeri yang dipimpin oleh kaum Kristen. Untuk pertama kalinya, kebutuhan-kebutuhan agama dan pendidikan mereka mendapat dorongan langsung dan bantuan keuangan dari pemerintah RI. Ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh RMS dan meningkatnya persaingan, kemudian tidak menghasilkan hubungan-hubungan bermasyarakat yang harmonis, melainkan hubungan-hubungan kecurigaan yang kompleks.
Sikap orang Ambon kepada RI sangat terpengaruh oleh pengalaman orang-orang marsose (serdadu) Ambon yang pernah tinggal pada awal revolusi di daerah RI atau daerah yang diperebutkan Belanda dan menjadi sasaran serangan dan pembalasan dendam, acap kali gara-ggara tingkah laku para serdadu Ambon. Kendati tidak pernah ada orang Ambon yang pulag secara besar-besaran dari Jawa dan Sulawesi, namun pengaruh psikologis dan pengalaman di daerah-daerah tadi itu terhadap pemikiran politik di Ambon jauh lebih besar krtimbang angka-angka yang sebenarnya. Mereka menetap di Jakarta seabagai enclave tersendiri yang secara formal kemudian menjadi kekutan rasional            pembangun bangsa,  namun kelompok ennklave yang informalm, yang tidak terserap dalam institusi militer formal, kemudian menjadi kekuatan-kekuatan preman irrasional yang kemudian banyak muncul dari  berbagai etnik di Jakarta.
Kenyataan  inilah yang membuatkan kita sulit menolak penilaian bahwa kerusuhan di Maluku adalah suatu kesengajaan atau rekayasa politik di mana preman-preman Jakarta sebagai kekutan politik informal yang telah memainkan perannya yang destruktif di Maluku. Mungkin kita bisa membaca dari pernyataan Soeharto ketika akan lengser yang menyiratkan suatu “ancaman” akan adanya disintegrasi bangsa atau perang saudara dalam negara kesatuan ini. Ancaman ini ditujukan dalam politik rekayasa kerusuhan yang terlihat pada kasus Ambon  yang melanda Indonesia ini, supaya mengalihkan perhatian masyarakat atas diadilinya Soeharto beserta kroni-kroninya. Soeharto adalah politisi yang sangat mahir dalam membangkitkan kekuatan-kekuatan konflik laten menjadi kekuatan yang manifes dalam serangkaian kejadian yang telah ada dan akan menghancurkan keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa.[19]

V.            Sejarah Dan Latarbelakang Peristiwa Ambon Berdarah
A.    Politik dan Kecemburuan Berbungkus Agama
Menurut Markus Mietzeiner, pengamat politik dari Universitas Nasional Australia konflik itu lahir dari politik pemerintah kolonial Belanda (Tekad, 1-7 Februari 1999). Awalnya dimulai  ketika VOC (Vereenigde Oost-Compagnie) mengupayakan kristenisasi paksa atau penduduk lokal di awal abad ke-17, saat perusahaan Belanda itu mau mendirikan pusat perdagangan cengkeh di Ambon. Itu dilakukan untuk menghadapi perlawanan gigih penduduk muslim.
            Dengan mengajak penduduk yang semula menganut kepercayaan tradisional masuk Kristen, VOC berharap lebih mudah mengatasi persoalan. Sebab, kekuatan yang lebih besar dapat digalang bersama dengan penduduk Kristen  melawan penduduk Muslim di Utara.
            Islam adalah agama yang pertama masuk ke Maluku, dibawa pedagang dari tanah Arab, Gujarat dan Persia. Kemudian menyusul Khatolik dan Protestan yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda. Menurut sejarahwan Ambon, Thamrin Ely, ketika  pada tahun 1640-an VOC berhasil menguasai seluruh pulau Ambon. Desa-desa Muslim yang kebanyakan terletak di pegunungan direlokasikan ke daerah pantai. Maksudnya agar lebih mudah di kontrol oleh VOC. Sebaliknya, desa-desa Kristen sebaliknya ditempatkan di sekitar pusat kota Ambon, yang menjadi pusat Adminstrasi kepulauan Maluku.
            “Orang Ambon yang Kristen mendapat perlakuan istimewa dari VOC dan pemerintah kolonial”, kata Thamrin. Mereka menikmati pendidikan belajar bahasa Melayu, dan akhirnya diperbolehkan memasuki jalan Administrasi, walau hanya di tingkat rendah. Hanya orang Ambon Kristen yang boleh memasuki dinas militer tentara kolonial, KNIL.
Pada awal abad ke-20 sistem sosial semakin digoyang oleh beberapa faktor eksternal sebagai berikut :
1.      Dengan semakin terbukanya sistem perdagangan di Hindia-Belanda. Kota Ambon semakin dibanjiri pendatang beragama Islam, diantara etnis Buton. Sejak itu, pemukiman baru warga Muslim mulai tumbuh di kota Ambon. Perkembangan ini  didikuti oleh perpindahan banyak penduduk dari desa Muslim di luar kota Ambon untuk bekerja di pelabuhan. Banyak di antara mereka bermukim di desa Batu Merah, yang tak jauh dari pusat kota.
2.      Munculnya pemikiran Islam baru akibat meningkatnya perjalanan haji dan kedatangan banyak pedagang dari Timur Tengah.
3.      Bangkitnya gerakan nasional, yang oleh orang Muslim dianggap sebagai harapan, namun oleh orang Kristen dianggap sebagai ancaman.[20]
B.     Menolak RI
Masyarakat Ambon kian tajam terbagi dalam dua kutub pada masa tahun 1945-1950. Menurut Mietzner, Muslim umumnya mendukung perjuangan kaum Republik di Jawa dan Sumatera, sedangkan warga Kristen kebanyakan mendukung Belanda karena mereka bersaudara dengan pihak KNIL yang melawan Soekarno dan kawan-kawan. Mietzner pernah setahun tinggal di Ambon (1990-an) dan meneliti sejarah Ambon periode 1920-1950-an.
            Sebagaimana telah dijelaskan di awal, pada masa itu, banyak tokoh Kristen di Ambon menolak RI. Alasannya ialah takut dijajah oleh orang Jawa yang beragama Islam. Kelompok Kristen juga mendukung pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Di masa Orba, ketegangan antara pemeluk Kristen dan Islam kelihatannya berhasil diredam. Padahal terus merayap di bawah permukaan. Apalagi setelah warga Muslim, yang mulai menuai hasil pendidikan tinggi, mulai memasuki elite pemerintahan secara proporsional, sebagai warisan kolonial.
            Gubernur Maluku pertama adalah seorang Kristen Protestan, Mr. Latuharhari. Begitupula beberapa Gubernur berikutnya. Banyak posisi kursi di pemerintahan sejak awal kemerdekaan dipegang oleh warga Kristen. Namun, walaupun demikian adanya Umat Islam tidak memprotes.
            Tapi di saat dua Gubernur terakhir, Akib Latuconsina dan Saleh Latuconsina, yang Muslim asli Maluku, memberi beberapa jabatan kursi kepada Muslim, dan itupun masih belum representatif, kelompok Kristen tidak puas. Lantas mereka menghembuskan isu bahwa Islam menguasai lembaga pemerintahan.
            Karena itulah, Thamrin menganggap orang Kristen tidak Fair. “Ketika orang Kristen menduduki posisi kunci, mereka tak pernah membicarakan penimbangan,” tukasnya. Padahal jumlah Muslim mayoritas di Maluku.
            Orang-orang Kristen, misalnya, protes saat Kolonel Juanidi Ponegoro diusulkan oleh ABRI untuk duduk di kursi walikota beberapa tahu lalu. Alasanya, tak sesuai dengan keadaan penduduk kota Ambon yang jumlah penduduk Kristennya lebih besar. Maka Junaidi ditarik dan naiklah Christanasale, seorang Kristen. Umat menerima hal tersebut. Bahkan yang pertama mengatakan dukungan adalah Himpunan Mahasiswa Muslim (HMI) Ambon.
            Menurut Thamrin, orang Kristen juga tidak fair dalam hal kepengurusan di KNIP setempat. Orang Islam diam saja saat ketua dan sekretaris KNIP dipegang Kristen. Tapi ketika Muslim menduduki jabatan ketua, kalangan Kristen langsung protes, dan meminta perimbangan keimbangan kekuasaan. Begitu pula di Golongan Karya. Sebaliknya, umat Islam tak bereaksi terhadap dominasi Kristen di Universitas Pattimura.
C.    Pela Gandong[21]
            Melihat potensi konflik yang ada, nampaknya memang sangat masuk akal bila kemudian Ambon hancur terbelah-belah seperti tragedi 1999 lalu. Ikatan Pela Gandong yang dibanggakan sedari dulu, dan mengikat persaudaraan antar desa Islam dan Kristen, terbukti tak mampu menahan nafsu dan egoisme kelompok. Padahal, Pela Gandong yang sebagaimana telah dijelaskan diawal pembahasan, merupakan ikatan adat yang benar-benar mencerminkan pola hubungan yang harmonis serta adanya demokrasi yang baik.
Pela Gandong bermula dari terpecahnya warga satu kampung, yakni satu kampung yang tadinya Islam semua. “Setelah Portugis datang dan meng-Kristenkan kampung itu, warganya terpecah” tutur Saleh Patuhena, tokoh masyarakat Ambon. “warga yang tetap beragama Islam memilih pindah, sedangkan yang masuk Kristen tetap di kampung itu.” Akan tetapi, meskipun pecah dalam hal agama., hubungan antar warga kedua kampung itu tetap akrab.
Lalu, menagapa kerukunan yang sudah sekian tahun terjalin bisa terpecah dan tercabik-cabik? Saleh Patuhena maupun Thamrin Ely menganggap adanya faktor politis yang membawa-bawa agama sebagai alat untuk mobilisasi massa. 
Sedangkan Thamrin beranggapan, format Pela Gandong sangat statis.  “itu sangat spesifik dan lokalistik, hanya di Maluku Tengah ada desa-desa yang terikat dengan Pela Gandong, ada juga yang tidak”, ujarnya.  Maka, ikatan itu tak bisa digunakan sebagai referensi untuk merujuk semua komponen di Maluku. “lebih baik kalau menggunakan agama, kan lebih universal, ujarnya kembali.
Ikatan agama dapat mengikat para pedagang, terutama suku Bugis Buton dan Makassar (BBM), yang sudah puluhan tahun tinggal di sana. Selama ini status mereka tak terikat budaya Pela Gandong.  Para pendatang BBM dan JKS (Jiwa, Kalimantan dan Sumatera) yang umumnya Muslim ini memang menimbulkan kejengkelan warga Kristen. Soalnya mereka menambah populasi Muslim di Ambon. Apalagi, secara ekonomis golongan BBM lebih baik lantaran berprofesi sebagai pedagang.
Tapi melihat gerakan orang-orang Kristen menyerang kampung-kampung Muslim dan mengajar siapa saja yang beragama Islam untuk dibantai sejak awal konflik 19 Januari lalu, isu etnis menjadi relevan lagi. “pengusiran etnis hanyalah sebagai kemasan politik saja. Sebenarnya yang mau diusir itu adalah Islam Ambon, seperti H. Abdullah Solissa, ketua Yayasan Al Fatah.
Banyak diantara rumah yang dijarah dan dibakar itu lalu ditulisi “Yesus” atau “I Love Yesus”. Di Karangpanjang, yang pendukungnya heterogen, hanya pejabat beragama Islam yang rumahnya dirusak dan dijarah, sementara pejabat Kristen tidak diapa-apakan. “Jadi, bagaimana kita tidak curiga kalau ini konspirasi Kristen ekstrem? Tanya Thamrin. Ini menunjukkan bahwa mereka memang ingin menghabisi Umat Islam di Ambon.”
VI.            Kronologi Pembantaian Muslimin Ambon
A.    Kronologi Ambon Berdarah Versi Posko Keadilan di Ambon [22]
Selasa 19 Januari 1999 (1 Syawal 1419 H) pukul 16.00-18.00
Sejumlah orang suku ABORU NASRANI menggunakan mobil milik suku Bugis yang berdomisili di Batu Merah Bawah yang mayoritas muslim. Selama operasi mobil sewaan itu dikemudikan oleh Yopie (teman suku Aboru Nasrani) dibantu seorang kondektur yang juga warga Batu Merah Bawah. Setelah pemakaian sewaan (carteran), tetapi diluar dugaan ternyata Yopie menolak membayar uang sewaan dan bahkan menyerang si kondektur. Dengan dukungan beberapa penumpang (suku Aboru Nasrani) mereka langsung menyerang. Pada saat tersebut kondektur berusaha menyelamatkan diri dengan meminta pertolongan kepada sekelompok pemuda warga Batu Merah Bawah. Akhirnya kedua belah pihak jadi saling berhadapan. Situasi menjakar makin panas dan perkelahian antara kedua belah pihak tak terelakkan. Suasana berkembang pesat dan panas sampai terjadi pembakaran rumah penduduk.
Peristiwa ini terjadi disekitar masjid Batu Merah Bawah sepanjang rute mobil Batu Merah menuju Jalan Raya Simpang Tiga. Insiden itu menimbulkan korban dua orang luka dan dilarikan ke RSU Ambon.
Pukul 18.00-21.00
Suasana panas merebak dan meluas dengan sangat cepat. Di Silale terjadi pembakaran mobil enam buah. Bebebrapa tempat dikota Ambon mulai mengobarkan api dan mengepulkan asap tebal.
Pukul 21.00-24.00
Pukul 21.00 terjadi penyerangan terhadap perkampungan muslim di Batu Gantung dan sekitarnya. Penyerangan dilakukan oleh kelompok Nasrani dari Kuda matiterhadap Kampung Batu Gantung. Massa muslim berkonsentrasi di masjid dan bertahan menjaga jiwa dan keluarga mereka masing-masing. Penyerangan pertama diikuti dengan penyerangan kedua dari berbagai arah pada pukul 23.00.
Pada pukul 22.00-24.00 massa Nasrani berkumpul di gereja GMP di jalan Anthony Reebok. Massa membakar sejumlah warung kecil pinggir jalan, sejumlah becak dan sejumlah mobil. Modus pembakaran becak adalah becak-becak dikumpulkan menjadi satu dalam jumlah besar kemudian dibakar sehingga menimbulkan hubungan api yang cukup tinggi. SD dan TK Islam Al-Hilal juga dibakar dan dirobohkan. Kemudian massa islam yang berdimisili di sekitar masjid Raya Al Fatah berkumpul sampai kesekitar masjid An Nur dijalan A.M.
Rabu, 20 Januari 1999 (2 Syawal 1419 H) Pukul 01.00
Kelompok dari Nasrani dan Muslim sudah saling berhadapan dan adu fisik sekitar jalan A.Y.Patty dan Simpang dekatMasjid Al Fatah, dilaporkan satu orang dari kelompok muslim tertembak dan belum diketahui siapa pelakunnya.
Pukul 01.20 dilaporkan bahwa Kampung Banda Islam dihadapan kompleks QSM Air Salobar dibakar oleh kelompok Nasara.
Pukul 02.00
Pukul 02.00 dilaporkan oleh Posko Umat nbahwa ada perluasan gerakan / kerusuhan dari Ambon ke Laha. Posko Keadilan telah meneruskan laporan tersebut ke Kompi C Waiheru (diterima oleh Petugas Piket).
Pukul 02.30 Masjid As Saadah yang terletak didesa Karang Panjang dibakar. Pemukiman penduduk Muslim disepanjang Jalan di Ponegoro Atas dibakar. Ikut pula dibakar masjid Al Huda yang ada disana.
Pukul 03.00-06.00
Pukul 03.00 rumah Ustadz Abdurrahman Khou ( Deawan Penasihat DPW Partai Keadilan Maluku) di desa Air Salobar habis dibakar.
Sekitar pukul 04.00 terjadi pembakaran dibeberapa pasat yang mayoritas dimiliki oleh orang islam pendatang dari BBM (Bugis, Buton dan Makasar), yaitu :
1)      Pasar Mardika, sebuah pertokoan besar yang menjual aneka kebutuhan masyarakat.
2)      Pasar Buah Mardika, sebuah pasar yang menyediakan aneka buah bagi kota Ambon.
3)      Pertokoan PELITA, sebuah pertokoan yang menyediakan kebutuhan sandang seperti toko bahan, kendaraan bermotor, rumah makan dan penjahit pakaian.
4)      Pasar Gambus, pasar yang banyak menjual sandang seperti pakaian, tas, sepatu dll.
5)      Pasar Cakar Bongkar, yang menyediakan kebutuhan pangan dan rumah tangga lainnya.
Kerugian yang diakibatkan oleh pembakaran mencapai ratusan milyar rupiah di samping puluhan nyawa yang melayang meninggalkan jasad yang terkapar di tanah, setra kerugian hilangnya lapangan usaha bagi ribuan kepala rumah tangga. Selain itu, terdapat pula kerugian imateril berupa rasa sakit hati yang mendalam, yang sulit dihapuskan.
B.     Idul Fitri Membara 1419 H di Ambon[23]
Idul Fitri 1419 H di Ambon yang suci berubah menjadi malapetaka. Suasana gembira dengan seketika berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Api merambah dan membakar seiring dengan membubungnya amarah didada.
Sehubungan dengan itu Pos Keadilan menyampaikan beberapa hal yang merupakan hasil pantauan lapangan, sebagai berikut:
1)      Kerusuhan di Ambon dipicu oleh maslah kriminal tetapi kemudian berubah menjadi masalah SARA.
2)      Situasi keamanan sejak meletusnya tragedi pada hari selasa, 19 Januari 1999 pukul 16.00 WIT- Jumat, 22 1999 pukul 05.00 WIT terus memanas. Jumat pagi sampai siang suasana tampak berangsur-angsur membaik walaupun belum dapat dipastikan. Sabtu, 23 Januari 1999 pikul 21.00 WIT terjadi lagi pembakaran di Dusun Karang Tagep Desa Kuda Mati.
VII.            Kesaksian serangan biadab dan Pembantaian Muslim
A.    Laporan Perjalanan Tim Medis Posko Keadilan 23 Haru di Medan Jihad Ambon[24]
Saya, Dr. Heru Rustiadi, kelahiran Jawa 28 tahun lalu, Alumnus Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya angkatan ‘ 89. Di tengah suasana lebaran di kampung, saya hanya bisa menganalisis apa sesungguhnya yang sedang terjadi di Ambon sejak 19 Januari 1999. Dari berita yang saya peroleh, yang mangabarkan adanya masjid, gereja serta pemukiman yang terbakar, saya yakin apa yang terjadi di Ambon bukan masalah biasa tapi masalah antara Muslim dan Nasrani.
Rabu dini hari, 3 Februari 1999 ada telepon dari Surabaya. Saya diminta bersedia dan segera mempersiapkan diri ke Ambon, sebab teman saya dr. Rudi telah pulang dari sana dan saya diminta untuk menggantikannya.
Jum’at, 5 Februari 1999
Saya terbang ke Ambon. Di bandara Patimura, saya ditunggu oleh seorang pemuda. Dalam perjalanan masuk ke Ambon, kami melewati puing-puing rumah dan masjid yang terbakar di dusun Waylete dan Kamiri. Akibat serangan warga Nasrani desa Hative Besar.
Sabtu, 6 Februari 1999
            Bersama empat orang plus sopir, kami menyebrang ke Pulau Seram untuk mencari data dan melayani kesehatan para pengungsi Muslim di Polsek Kairatu. Rumah, pasar dan masjid dibakar oleh ditetangga mereka sendiri yang beragana Nasrani. Suasana tegang dan mencekam sangat terasa saat memasukun Desa Kairatu. Bisa saja orang-orang Nasrani menghadang. Di puing-puing rumah yang terbakar tampak tulisan “Yesus Tidak Pernah Mati”, “Usir BBM (Bugis Butan dan Makasar)”, “Hidup Israel Tolak Palestina” dan Gambar Bintang Daud.
Sementara di Masjid yang tidak terbakar, saya melihat pengungsi dengan barang-barang yang sempat terbawa. Tenda-tenda darurat, dengan air bersih yang minim, dan tempat MCK yang tidak memadai keadaanya, berdiri disekitar halaman Polsek Kairatu. Tubuh kurus, lusuh, kumal, rambut acak-acakan, anak-anak kecil, itulah fenomena yang ada di kamp-kamp penampungan. Banyak anak pengungsi yang menderita panas, batuk, telinga keluar darah dan nanah, kepala luka, mata merah, mencret dan cacingan. Sedangkan diwajah para orang tua mereka tampak pandanngan mata yang kosong dan sarat kesedihan. Namun, itu semua bertentang dengan wajah para pemudanya yang kebanyakan tergeletak luka. Kegeraman dan kekecewaan tampak jelas diraut wajah mereka. Disini total yang berobat 147 pasien.
Senin Ba’da Ashar, 8 Februari 1899
Sekembali dari Kairatu, Seram, pengobatan Posko Keadilan diadakan di Kompoi Senapan C 20 m dari sekretariat. Di sini kondisinya lebih baik, mereka ditempatkan di barak-barak. Dari sekitar 80 orang yang berobat, ada sejumlah pasien yang menderita luka bacok di leher, jari-jari tangan terpotong, dan tulang tangan kiri yang terputus akibat bacokan.
            Selasa, 9 Februari 1999, team medis Posko Keadilan meluncur ke Telehu, ibu kota Kecamatan Salahutu di Maluku Tengah. Warga Muslim Kiratu di Pulau Seram banyak mengingsi kesana. Kami melewati dusun Nasrani Durian Patah, Hunut, Nania dan Negeri Lama yang habis terbakar di hari kedua kerusuhan.
Rabu 10 Februari 1999,
            Terjadwal pengobatan di Posko  Keadilan Al Fatah, sebuah rumah lewat lorong kecil di desa Masjid Raya Al Fatah, Ambon. Saat menyempatkan diri melihat keadaan mereka di masjid beralaskan kardus, tikar dan ada beberapa yang memakai karpet. Kondisi air kurang lancar tidak berbeda jauh dengan pengungsi muslim di Taman Hiburan Rakyat Waihong yang esoknya kami datang.
Jumat, 12 Februari 1999
Terjadwal pengobatan  di SPN (Sekolah Polisi Negara) Passo. Setelah pengobatan, Bapak Kepala Dusun bercerita tentang kronologis penyerangan perusuh Nasrani terhadap mereka dan ketidakjelasan sikap aparat. Ia juga menceritakan baju yang tengah ia  pakai adalah satu-satunya baju yang dimilikinya.
Sabtu, 13 Februari 1999
Tim medis berangkat ke pulau Haruku. Pengungsi dari Kairatu, Seram mengungsi ke sana. Empat orang berangkat, slahsatunya anggota tim investigasi dan peliputan. Di daerah Kailolo ke Kairatu, Seram setelah penyerangan Nasrani. Dan berhasil membunuh 20 orang.
Bagi orang Kailolo, permusuhan dengan orang Nasrani adalah permusuhan abadi tahun ’50-an desa-desa Islam di Pulau Haruku pernah diserbu oleh RMS (Republik Maluku Selatan/Nasrani). Ini pernah membekas sekali bagi mereka dan keturunannya. Tapi untuk berperang dengan orang Nasrani, upacara adat tidak dilakukan, karena perang ini adalah “Titah Nabi”, bukan lagi perintah Bapak Raja atau Sesepuh. Warga Kailolo usia 15-35 tahun akan keluar membawa senjata, baru disusul dengan berusia 35-40 tahun sebagai pasukan lapisan kedua. Mereka berprinsip, “Kapan lagi bisa mati seperti saat peperangan ini.” Militansi mereka diakui seluruh penduduk Maluku. Di mana ada pertempuran dengan orang Nasrani di Maluku, orang Kailolo akan aktif terlibat mengirimkan orangnya. Ada seorang tokoh masyarakat yang menyebut mereka sebagai KOPASSUS.
Ahad, 14 Februari 1999
Rencananya tim medis akan ke Desa Pelauw yang bersebelahan dengan Desa Kailolo, sebab di sana juga ada pengungsi di Kairutu, Seram. Tapi pada pagi harinya, pecah peperangan antara desa Pelauw dengan tetangganya, desa Nasrani Kariu. Di tengah kesimpang siuran informasi, tiba-tiba mlintas di depan rumah mobil membawa korban tembakan untuk dirujuk ke dasa Tuleha. Atas permintaan warga Pelauw, tim medis segera meluncur ke Puskesmas desa.
Di Puskesmas yang telah ditinggal dokternya (Nasrani), nampak seorang pemuda terbaring pucat dengan luka tembak di paha. Seorang perawat (siswa) tampak kesulitan memasang infus. Setelah kita bantu infus pun masuk. Sedetik say terlambat mengoreksi karena ada udara di dalam selang infus. Setelah kejadian ini, tiap pemasangan infus yang saya ketahui, langsung saya koreksi dan memberi contoh bagaimana cara pemasangan yang benar. Dalam hati say bertanya, bisa pemuda ini mati bukan karena luka tembak paha (tak tembus), tapi mati karena emboli udara dikarenakan salah pemasangan infus. Ini terbukti, akhirnya pemuda itu meninggal. Menurut informasi, ia sesak saat dalam perjalanan. Betapa cerobohnya dokter yang tidak bertanggung jawab itu, entah disengaja atau tidak.
Kasus kedua, ada seorang pemuda yang luka tembak jarak dekat di ulu hati, say yakin betul kalau lukanya tidak sampai menembus lapisan perut (fascia) sehingga cukup dijahit saja, sambil dipasang tali melingkar perut untuk mengevaluasi adanya pendarahan dalam perut (internal bleeding). Tiba-tiba pemuda itu sesak (apneu) dengan tensi normal, nadi normal dan tidak ada sesuatu yang khusus di paru. Saya curiga, jangan-jangan kesalahan dalam pemasangan infus lagi. Dengan melonggarkan jalan nafas dan memberikan oksigen saya hanya bisa berdo’a. Di saat itu sang ayah bertanya tentang kondisi pemuda, anaknya itu, saya menjawab, “Kita tunggu saja, semoga apa yang telah kita lakukan itu menolong.” Saya lihat masih ada kekecewaan di wajahnyha. Lalu saya tambahkan, “Kalaupun dia meninggal, insya Allah dia mati syahid dan akan memberi manfaat bagi 70 orang yang dia kehendaki”. Seketika itu wajahnya berseri. Sambil mengusap wajahnya bapak itu berkata, “Alhamdulillah, Amin.” Subhanallah, betapa mereka merindukan kesyahidan.
Ternyata korban terus mengalir masuk puskesmas dan semuanya dengan luka tembak. Menurut informasi dari garis depan dilakukan aparat (Nasrani) yang membuka baju dinasnya sebanyak tiga orang. Belum lagi pemuda Kairu (Nasrani) yang bersenjatakan senjata api asli.
Menurut informasi dari seorang aparat, terbukti setelah  desa Kairu habis terbakar, ditemukan 30 senjata api (lebih baik dari milik aparat) dan satu peti peluru. Bahkan saat rumah orang Belanda terbakar terdengar ledakan amunisi. Tercatat oleh tim medis 46 korban luka tembak. Di antaranya harus merujuk karena pelurunya menyangkut di dalam tubuh, baik di lutut, perut, paha, maupun bahu. Demikian juga yang luka dengan pendarahan besar.
Seorang pemuda yang pergelangan tangan kanannya tertembak (tembus) dengan pendarahan yang hebat, sempat berteriak kesakitan ketika tangannya saya immobilisasi. Dengan dua batang kayu kecil untuk mengurangi rasa sakit akibat goncangan saat diruju. Dengan tersenyum saya berkata kepadanya, “Hei,... Jangan disesali. Ini akan menjadi catatan tersendiri nanti di akhirat.” Sambil mengacungkan jempol kepadanya saya berkata, “Kamu hebat...!” seketika itu juga dia berhenti berteriak kesakitan. Yaah... belum tentu kita seberani mereka maju ke medan menantang maut.
Sabtu,  20 Februari 1999
Tim medis Posko Keadilan kembali mengadakan pengobatan dan pemberian susu kotak di Tulehu. Di sini kami dibanjiri pasien yang minta pengobatan. Hingga membuat saya dan ‘mantri obat’ M. Salam, seorang mahasiswi Umpaty jurusan kehutanan kecaapeaan. Yang menarik di sini adalah perubahan kasus penyakit yang ada. Pasien balita dan anak-anak menurun, dan jumlah dan kasusnya ringan. Sedangkan orang tua berduyun-duyun datang baik itu pengungsi maupun penduduk asli.. mereka mengeluh pusing, dada berdebar-debar dan nyeri ulu hati. Mereka mengaku sulit tidur dan berjaga malam setiap hari (lebih kurang i bulan). Desa Tulehu memang cukup rawan, karena bertetangga dengan desa Nasrani.
Selasa, 23 Februari 1999
Setelah dua hari libur karena kehabisan obat dan keterlambatan pengiriman, tim medis posko keadilan kemnbali menyebrang ke Pulau Haruku untuk melakukan pengobatan di desa Kailolo, Kebay dan Pelauw. Kunjungan kami ke daerah ini khusus untuk mengontrol korban yang terkena tembakan hari Ahad sebelumnya. Di tengah pengadaan pengobatan untuk kurang lebih 100 penduduk Kebaw, tiba-tiba terlihat asap hitam mengepul di seberang. Menurut berita yang kami dengar, asap itu berasal dari sebuah dusun yang dibakar oleh orang Waai. Keinginan untuk menyeberang kembali ke Tulehu praktis tertahan, karena tidak ada speed yang berjalan.
Rabu, 24 Februari 1999
Pagi hari kami menyeberang kembali ke Tulehu. Suasana tegang sangat terasa di sini. Remaja, pemuda dan orang tua, dengan memakai ikat kepala putih keluar rumah sambil membawa parang, tombak dan panah. Ada keinginan untuk menyerbu desa Waai sebagai solidaritas atas hancurnya dusun Batu Naga. Tim medis berinisiatif untuk menunggu di RSU Tulehu menunggu kemungkinan yang akan terjadi.
Di rumah sakit, terbaring lemah mereggang nyawa pemuda muslim Liang akibat tenmbakan di perut kanan. Dengan nafas tersengal-sengal sambil mengikuti bisikan tahlil, akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Wajahnya putih berseri. Sebelumnya pemuda, sempat bertahan sehari dengan lukanya.
Rujukan ke RSU Ambon untuk tindakan pembedahan lebih lanjut tidak bisa dilakukan karena di Ambon pun sedang kacau, dan pemblokiran jalan menuju kota itu di desa Nasrani Passo.
Pukul 12.00 Bapak Raja Tulehu memukul tifa/bedug di masjid tanda penyerangan di Waai di mulai. Tak lam kemudian sejumlah mobil bergantian membawa korban. Ada yang terken luka bacok di tangan, punggung, wajah dan kepal. Begitu pula luka tembak paha, pantat, bahu maupun kepal. Seorag laki-laki tengah baya yang tertembak keningnya tergeletak di lantai beralaskan tikar. Suasananya sungguh mengharukan. Dalam kondisi nafas tersengal-sengal, lelaki itu dikelilingi kaum ibu yang melantunkan bacaan surat Yaasiin. Darah terus mengucur dari lukanya. Lalu, dari mulutnya keluarlah darah segar. Nafasnya kian cepat, kedua tangannya mengejang dengan jari tergenggam menahan sakit. Laki-laki itu akhirnya meninggal. Wajahnya terlihat sedemikian ikhlas. Sementara dari mobil yang baru masuk, saya melihat mayat lelaki yang terpotong separu kepalanya. Hanya hidung dan mulutnya yang tersisa. Inna lillahi wa Inna ilaihi ra’jiuun.
Belum lama dari tragedi itu, seorang pemuda Tulehu datang mengantarkan temannya yang terkena tembakan di paha. Mereka datang sambil menunjukkan sebutir peluru yang berhasil diambil di samping mayat orang Waai. Seorang aparat Intel AD yang kebetulan berada di samping saya turut memperhatikan peluru tersebut. Sambil terkejut, ia menjelaskan kalau ini adalah peluru senapan M 16. Pemuda Tulehu melihat orang Waai menggunakan senjata rakitan. Muncul pertanyaan di benak saya, “Dari mana mereka mendapatkan peluru itu? Apakah ada oknum aparat yang mendukung mereka dengan menyuplai peluru itu?”
Ahad, 28 Februari 1999
Saya pulang ke rumah dengan membawa kenangan yang sulit untuk dilupakan. Selamat tinggal Ambon dan selamat berjuang saudaraku seiman. Percayalah, Allah selalu menolong kita.
B.     Mereka membunuh secara keji dan Biadab![25]
(KH. Abdul Aziz, Imam Besar Masjid Al Fatah Ambon
Kejadian Idul Firi berdarah di Ambon bukan kerena Umat Islam di Batu Merah merampas supir angkot yang bernama Yopie. Itu berita yang salah dilansir oleh banyak media massa. Yang benar ialah, diawali dengan pembakaran perkampungan umat Islam di Waylete oleh umat Nasrani dari Hative Besar. Itu terjadi pada 14 November. Kampung Waylete dihuni oleh orang BBM (Bugis, Buton, dan Makasar). Mereka tidak senang terhadap umat Islam, sehingga mereka membakar kampungnya, lalu dirusaknya kampung Waylete tersebut.
Sebenarnya umat Islam di sana tidak tinggal diam, mereka siap membalas, tapi aparat dan pemerintah mengatakan tidak usah dan nanti kami akan mengatasinya. Tapi ternyata omong kosong semuanya. Tidak ada tindak lanjut dari aparat dan pemerintah. Karena kejadian ini tidak ada reaksi dari umat Isl;am, lalu mereka mulai membakar kembali perkampungan Islam yang bernama Air Bah. Jadi tiga kejadian ini telah mereka jadikan tes apakah uamt Islam bereaksi atau tidak. Ternyata tidak ada reaksi dari umat Islam, maka akhirnya terjadi apa yang dikenal dengan Idul Fitri berdarah di Ambon.
Tapi sebelum terjadi Idul Fitri berdarah di Ambon, pada tanggal 14 Januari sempat terjadi kerusuhan di Dogo di perut Pulau Irian Jaya, di mana umat Islam di sana diserang yang akibatnya pemerintah dan aparat  Islam yang dikirim kesanauntuk menyelesaikan permasalahan di sana. Samapi kejadian Idul Fitri berdarah, aparat yang muslim masih berada di Dogo. Jadi pada saat terjadi peristiwa di Ambon tidak ada aparat Muslimnya dan kalau memang ada umumnya mereka sedang cuti Idul Fitri.
Pada 10 Ramadhan saya sempat memberikan ceramah di Maluku Tengah, sepulangnya dari sana saya melihat banyak truk yang berisikan parang-parang. Pada waktu itu saya tidak mempuinyai pikaran buruk (Su’udzan), saya hanya berpikir bahwa parang-parang dibawa dari Pulau Seram ke Ambon untuk dijual. Yang melihat itu bukan hanya saya saja, banyak saksi mata lainnya yang melihat pemandangan sehari-hari seperti itu. Kemudian pada tanggal 17 Ramadhan, saya memberikan ceramah di Kairatu dan Jomba. Sepulang dari sana saya melihat merea sudah membawa parang-parang tersebut ke mobil truk masuk ke Ambon. Kemudian di bulan Ramadhan saya mengajar di PLN Ambon setiap Selasa dan Jum’at. Saya dijemput oleh sopir yang beragama Nasrani, lalu saya berkata pada sopir itu, alhamdulillah bulan puasa keadaannya tenag, aman, dan tidak ada kerusuhan apa-pa. Tapi sopir itu menyatakan, inikan bulan puasa Pak Kiai, tapi setelah pulan Puasa b\elum tentu aman.
Setelah terjadi peristiwa Idul Fitri berdarah itu, saya baru teringat dengan ucapan sopir dulu. Saya teringat dengan parang-parang yang mereka bawa bertruk-truk. Jadi ketika mereka menyerang Umat Islam, mereka telah dipersenjatai dengan panah beracun, tombak, dan jika mereka sudah berhadapan muka dengan umat muslim, mereka menggunakan parang. Dan yang sangat menyedihkan waktu itu, umat Islam tidak mempunyai apa-apa.
Sebenarnya peristiwa yang mengawali Idul Fitri berdarah ini adalah orang yang bernama Yopie sebagai sopir angkot menyewa mobil angkutan orang Bugis dengan harga dan waktu yang disepakati. Setelah waktunya selesai yang mempunyai mobil mengirim kenek untuk nmeminta uang sewa dari Yopie sesuai perjanjian. Ternyata Yopie bukan memberikan kewajibannya, malah justru ia marah-marah. Tapi Usman yang menagih itu merasa benar, ia pun marah karena tidak diberikan bayaran. Tapi akhirnya Usman diserang Yopie dan kawan-kawannya di dalam mobil. Karena ia banyak kemudian Usman lari meyelamatkan diri masuk ke perkampungan Muslim Batu Merah meminta pertolongan. Ketika pemuda-pemuda Btu Merah meberikan pertolongan, umat Nasrani menyerang dari kampung sebelah yang bernama Mardesa, tidak kurang dari seratus pemuda Nasrani menyerang kampung Batu Merah. Maka terjadilah pertumpahan darah di sana.
Pada jam yang sama mereka juga menyerang kampung Muslim Gan Diponogoro, Kampung Muslim Jalan Baru di depan Masjid Al Fatahh, kampung Muslim Wayout, menyerang kampung Tanah Lapang dan beberapa perkampungan Muslim lainnya. Jadi jelas kejadian ini bukan mendadak, tetapi telah diatur dengan rapi dan terencana. Jadi, kita bisa bayangkan bagaimana keadaan  umat Islam yang selama 30 hari melaksanakan puasa, malamnya bertakbir, paginya melaksanakan shalat Ied, kemudian bersilaturahmi dengan sanak keluarga, dan handai taulan, dan setelah shalat Dzuhur mereka tidur, dan ketika umat Islam bangun tidur, kira-kira pukul empat sore diserang, di mana pada waktu itu umat Islam tidak mempunyai persiapan apa-apa. Peperangan terus terjadi smapai memasuki waktu Maghrib.
Waktu Maghrib penyerangan sempat terhenti, tapi seusai Isya kembali mereka menyerang, kali ini tidak lagi ke Batu Merah, tapi menuju Batu Merah Puncak tempat saya tinggal. Tiang listrik dipukul berkali-kali oleh pemuda Muslim sebagai tanda akan datangnya serangan. Anak-anak kecil sudah mulai menangis, sementara itu ibu-ibu keluar masuk rumah tidak tentu arah. Suasana waktu itu memang sangat mencekam.
Titip api dan asap terlihat mulai mengepul, mereka mulai membakar pertokoan umat Islam. Di sini lah pasar termurah di antara pasar lainnya. Pada dini hari mulai terlihat titik api dari Karang Panjang, asap pun mulai mengepul. Ternyata yang pertama kali mereka bakar adalah Masjid As Sa’adah di depan mantan Rektor Unpati Bapak Lestahulu.
Setelah itu mereka membakar pertokoan Pelita dan pertokoan Mardika, milik orang Islam. Anehnya, di tempat tersebut ada toko orang Cina, tapi ternyata pertooan tersebut tidak diapa-apakan. Yang dibakar oleh mereka adalah pertokoan milik Umat Muslim.
Sebelum mereka membakar pertokoan Mardika, mereka membawa tiga mobil truk. Satu truk isinya polisi dan Brimob untuk mengusir orang Islam dari situ karena orang Islam yang akan menyerang, akan disuruh masuk ke kampung mereka. Setelah umat Islam masuk, kemudian mereka mulai menjarah toko-toko milik umat Islam, dua truk tui kini telah penuh dengan barang jarahan yang kemudian di bawa ke Gereja. Jadi pada waktu itu  gereja berubah fungsinya jadi tempat penampungan barang jarahan. Gereja Betlehem, Kilo Maranata, penuh dengan barang jarahan. Setelah itu baru mereka melemparkan bom molotof, maka terbakarlah seluruh toko-toko umat Islam, termasuk pula toko buah yang juga milik umat Islam. Tidak puas membakar pasar milik umat Islam, mereka juga mengumpulkan becak-becak milik orang BBM, karena memang kondisi ekonomi mereka lemah jadi orang-orang BBM inilah yang menarik becak. Tapi apa boleh buat 300 becak mereka dikumpulkan lalu dibakar hingga menimbulkan api yang sangat besar. Tidak puas sampai di situ, mereka juga membakar mobil-mobil angkot milik umat Islam. Juga mereka membakar TK Al Hilal, SD, SMP Al Hilal, di mana gedung ini kalau malam digunakan sebagai Universitas Darussalam untuk pegawai-pegawai yang kuliah malam. Mereka juga merusak gedung SMA Muhammadiyah, dan kemudian meneruskan aksinya dengan membakar perkampungan-perkampungan Islam.
Pada waktu terjadi pembakaran ini, kami berulang kali menelepon pihak pemadam kebakaran untuk memadamkan api, ternyata tidak satu pun ereka yang datang. Malah ironisnya, ketika umat Islam diserang di Batu Gantung, umat Islam kembali menyerang lalu polisi datang, menyuruh umat Islam masuk, biar kami yang menangani, akhirnya umat Islam masuk kedalam. Polisi memang ada disitu untuk menjaga, tapi satu persatu mulai menghilang, akhirnya kembali mereka membakar perkampungan Islam dengan jalan terlebih dahulu membakar rumah Nasrani dari gubug yang didalamnya telah disiapkan Bensin, yang ketika terbakar memang api menjadi besar terhantam angin yang membuat rumah orang Islam di Batu Gantung, kecuali Masjid Al Muflisin, masjid itu sama sekali tidak terbakar, terkena asapnya pun tidak. Besoknya mereka merusak pintu masjid dan mimbar masjid, tapi umat islam sempat mengetahuinya, mereka pun dikejar dan sempat menyelamatkan diri.
Pada hari pertama korban pun mulai berjatuhan. Kita larikan korban tersebut kerumah sakit umum Kuda Mati yang memang menjadi basis mereka. Di sana tidaki mendpatkan pelayanan yang baik. Korban yang dikirim kesana bukan diobati malah dibunuh. Berapa banyak ibu-ibu hamil yang ada kesana untuk melahirkanpun dibunuh. Tapi tidak langsung dibunuh. Dibelah terlebih dahulu perut yang sedang hamil kemudian dikeluarkan bayinya dan di cincang-cincang. Yanhg akhirnya diambil keputusan untuk tidak menyerahkan korban kerumah sakit umum tapi menyerahkan kerumah sakit bersalin Al Fatah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi rumah sakit bersalin difungsikan menjadi rumah sakit umum. Dan yang lebih menyedihkan dokter, tidak ada ahli medis. Kita mencoba menghubungi dokter-dokter muslim, tapi tidak ada jawaban, ternyata mereka seluruhnya disandra.
Akhirnya pada malam kamis saya dijemput oleh Kostrad dari Ujung Pandang sebanyak 20 orang. Saya dan keluarga saya diselamatkan dan dinaikkan ke truk. Say berada dintengah pasukan kostrad untuk melindungi saya dan keluarga kalau-kalau ada serangan dari luar. Tapi begitu kami akan turun,  Umat Islam di Batu Puncak tidak mengizinkan. Mereka mengatakan, “Pak Kiyai, sebelum Pak Kiayi meninggal, mereka terlebih dahulu harus membunuh kami. Kami besar disini karana ada Pak Kiyai. Kalau Pak Kiyai meninggalkan kami, lalu apa yang biasa kami lakukan”. Tapi setelah mereka diberi pengertian bahwa dibawah Umat Islam lebih banyak Al Fatah tidak ada pimpinannya, akhirnya mereka mengizinkan saya turun.
Mulai pada malam itulah saya berada di Nasjid Raya Sal Fatah. Pada tengah malam mereka menyerang kembali. Kebetulan Umat Islam di kota sedikit. Mereka umumnya pulang kekampung halamanya masing-masing untuk berhari raya. Sedangkan orang-Orang Nasrani malah sebaliknya, seminggu menjelang lebaran, mereka berdatangan dari berbagai pulau-pulau yang dekat dari Ambon, dari Maluku Tengah mereka masukm ke kota, dari Maluku Tenggara juga, dari pegunungan juga mereka turun menuju kota.
Pada malam itu kita diserang dan jama’ah kita terjepit mundur. Mereka sampai ditepi pagar masjid Al Fatah, bahkan ada yang sempat meloncat pagar. Pada waktu itu umat Islam telah terpojok mengingat jumlah mereka yang begitu besar. Tapi, dalam suasana yang begitu genting, datanglah pertolongan Allah kepada Umat Islam. Keluarlah dari Masjid ribuan anak kecil yang memakai baju dan songkok putih yang dipimppin oleh seorang kakek tua yang berjubah putih, bersorban dan memakai tongkat seraya memberikan komando dengan menyebut Allahu Akbar, keluarlah anak-anak kecil itu dari Masjid, mereka dihadang dengan berbagai macam senjata, tapi tak satu pun yang menembus tubuh mereka. Dan akhirnya membuat mereka bingung dan ketakutan. Lari meninggalkan masjid Al Fatah. Ini terjadi pada malam Kamis.
Pada malam jumat mereka kembali menyerang untuk membakar masjid Alfatah. Mereka bertekad apapun dalihnya masjid itu harus dibakar. Mereka belum merasa menang kalau belum membakar masjid Al Fatah. Cara yang mereka lakukan adalah dengan membakar terlebih dahulu perkampungan Islam yang letaknya didepan masjid Al Fatah. Mulailah mereka melemparkan panah-panah berapi ke perkampungan Islam tersebut, tapi ternyata lemparan mereka tidak tepat bahkan meleset ke perkampungan Nasrani. Seluruh rumah mereka terbakar. Akan tetapi, karna angin pada saat itu sangat besar, api pun sempat membakar perkampungan Muslim dan hampir menuju ke Masjid Al Fatah, lalu saya dan kawan-kawan mulai mengumandangkan Takbir dari Masjid Al Fatah yang suaranya sampai terdengat kemana-mana. Hingga saat itu tidak ada satu pun Umat Islam yang tidak menangis terdengar takbir tersebut.
Dalam suasana yang sedemikian mencekam itu, seluruh umat Islam melihat ada cahaya berwarna biru jatuh dari langit, menuju ke Masjid Al Fatah. Setelah itu angin pun berbalik arah 180 derajat yang langsung menembus gereja Kilo. Akhirnya gereja itu terbakar bagian belakangnya. Takbir terus dikumandangkan. Sememtara mereka masih terus meningkatkan serangan dan minta agar saya dan kawan-kawan menghentikan takbir karena mereka merasa diejek dengan suara takbir. Dan kalau tidak dihentikan mereka akan menyerang secara membabibuta. Takbir pun kami hentikan selama 10 menit. Tapi ternyata serangan mereka tidak mereda, bahkan semakin menjadi-jadi.
Akhirnya, kami putuskan untuk bertakbir kembali. Dan begitu mendengar suara takbir, pemuda-pemuda muslim yang ada dimasjid denga keberanian luar biasa mnyerang mereka. Mereka lari karena serangan itu dan masuk gereja Kilo.mereka sebenarnya ingin terus dikejar, akan tetapi aparat menembaki kami. Begitulah kejafdian yang semanjak awal. Kalau kami umat islam yang diserang aparat diam tidak beraksi, akan tetapi ketika kami menyerang, aparat menembaki kami begitulah yang terjafi sampai saat ini.
Pada hari juma’at Umat Islam yang ada didesa Mamala, Marola dan Wakaro, mereka mendengar bahwa masjid Al Fatah sudah terbakar dan Kiyai Abdul Aziz telah terbunuh. Lalu mereka berikrar Untuk apa lagi kita hidup. Maka mereka mengumandangkan Jihad. Tidak kurang 40 jama’ah dengah pakaian warna putih turun untuk menghadapi kaum Nasrani, akan tetapi di Air Besar mereka dihadang oleh Brimob. Karena mereka tidak mau mengerti, akhirnya mereka ditembak, tapi anehnya tidak ada peluru yang bisa menembus perut mereka. Dan anehnya lagi menurut pengakuan penembak ternyata yang dilihat itu bukan 40 orang, tapi ribuan orang yang dipimpin oleh 4 orang penunggang kuda. Yang kemudian akhirnya komando mereka menginstruksikan untuk mencari ke empat orang tersebut dan sampai kini tidak ditemukan karena kami memang tidak mampunyai Kuda berwarna Putih.
Ditengah perjalanan ketika merekahendak pulang, mereka dihadang, maka disanalah mereka menghabiskan para penghadangnya. Perkampungan Batu Karang dan Gereja dihabiskan.
Rupanya Umat Nasrani tidak puas lalu melakukan pembalasan. Mereka membakar perkampungan Islam yang bernama Karang KTT, Batu Bulan, disana mereka membakar rumah umat Islam. Setelah itu mereka menangkapi anaka kecil yang sedang lari menyelamatkan diri kemudian dilempar kedalam api. Dan saudara-saura kita yang muslimah diperkosa didepan orangtuanya. Setelah diperkosa, payudarah mereka dipotong, baru kemudian dibunuh dan setiap yang dibunuh didadanya diberikan tanda salib.
Kemudian Pak Wiranto datang. Saya bertemu dengan Pak Wiranto, dengan ketua MUI Rusdi, ketua DMI Abdullah dan beberapa Ustadz lainnya, ada perjanjian yang ditanda tangani MUI, MDI, PENDETA dan Pastor juga Gubernur. Jadi pada waktu penanda tanganan perdamaian masalah dianggap selesai. Tapi ternyata keesikan hrinya mereka masih juga menyerang. Berarti para pendeta dan Pastor tidak konsekwen denga perjanjian. Mereka tidak menginstruksikan kepada pengikutnya yang dibawa untuk berdamai.
VIII.            Darah Muslim Mengucur
A.    TRAGEDI PEMBANTAIAN TOBELO FEB 5, ’10 11:25 AM[26]
Tobelo merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.
Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.
Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).
Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.
Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.
Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.
Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.
Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)
Kesaksian Korban Kerusuhan Maluku
Kebiadaban massa Kristen terhadap umat Islam di Maluku memang sungguh keterlaluan. “Ini merupakan peristiwa keji yang lebih sadis dari apa yang dilakukan PKI,” tegas Camat Galela, Drs. Ichwan Marzuki (Republika, 5/1). Dibawah ini hanyalah segelintir dari saksi hidup yang berani memberi kesaksian seputar kekejaman umat Kristen di Maluku.
Mufli M. Yusuf (15 th) SMP Al-Khairat Kelas III, Desa Popelo, Tobelo:
Rabu, (21/12/99) pk.09.00 WIT. Orang-orang Kristen dari Kampung Kusur Telaga Panca, dan Kao menyerang Desa Togolihua yang Muslim. Kami, ribuan umat Islam, berlindung ke Masjid al-Ikhlas. Masjid dikepung lalu di bom (bom pipa rakitan, menunjukkan bahwa pihak Kristen sudah mengadakan persiapan sebelumnya). Orang-orang kafir itu juga memanah ke dalam Masjid dengan panah yang telah dilumur darah babi. Sebagian dari mereka melempari Masjid dengan batu-batu besar hingga banyak tembok Masjid yang bolong. Kami yang ada di Masjid –kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu– akhirnya menyerah setelah satu jam di gempur perusuh Kristen.
Orang-orang kafir itu lalu menyerbu ke dalam Masjid, lebih dari 500 orang Islam lari keluar Masjid. Ada yang masuk hutan, ada pula yang menyerah. Tubuh saya berlumur darah, mungkin sebab itu mereka mengira saya sudah mati. Di sekeliling saya ada banyak sekali, sekitar 600 orang, syahid dengan kondisi amat menyedihkan. Dalam penyerangan itu, saya lihat banyak muslimah yang ditelanjangi orang Kristen. Walau para muslimah itu berteriak-teriak minta ampun, tapi dengan biadab mereka diperkosa beramai-ramai di halaman Masjid dan di jalan-jalan. Setelah itu mereka di bawa ke atas truk, juga anak-anak kecilnya, katanya mau dipelihara oleh orang Kristen. Para muslimah yang tidak mau ikut langsung dicincang hidup-hidup. Orang kafir itu saling berebutan mencincang bagai orang berebutan mencincang ular.
Seorang muslimah digantung hidup-hidup lalu dibakar. Pukul 13.00 WIT, perusuh Kristen itu membakar habis Masjid dengan lebih 600 tubuh syuhada didalamnya. Saya yang penuh luka bakar dengan susah payah keluar dari Masjid lewat tembok yang bolong. Saya mencari orang Islam yang masih hidup, tapi tidak ada. Semua rumah penduduk Muslim juga sudah terbakar. Saya akhirnya bertemu dengan seorang Polisi Muslim dan dibawa ke Polsek. Saya dirawat selama tujuh hari bersama korban yang lain. Dan kini saya berada di suatu tempat di Ternate.
Ibu Musriah (40 th) Pengungsi asal Makian Talaga:
Saya juga berlindung di Masjid yang sama. Lebih dari 50 laki-laki Muslim dicincang termasuk suami saya. Bagian belakang kepala saya juga mereka tebas dengan golok, tapi alhamdulillah saya masih hidup. Telapak tangan saya ini ditembus panah. Saya dan tiga orang anak lainnya diselamatkan aparat Muslim.
Ibu Nurain (20 th):
Suami saya, Asnan Awal, telah syahid dibunuh orang kafir. Saya sendiri dalam peristiwa yang sama kena panah di panggul kiri. Di dalam Masjid, ibu-ibu dan anak-anak kecil banyak yang ketakutan. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, banyak anak-anak usia balita diambil oleh orang Kristen dengan paksa. Saya memohon dengan lemah agar saya dan anak saya yang masih kecil (3 th) jangan dibunuh. Akhirnya bersama enam Muslimah lainnya, saya diikatkan kain merah di kepala dan di masukkan ke atas truk. Kami melewati Desa Kupa-Kupa, di Desa Usosiat, anak saya diambil dan diserahkan ke rumah pendeta. Saya waktu di Masjid juga melihat ada seorang Muslimah yang masih gadis dibakar hidup-hidup gara-gara tidak mau melayani syahwat orang kafir itu.
Ibu Yani Latif (17 th):
Suami saya telah syahid. Anak saya, yang masih bayi, Nita (13 bulan) diambil orang Kristen. Dengan truk saya juga dibawa ke Desa Kupa-Kupa, tapi saya melarikan diri dan kembali ke Togolihua. Masjid al-Ikhlas telah jadi puing dengan tumpukan mayat yang telah hangus terbakar.
Syahnaim (25 th):
Dua anak saya yang berusia enam dan tujuh tahun diambil orang Kristen. Sedang adiknya, Awi (2 th) dicincang mereka hingga syahid. Saya melihat sendiri, bagaimana sadisnya Bahrul (32 th) dibunuh orang kafir. Mayatnya disalib, dan naudzubillah, kemaluannya dipotong. Lalu potongannya itu disumpalkan ke mulut mayatnya. Seorang anak balita, Saddam (5 th) digantung lalu dibelah dari atas ke bawah seperti ikan. Nenek Habibab (80 th) digantung di pohon jeruk yang diikat dengan rambutnya di pohon lalu dicincang.
Hamida Sambiki (18 th), muslimah ini diambil paksa oleh orang Kristen dari Masjid An-Nashr Desa Popelo. Ayahnya yang berusaha menahan dibantai. Para perusuh Kristen merencanakan mau mengawinkan Hamida dengan anak pendeta di Tobelo. Namun oleh seseorang yang mengaku keluarga Nasrani, Hamida berhasil diselamatkan ke Polsek Tobelo. Hamida saat di Masjid An-Nashr melihat pembantaian umat Islam oleh perusuh Kristen. Munir (25 th) dibakar hidup-hidup dan mulutnya disumpal kotoran manusia, Haji Man (70 th) dipenggal lalu kepalanya yang sudah terpisah dengan tubuhnya itu ditusuk dengan panah dan dibuat mainan diputar-putar di dalam Masjid. Hamida juga melihat bagaimana seorang Muslim, Malang (50 th), dibunuh secara sadis. Kemudian jantungnya diambil. Orang kafir yang mengambil jantungnya berkata, “Ini buat hadiah lebaran”
Ridwan Kiley (29 th) dan Ibu Rahmah Rukiah, Keduanya penduduk Desa Lamo, Kecamatan Galela. Menuturkan kesaksiannya, setelah selamat dari ‘neraka’ pembantaian orang Kristen di Galela (26/12), di Islamic Centre, Ambon, seperti dikutip dalam Republika (5/1). Pada Ahad sore (26/12/99), Kecamatan Galela yang didiami mayoritas Muslim diserang massa Kristen dari tiga Kecamatan mayoritas Kristen: Loloda, Ibu, dan Tobelo. Penyerangan di Galcia, juga menimpa Desa Lamo. Pukul 14.00 siang lebih dari 7.000 massa Kristen menyerang. Sekitar 200 warga Muslim Desa Lamo bertahan. Perlawanan itu dipimpin Imam Masjid Nurul Huda, Ds. Lamo, H. Djailani. Saat itu, massa Kristen memotong puluhan ekor babi disepanjang kampung dan darahnya dilumuri ke senjata-senjatanya. “Wanita-wanita mereka juga bertelanjang dan menari-nari di sepanjang kampung,” kata Ridwan dan Ibu Rukiah. Tak berapa lama, serangan serentak dilakukan dan Desa Lamo dikepung. Dalam pertempuran, Imam Djailani menemui syahid. Dengan sadis mayat Imam Djailani di salib dan ditempatkan di perbatasan Desa Lamo dan Kampung Duma. Setelah beberapa jam tergantung di tiang salib, baru pada malam harinya mayat Imam Djailani diturunkan dan dikuburkan oleh warga Muslim yang berhasil menyelamatkan diri.
IX.            Semangat Jihad Diserukan       
A.    Tentara Allah Turun di Ambon [27]
Pasukan kafir itu terbirit-birit. Ribuan jundullah cilik menyerang mereka dengan keberanian luar biasa.
Tragedi Ambon telah lewat sebulan. Namun, asapnya masih belum pupus benar. Meski berangsur pulih, denyut kehidupan di Ambon masih belum normal. Apalagi, darah masih terus tumpah di beberapa tempat di sekitar Kepulauan Maluku. Lagi-lagi, seperti pada tragedi Idul Fitri Kelabu di Ambon,korbannya kebanyakan juga kaum Muslimin. Seperti diketahui, dalam prahara Ambon, kaum Muslimin menjadi korban kebiadaban kaum Kafirin. Mereka dibantai dan disiksa dengan cara amat keji. Sejumlah kaum Muslimin diperkosa. Sementara puluhan ribu jadi pengungsi lantaran rumah dan toko mereka dibakar. Belum lagi belasan Mesjid yang dihancurkan atau dibakar.
Namun tak banyak yang tahu, ditengah segala kengerian itu terjadi peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Allah swt. menurunkan bala tentara-Nya ketika umat Islam nyaris jadi korban. Firman Alah swt. yang turun saat perang Badar berkecamuk balasan abad silam, terbukti di bumi jihad Ambon:
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang berturut-turut.” (QS. Al-Anfal: 9).
Kejadian-kejadian menakjubkan itu diceritakan K.K ABDUL Aziz Arbi. MA, Imam Besar Masjid Jami’ Al Fatah Ambon, kepada wartawan Sabili, M, Lili Nur Aulia Rizki Ridyasmara yang menemuainya Ahad pagi (20/2) di Jakarta. Dalam wawancara selama satu setengah jam ini ustadz Abdul Aziz menuturkan kesaksiannya tentang turunnya bantuan Allah berupa pasukan Mujahidin cilik berjubah dan bersongkok putih. “Saya terpaksa mengungsikan istri dan kelima anak saya karena situasi Ambon yang masih sangat rawan. Tapi Insyaallah, saya akan segera kembali ke sana,” tutur alumnus Universitas Ummul Qura’ Mekkah berikikut uraiannya:
RIBUAN JUNDULLAH CILIK[28]
Pada malam pertama kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999 yang bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, saya berada di rumah keluarga kompleks masjid raya Al Fattah. Suasana malam ituterasa amat mencekam. Tiap setengah jam sekali terdengar tiang listrik di pukul bertalu-talu tanda adanya serangan dari pihak Nasrani. Ibu-ibu dan anak-anak semuanya dicekam ketakutan yang luar biasa. Para penyerang itu menggunakan berbagai macam senjata. Mereka berteriak-teriak dengan bengis. Itu terjadi sepanjang malam. Tak pernah berhenti. Kita hanya bisa menahan serangan mereka.
            Pada malam kedua, saya dijemput dua puluh tentara dari Kostrad. Say diberitahu bahwa saya adalah orang pertama yang akan dibunuh. Saat itu terjadi penyerangan yang cukup hebat terhadap Masjid Al Fatah. Sejak dini hari hingga tengah malam orang-orang Nasrani menyerang kita secara bergelombang. Mereka bersenjatakan panah-panah api dan racun, parang, tombak, batu, bom molotof, hingga bom ikan. Pasukan Muslim hanya dibekalkan senjata seadanya: parang; kayu batu, dan senjata apa saja yang bisa diraih. Ada kalanya kita mendesak mereka namun sewaktu-waktu mereka ganti mendesak kita. Sekitar pukul 24-01.00 malam waktu setempat, umat Islam terdesak mundur. Musuh-musuh Islam itu, Nasrani-nasrani maju hingga menuju pagar Masjid Raya. Mereka benar-benar ingin menghancurkan Masjid Raya kebanggaan kota Ambon itu. Di dalam masjid berkumpul 5000-an pengungsi yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu dan anak kecil. Para penyerang itu tampak sudah sedemikian dekat dengan pagar masjid. Beberapa dari mereka bahkan telah melompati pagar. Umat Islam panik bercampur marah. Para prngungsi histeris ketakutan. Gambaran kehancuran masjid dan pembantaian pengungsi sudah terbayang di pelupuk mata. Keadaan sudah sedemikian gawat. Nyaris tanpa harapan.
Entah mengapa, tiba-tiba para penyerang itu berbalik dan lari terbirit-birit. Kelihatannya mereka sangat ketakutan. Kita sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi ternyata mereka menyaksikan apa yang kita  bisa lihat. Ini kita ketahui melalui cerita seseorang Nasarani yang berhasil ditawan: “Saya melihat ribuan kanak-kanak berusia sekitar 10 tahun, memakai baju dan songkok putih berlari kencang keluar dari dalam masjid ke arah kita. Seorang tua berjubah dan bersorban putih dengan tongkat di tangannya tampak memimpin pasukan itu. Jumlahnya sangat besar dan keberaniannya menyerang sangat luar biasa. Itulah yang membuat kami takut dan berbalik lari meninggalkan masjid.” Subhanallah... Allahu Akbar! Itu terjadi pada malam Kamis.
TIUPAN MALAKAT[29]
Pada malam Jum’at mesjid Al Fatah kembali diserang. Kali ini mereka menyerang dari jalan baru-jalan ini terletak di depan masjid. Dengan memanfaatkan tiupan angin yang mengarah ke masjid Al Fatah, penyerangan dilakukan dengan membakar rumah di ujung Selatan jalan baru. Mereka menggunakan anak panah yang menyala. Namun ketika mereka menghujani rumah-rumah Nasrani tetangganya. Tapi karena saat itu angin bertiup sangat kuat, rumah-rumah Muslim yang letaknya bersebelahan ikut terbakar.
Api merambat kian besar ke arah masjid. Tiupan angin kian mempercepat rembetan itu. Penduduk berhamburan keluar menyelamatkan diri keluar mengamankan diri ke masjid Al Fatah. Penduduk Muslim yang laki-laki bertempur dibawah kobaran api yang membumbung tinggi, menahan gelombang serbuan kafirin yang berusaha menerobos ke Masjid. Di masjid, para prngungsi kembali panik. Kaum ibu berteriak histeris. Anak-anak mnangis ketakutan. Hawa malam itu terasa demikian panas, bercampur rasa kalut dan pasrah.
Melihat keadaan demikian, saya perintahkan semua wanita yang ada di dalam masjid mengenakan pakaian shalatnya. Saya komandokan mereka bertakbir mengagungkan nama Allah swt. Allahu Akbar! Gemuruh takbir kian lama kian kompak dan bergemuruh. Takbir yang diteriakan oleh jiwa yang pasrah dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah membahan hingga ke luar masjid. Warga di Gang Diponegoro dan Batu Merah yang terletak di dekat Al Fatah menangis saat mendengar takbir yang memilukan. Kita bertakbir dari pukul 23.00-01.00 malam.
Di malam penuh kekalutan itu, orang-orang yang berada di sekitar masjid tiba-tiba dikagetkan oleh sebersit cahaya terang berwarna biru yang jatuh dari langit. Bola cahaya itu membelah kepekatan malam, meluncur turun tepat di atas Masjid Raya Al Fatah. Entah apa sebabnya tiba-tiba angin berbalik arah dan berhembus amat sangat kencang. Yang tadinya berhembus ke arah masjid, kini berbalik seratus delapan puluh derajat menuju Gereja Silo. Seandainya angin tetap bertiup ke arah masjid, bukan tidak mungkin seluruh rumah Muslim akan habis. Tapi dengan izin Allah swt angin itu berbalik, dan akhirnya membakar Gereja Silo yang berjarak kurang lebih 300 meter dari Al Fatah.
Curangnya pemuda Ambon, khususnya pemuda pemadam kebakaran, mereka telah memarkir dua unit pemadam kebakaran di samping Gereja Silo, namun tidak di Masjid Al Fatah. Mereka memadamkan api yang menjilat Gereja Silo.
Kita di Masjid tetap mengumandangkan takbir, itu membuat orang kafir makin kalap. Mereka kian bengis menyerang kita. Seorang pengungsi  berkata kepada saya, “Ustadz, hentikan takbir. Mereka makin kalap mnyerang kita. Takbir akhirnya kita hentikan. Namun  setelah berhenti mereka tetap menyerang kita. Takbir akhirnya kita lanjutkan. Kita kembali menyusun pertahanan. Dengan takbir tersebut, kita memompa semangat jihad kawan-kawan. Mereka akhirnya bisa kita pukul mundur.
Entah mengapa, seiring dengan terpukulnya pasukan kafir itu, angin kembali bertiup sangat kencang menuju Gereja Silo. Api kembali membakar gerja itu. Mobil-mobil pemadam kebakaran pun berusaha keras memadamkan api kembali. Itu terjadi pada malam Jum’at, 22 Januari 1999. Kita tidak membakar gereja, mereka sendirilah yang membawa-bawa api.
B.     Pentingnya Jihad Dalam Islam[30]
Jihad secara bahasa artinya :
1)      Mengerahkan segala kemampuan
2)      Berjuang menghadapi segala kesulitan.
Jihad secara hukum Islam ada dua macam : pengertian umum dan pengertian khusus.
Jihad dalam pengertian umum artinya usaha maksimal untuk penerapan ajaran Islam serta pemberantasan kemungkinan dan kedhaliman, baik terhadap diri pribadi maupun masyarakat. Ini menyangkut semua jenis ibadah, baik dhahir maupun batin. Makna jihad umum ini di antaranya disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al-Furqan/ 25 ayat 52:

Maka janganlah mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.” (QS 25: 52).
QS. Al-Hajj/22: 78:


Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begutu pula) dalam (Al Qur’an) ini supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dia lah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS 22: 78).
            Jihad dalam pengertian khusus adalah perang melawan mush Islam. Pengertian khusus inilah yang dibicarakan secara luas dalam kitab-kitab fiqh dan selalu dikaitkan dengan qital, harb, dan ghazwat (pertempuran, peperangan dan ekspedisi). (Lihat Ensiklopedi Islam, Departemen Agama RI 1978/1979 jilid 2, hal 451).
Ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung pengertian jihad, yang turun di Mekkah (terutama setelah turunnya ayat yang mengizinkan perang), mengandung makna ganda, mengandung pengertian jihad khusus dan jihad umum. Seperti firman Allah:

Hai Nabi, berjihadlah menghadai orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, serta bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS. At-Taubah/ 9: 73).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, juga orang-orang yang memberi tempat kediaman dan bantuan (kepada Muhajirin), mereka saling melindungi satu sama lain.” (QS. Al-Anfal/ 8: 72).
            Menurut Ensi tersebut, dalam Mu’jam Alfadz Al Qur’an Al- Karim menegaskan bahwa kebanyakan kata jihad dalam Al Qur’an berarti mengerahkan segala kemampuan untuk penyerangan da’wah Islam serta mempertahankan dan melindunginya. Dengan demikian, pengertian jihad bukan terbatas pada perang (qital, harb, dan ghazwat), tetapi mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang sungguh-sungguh dalam rangka da’wah Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Bertitik yolak dari pengertian jihad seperti disebutkan di atas, maka jihad berlangsung secara berkesinambungan, baik dalam situasi aman maupun perang. Jihad merupakan sokoguru yang menentukan tegaknya ajaran Islam. Kehidupan yang aman dan damai, sejahtera dan bahagia akan terwujud selama jihad ditegakkan. Sebaliknya, jika semangat jihad melemah, maka kegairahan bekerja akan pudar, sifat apatis dan pengecut akan muncul dan akhirnya mengakibatkan kemunduran dan kehancuran. (ibid, hal 451)
Diizinkannya perang jihad dan perintah perang[31]

Telah diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Jikalah Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya; sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 39-41)
Ulama salaf (angkatan terdahulu: shabat, tabi’ien, dan tabi’it tabi’ien) berbeda pendapat tentang ayat yang pertama diturunkan mengenai perintah perang. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya Rowaai’ul Bayaan (Tafsir Ayat Ahkam, terjemahan) menjelaskan ada dua pendapat. Pertama ayat 190 Surata Al-Baqarah, dan kedua ayat 39 Surat Al-Hajj/22. Lalu dikutip pendapat Ibnul ‘Arabi Al-Andalusi* bahwa ayat pertama diturunkan berkenaan dengan perintah itu QS. Al-Hajj: 39, sifatnya diizinkan, dan turun di Mekkah. Kemusdian difardhukan/diwajibkan berperang, dengan ayat 190 Surat Al-Baqarah yang turun di Madinah. *(Bukan Ibnu ‘Arabi _tanpa al_sufi yang dikafirkan sejumlah ulama karena pendapatnya yang sesat yaitu wihdatul wujud, menyatukan diri/alam dengan  Tuhan atau kalau aliran kepercayaa  Kejawen mnyebut istilah itu dengan manunggaling kawula Gusti).
            Berikut ini kutipan tentang diizinkannya perang dan kemudian diwajibkannya:
            Ulama salaf berbeda pendapat tentang ayat pertama diturunkan yang berkenaan dengan perintah berperang. Diriwayatkan dari Rabi’ bin Anas dan lain-lainnya, bahwa ayat pertama kali diturunkan yang berkenaan denga perintah berperang yaitu firman Allah:

            Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang menyerangi kamu.” (QS. Al-Baqarah : 190).
            Ayat ini diturunkan di Madinah, lalu Rasulullah SAW memerangi orang yang memeranginya dan tidak memerangi orang yang tidak memeranginya.
            Dan diriwayatkan dari sejumlah Sahabat, di anatarnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair, bahwa pertama kali ayat yang berkenaan dengan perintah  perang adalah firman Allah:

            Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolog mereka. (QS. Al-Hajj: 39).
            Ibnul ‘Arabi berkata:  yang benar, bahwa ayat yang pertama diturunkan yang berkenaan dengan perintah perang yaitu ayat diizinkan (berperang) bagi orang-oramg yang diperangi... dst (QS. Al-Hajj: 39), kemudian turun ayat “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” (QS. Al-Baqarah :190), maka berperang pertama kali “diizinkan” kemudian “difardhukan”, sebab ayat “izin perang” adalah turun di Mekkah, sedang ayat (perangilah QS 2: 190) ini turun di Madinah. (Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, buku I, hal. 180-181).
Musuh Masuk kampung Islam, Jihad Fardhu ‘ain[32]
            Setengah ulama berpendapat bahwa berperang ada kalanya fardhu kifayah (kolektif) dan ada pula fardu ‘ain (tiap-tiap Muslim) menurut keadaan. Demikian penjelasan H Sulaiman Rasyid dalam Al-Fiqhul Islami/ Fiqh Islam.
            Berperang itu termasuk fardhu kifayah (kewajiban yang cukup dilaksanakan oleh sebagian orang Islam) bila dalam dua keadaan:
a.       Untuk menjaga batas-bats negeri Islam sewaktu damai sebelum terjadi peperangan. Banyaknya menurut keperluan yang sesuai dengan keadaan tiap-tiap masa dan tempat.
b.      Apabila Imam telah mengumumkan perang terhadap musuh. Ketika itu fardhu kifayah atas orang-orang yang mencukupi syarat-syaratnya. Banyaknya menurut keperluan pada waktu itu.
Hukum berperang menjadi fardhu ‘ain (kewajiban setiap Muslim pen) atas tiap-tiap Muslim apabila musuh telah masuk ke dalam negeri (kampung, pen) Islam. Ketika itu perang menjai fardhi ‘ain atas tiap-tiap penduduk negeri itu, yang jauhnya kurang dari perjalanan qashar (shalat) kira-kira 80,640 km). Fardhu kifayah atas selebihnya. (sedang) banyaknya menurut kepentingan, sekedar mencukupi hajat untuk pembelaan negeri yang telah dimasuki oleh msuh itu. (Sulaiman Rasyid. Al-Fiqhul Islami/Fiqh Islam, Sinar Batu Bandung, cet 22, 1989, hal 419-420).
Hal-hal yang menyebabkan perlunya berjihad/berperang[33]
            ada beberapa hal yang merupakan latar belakang hal-hal yang menyebabkan perlunya berperang jihad dalam Islam, antara lain:
a.       Mempertahankan diri
b.      Memberantas kedhaliman
c.       Menghilangkan fitnah
d.      Membantu orang-orang lemah
e.       Mewujudkan keadilan dan kebenaran (QS. Al-Baqrah : 193 dan An-Nisa :75-76).
Tujuan jihad/ perang ini adalah terlaksananya ajaran Islam dalam arti yang sebenarnya. Justru itu perintah jihad dalam Al Qur’an sering kali dikaitkan dengan fisabilillah (di jalan Allah). Hakikat sabilillah adalah segala jalur atau usaha untuk mencapai ridha Allah dengan titik sentral pada perwujudan tauhid dalam bidang akidah, kasih sayang dalam bidang akhlak, dan adil dalam bidang syariat.
Dirangkaikannya jihad dengan sabilillah  merupakan isyarat bahwa pelaksanaan jihad tidak boleh menyimpang dari norma-norma dan kaidah yang telah ditentukan oleh Allah swt. jihad tidak dikaitkan dengan jangka waktu tertentu, tetapi berlaku secara berkesinambungan dan merupakan ciri khas yang menandai orang-orang beriman.
Para ulama berpendapat bahwa hukum jihad adalah wajib berdasarkan nash (teks) yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah  Rasul. Namun terdapat perbedaan pendapat tenytang wajibnya, apakah dibebankan atas setiap individu (wajib ‘ain) atau kolektif (wajib kifayah).
Hal ini berpangkal pada sudut pandang yang berbeda terhadap makna jihad. Apabila jihad diartikan sebagai perang secara fisik, maka hukumnya fardhu kifayah (Al-Syafi’i); dan apabila jihad dimasukkan dalam pengertian umum, maka hukumnya fardhu ‘ain. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma;ad, II/ 1970: 66, atau jilid III (1995) halaman 61, seperti dikutip Ensiklopedi Islam di Indonesia, Departemen Aagam 1987/ 1988 jilid II, hal 451-452).
Yang dimaksud berjihad[34]
            Kewajiban berjihad dalam arti perang tidak dibebankan kepada semua orang, tetapi ditujukan untuk orang-orang yang telah memenuhi persyaratan:
a.       Islam
b.      Baligh
c.       Berakal
d.      Merdeka
e.       Tidak cacat
f.       Ada biaya. (Ibnu Qadamah, Abi Muhammad, Al-Mughni VIII: 347, Ensiklopedi Islam, ibid, hal 452)




















BAB III
PENUTUP
            Dari makalah yang penulis susun tersebut yang meninformasikan tragedi Ambon tetntu menyimpan banyak hikmah. Tentu masih teringat tragedi-tragedi yang dipaparkan di atas, yang penuh ilustrasi mencerikan pembantaian, pembunuhan, pemerkosaan, perusakn, pembakaran, hingga mayat-mayat umat Islam jatuh bergelimpangan. Namun saya yakin, dengan semangat Jihad di dada mereka, perjuangan mereka tidaklah sia-sia. Para pakar sudah bicara, dengan segala aliansinya dan asumsinya masing-masing. Ada yang bilang hal ini terjadi karena kesenjangan ekonomi, konflik umat beragama ataupun yang lainnya.
            Teori-teori itu  bisa saja benar, meski sulit mendapatkan data-data yang akurat, tapi, yang pasti tragedi Ambon tak cukup dipandang dalam dimensi duniawi belaka. Ada dimensi ukhrawi dan imani yang tak boleh diabaikan. Yakni, berlakunya rencana Allah di balik semua peristiwa besar itu. Manusia boleh berencana, ketetapan Allah jualah yang terlaksana.
Bertolak dari pemahaman ini, tragedi Ambon 1999 lalu sesungguhnya mengandung blessing in disguise (hikmah tersembunyi). Di balik semua kegetiran yang tak terperi, tercuat hikmah dan buah positif yang luar biasa. Tragedi Ambon menyadarkan kita akan semua peringatan Allah ihwal kebencian laten Kaum Yahudi dan Nasrani kepada Umat Muslim (QS. Al-Baqarah: 120). Kebencian itu selama ini terpendam di dalam lubuk hati mereka, bak apai dalam sekam. Toleransi yang manis di kota “manise” kini telah pudar termakan bara api kebencian yang mulai memanas.








DAFTAR PUSTAKA

Jaiz, Ahmad Hartono. 1999. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi  Ketakutan Ekstrimis Nasrani. Jakarta: Dea Press.
Muhammad Najib, dkk. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta : LKPSM.
Richard H. Chauvel, dalam Audrey Kahin. 1985. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (ter). Styagraha Hoerip), Jakarta: Grafti.
http://deeu47.multiply.com/journal/item/130/Tragedi_Pembantaian_Tobelo
Tabloid Aliansi Keadilan No.02, 11 Maret 1999 hal 4-8
Sabili No. 17/10 Maret 1999 Hal. 54-61
Media Dakwah No. 297, Maret 1999 Hal. 24-27.
Lerissa, R.Z, dkk. 1999. Sejarah Kebudayaan Maluku, Depdikbud. Jakarta : CV Ilham Bangun Karya.



      
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

















[1] Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara,  (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[2] Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara,  (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[3] Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara,  (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[4] Menurut Dr. Frank Leonard Cooley dalam disertasinya yang berjudul “ Altar and Throne In Central Mulaccan Societies” halamn 216 mengataklan “ Pela as it  is found at present in Moluccan Societles is an institutionalized bond of friendship or brotherhood betwen all native residents of two or more villages, which bond was estabilised by the ancestors under particuler circumstances and carries specific and privileges for the parties thus bound together”.
[5] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi  Ketakutan Ekstrimis Nasrani, (Jakarta: Dea Press. 1999). Hlm.  20.
[6] Jaiz, Ahmad Hartono. Op. Cit. Hlm.  20-21.
[7]Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi  Ketakutan Ekstrimis Nasrani, (Jakarta: Dea Press. 1999). Hlm.
[8]  Jaiz, Ahmad Hartono. Op. Cit. Hlm.  20-21.
[9]
[10] Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara,  (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.
[11] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi  Ketakutan Ekstrimis Nasrani, (Jakarta: Dea Press. 1999). Hlm. 
[12] Muhammad Najib, dkk. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara,  (Yogyakarta : LKPSM, 1996). Hlm.

[13] Menurut Komandan Korem 174/Pattimura, Kol (Inf) Karel R. Rahalahu, hingga 19 Maret 1999, korban kerusuhan itu mencapai 721 jiwa: 190 meninggal, 274 luka berat, 257 luka ringan. Belum lagi kerugian materil, psiko-sosial dan psikio-keagamaan_yang rasanya tak bisa diukur. Lihat UMMAT. 5 April 1999.
[14] Richard H. Chauvel, dalam Audrey Kahin. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (ter). Styagraha Hoerip), Jakarta Grafti, 1985. Hlm 244.
[15] Chauvel, “Ambon” dalam Review of Indonesian and Malayan Affairs 14, 1, 1980:53-67.
[16] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 22.
[17]Chauvel, Ibid. Hlm. 244
[18] Hartono Ahmad Jaiz, Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) hlm. 23 yang mengutip dari Chauvel.
[19] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 25.
[20] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 30-31.

[21] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 32

[22] Tabloid Aliansi Keadilan NO.02,11 Maret 1999 Hal. 4-8
[23] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 67, yang mengutip dari Sumber: Posko keadilan
 [24] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 97-103, yang mengutip dari
Sabili no. 18, hal.36-40
[25] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 86-93, yang mengutIp dari Media Dakwah No. 297, Maret 1999 Hal. 24-27.
[26] http://deeu47.multiply.com/journal/item/130/Tragedi_Pembantaian_Tobelo

[27] [27] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 171-176, yang dikutip dari Sabili No. 17/10 Maret 1999 Hal. 54-61
[28] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 172-173.
[29] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 173-175.
[30] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 189
[31]  Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 191
[32]  Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 193.
[33]  Jaiz, Ahmad Hartono. Op. Cit. Hlm. 194
[34] Jaiz, Ahmad Hartono. Ambon Bersimbah Darah, (Jakarta: Dea Press, 1999) Hlm. 195.

Tidak ada komentar: