Selasa, 21 Oktober 2014

Ini dia Makna Pendidikan Karakter dan Contoh Aplikasinya (Resume buku Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan Kreatif)




KATA PENGANTAR
 
Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain. Juga tidak lupa pula shalawat dan salam atas pemimpin umat islam, pendidik yang namanya termashur dengan kecerdasan dan akhlak mulianya hingga akhir zaman, yakni baginda besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan para pengikunya serta mudah-mudahan kita termasuk diataranya yang  istiqomah mengamalkan  sunnahnya dalam kehidupan ini. Aamiin.
Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan resume buku karya Retno Listyarti yang berjudul  Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan Kreatif. Buku Ibu Retno tersebut merupakan karya yang menurut saya bagus, sebab dapat membuka cakrawala pengetahuan saya mengenai pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik negara Indonesia ini. Buku tersebut tidak haya menjelaskan apa makna dan dasar teori-teori pentingnya pengembangan dan pendidikan karakter dalam proses pendidikan, namun juga menyertakan cerita-cerita yang dapat dijadikan bahan ajar penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik di kelas. Cerita-cerita yang mungkin dapat menginspirasi para guru untuk dapat menanamkan pembelajaran yang berkarakter di kelas mereka. Beliau juga memberikan berbagai materi-materi cerita tersebut yang dapat diterapkan di berbagai jenjang pendidikan, mulai pendidikan tingkat PAUD hingga Sekolah Menengah Pertama dan setingkatnya. Namun, karena keterbatasan dan kebutuhan peresume yang merupakan mahasiswa Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) maka saya hanya meresume dasar teori singkatnnya serta beberapa cerita yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di tingkat MI/SD.
Terima kasih kepada Bpk. Dr. Fauzan, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Perencanaan Pembelajaran, yang telah membimbing saya untuk dapat menyelesaikan resume ini, serta memotivasi kami semua mahasiswa PGMI agar semangat melakukan perubahan pendidikan meskipun hal itu dari hal yang terkecil sekalipun. Selain itu saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman, yang telah bersedia memberikan dorongan motivasi, membaca dan mempelajarinya. Adapun tujuan dari pembuatan resume buku ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan. Saya berharap resume ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya, dan bagi seluruh pembaca yang mungkin merupakan guru bagi generasi penerus masa depan bangsa yang Insya Allah berkarakter.




Jakarta, 08 April 2014


Peresume
Irvani Mufidah



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I  PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.       Latar Belakang Penyusunan ..................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN........................................................................................... 4
A.       Latar Belakang Pentingnya Pendidikan Karakter .................................... 4
B.       Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa ..................................... .. 5
C.       Proses Pedidikan Karakter ........................................................................ 8
D.       Langkah-langkah Penerapan Pendidikan Karakter di Sekolah ................. 8
E.        Mengapa Sekolah Harus Melakukan Pendidikan Karakter? .................... 9
F.        Landasan Teori Pendidikan Sebagai Dasar Pembelajaran Aktif,
Kreatif,  Kritis dan Berkarakter  ............................................................ .. 9
a.       Perubahan Paradigma Pengajaran Menjadi Pembelajaran .................. 9
b.      Apakah guru yang berkualitas (guru master itu)? ............................. 12
G.       Kisah Pembelajaran Karakter untuk Tingkat PAUD/SD ....................... 15
1.      Kisah Uang Kertas ........................................................................... 15
2.      Dongeng Rakyat (Anti) Korupsi (1, 2, 3) ........................................ 18
3.      Kisah Sirih Belanda dan Persahabatan ............................................ 32
4.      Matematika dalam Kisah Pisang dan Pengemis ............................... 36
5.      Kisah air Mendidih dalam Karakter Kerja Keras ............................. 38
6.      Belajar Menghafal, Bukan Belajar Memahami ................................ 42
BAB III  KESIMPULAN.......................................................................................... 48



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyusunan
Penyusunan naskah resume ini awalnya dilatarbelakangi oleh kewajiban penyusun untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah perencanaan pembelajaran. Sebab penyusun ialah seorang mahasiswi program studi guru madrasah ibtidaiyah yang sedang mempelajari mata kuliah tersebut, maka mengerjakan tugas ini adalah suatu keharusan. Tugas dari mata kuliah tersebut ialah meresume sebuah buku yang berkaitan dengan pendidikan ataupun pembelajaran.
Setelah penyusun mencari dan menelaah beberapa literatur yang ada di perpustakaan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ternyata pilihan jatuh pada buku karya Retno Listyarti ini. Buku itu berjudul Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan Kreatif. Jika ditanyakan mengapa atau apakah sebabnya, maka penyusun hanya dapat menjawab dengan kalimat singkat yakni “Saya ingin menyelami makna karakter”. Kata karakter sudah sering terdengar ditelinga para pendidik juga mahasiswa keguruan akhir-akhir ini. Tepatnya ketika kurikulum baru mulai dipublikasikan pada berbagai media cetak ataupun forum-forum resmi kependidikan. Kurikulum itu kita kenal dengan K 13 atau kurikulum tahun 2013 yang mengedepankan penanaman, penghayatan dan pengamalan sejumlah nilai karakter melalui serangkaian aktivitas pembelajaran ilmiah yang dilakukan. Akan tetapi, sampai saat ini penyusun sendiri belum dapat memahami secara mendalam tentang apa dan bagaimana nilai-nilai karakter tersebut dapat dikembangkan dalam konteks pembelajaran real di kelas. Oleh karena itulah, kiranya tepat penulis menjatuhkan pilihan pada buku karya Retno Listyarti yang memaparkan contoh pendidikan karakter dalam pembelajaran real di kelas.
Text Box: 1Sebelum melakukakn resume, penyusun melakukan kajian buku ini dengan cara membaca perlahan lembar demi lembar halamannya. Dari kegiatan inilah penyusun megetahui bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari orang lain. Karakter disebut juga dengan watak atau tabiat. Secara teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek yaitu ketika seorang mengetahui kebaikan (knowing the good), lalu ia selalu mencintai kebaikan (loving the good) hingga selanjutnya mampu melakukan kebaikan dalam setiap tindakannya (doing the good). Jadi Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Alangkah indahnya jika pedidikan karakter tersebut dapat selalu diimplementasikan dalam setiap kegiatan pembelajaran nyata di setiap jenjang pendidikan yang ada. Jika itu dapat diaplikasikan secara sempurna, maka di masa generasi mendatang dengan segala tuntan perkembangan zamannya yang semakin meningkat, justru tidak akan terdengar lagi kata korupsi, kerusuhan, serta tindak kejahatan sosial-moral lainnya. Namun, hal ini kembali lagi pada hakikat makhluk dalam kehidupan dunia ini, dimana tidak ada sosok ataupun amal yang sempurna. Paling tidak Tuhan selalu melihat dan mendukung setiap tekat dan usaha kuat setiap makhluk untuk memperbaiki segala kekurangan yang terjadi. Pendidikan karakter dalam tongkat kurikulum 2013 yang ada inilah, yang akan menjadi dasar usaha manusia khususnya generasi pendidik guna memperbaiki masa depan peradaban generasi bangsa.
Sebagai bentuk usaha nyata seorang guru ataupun mahasiswa keguruan dalam menggapai cita-cita perubahan tersebut, tidaklah cukup hanya mengetahui dan menyetujui pendidikan karakter ini. Tetapi juga harus mampu mengerahkan segenap sanubarinya untuk menggali pemahaman serta mengamalkannya dalam pembelajaran nyata di kelas-kelas mereka. Panggilan jiwa untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya dalam menciptakan suasana pembelajaran yang bernilai karakter. Kemampuan itulah yang merupakan aspek yang harus diasah dan ditanamkan pada setiap jiwa para pendidik.
Untuk dapat mengasah kemampuan tersebut, maka membaca beberapa contoh kegiatan pembelajaran nyata yang menanamkan nilai-nilai karakterpun dapat dijadikan salah satu alternatif cara. Oleh karena itu, dalam resume ini telah dipaparkan beberapa contoh materi pembelajaran yang dapat dijadikan inspirasi dalam meciptakan pembelajaran karakter di kelas para guru atau calon guru sekalian. Khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran berkarakter di tingkat SD/MI.
Akhirnya, latar belakang penyusunan resume buku ini pun kini beralih menjadi kesadaran dan tekad untuk terus memperluas pemahaman dan mengembangkan kompetensi diri sebagai seorang calon pendidik. Kita mulai dari sekarang, saat ini dan sepanjang hayat. It’s long life education, untuk membina cipta, rasa dan karsa peserta didik kita (Ki Hajar Dewantara).

 
BAB II
PEMBAHASAN



 
Judul Buku              : Pendidikan Karakter dalam Metode aktif,
                                      Inofatif dan  Kreatif
Penulis/Jmlh. hal    : Retno Listyarti/ 233 halaman
Diterbitkan Oleh    : Erlangga Group,  pada tahun 2012



A.    Latar Belakang Pentingnya Pendidikan Karakter
Rencana Strategis (Restra) Kementrian Pendidikan Nasional atau sekarang dikenal dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mulai 2010-2014 telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang pendidikan, yakni mulai dari jenjang PAUD dan sederajat sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi (PT) dalam sistem Pendidikan di Indonesia. Oleh karenanya sejak 3 tahun yang lalu telah diupayakan perencanaan, pengkomunikasian, pelatihan, serta pelaksanaannya diberbagai instansi pendidikan terkait. Namun, pada nyatanya penerapan pindidikan karakter di sekolah memerlukan pemahaman tentang konsep, teori, metodologi, dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building) dan pendidikan karakter (character education).[1]
Selama ini para guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun kebanyakan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya dalam setiap proses pembelajaran mencakup konsep, teori, metode, dan aplikasi. Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi, dan aplikasi setiap mata pelajaran di mana pendidikan karakter sudah terimplementasi di dalamnya, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektif dalam menunjang pendidikan karakter.[2]
Pendidikan moral dalam keseharian sering dipakai untuk menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika. Pembelajarannya lebih banyak disampaikan dalam bentuk konsep dan teori tentang nilai benar atau salah. Sedangkan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari kurang atau bahkan tidak menyentuh ranah afektif dan psikomotor, dalam arti tidak diaplikasikan dan menjadi kebiasaan. Adapun dalam pendidikan akhlak lebih ditekankan pada pembentukan sikap batiniah agar memiliki spontanitas dalam melakukan kebaikan.[3]
Secara teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter sesungguhya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik, sehingga terbentuklah tabiat yang baik.[4] Oleh karenanya proses pendidikan di Indonesia sedang diupayakan untuk dapat mengaplikasikan pendidikan dan pembentukan karakter ini, yakni melalui usaha dan kerja keras semua pihak di bidang pendidikan.
B.      Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa
Menurut Retno Listyarti, bangsa Indonesia memiliki karakter lemah yang hendaknya harus mulai ditinggalkan, ia menyatakan “Karakter lemah bangsa Indonesia yang harus diperbaiki yaitu penakut, feodal, penindas, koruptif, tidak logis, meremehkan mtu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas dan tak punya malu.”[5]
 Menurutnya karakter yang menjadi realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia tersebut akibat dari pejajahan beratus-ratus tahun oleh bangsa asing. Oleh karenanya karakter lemah tersebut harus segera diberantas melalui pembentukan dan pendidikan karakter sejak dini.
Mulai tahun pelajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter. Nilai-nilai karakter tersebut telah dirumuskan menjadi 18 nilai karakter bagsa sebagai berikut:[6]

Tabel 18 Nilai Karakter
No
Nilai Karakter
Uraian
1.
Relegius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain
2.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
3.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengannya.
4.
Disiplin
Tindakan yang menujukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan ketentuan
5.
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6.
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yag telah dimiliki.
7.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Demokratis
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.
Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan lebih meluasd dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.
10
Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.
Cinta tanah air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.
Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk meghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.
Bersahabat/
Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senag berbicara, bergauldan bekerjasama dengan orang lain.
14.
Cinta Damai
Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Baik terhadapdiri sediri, masyarakat, lingkungan alam, sosial, budaya dan negara.
15.
Gemar membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.
Peduli sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya.

C.    Proses Pedidikan Karakter
Karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari orang lain; tabiat; watak. Adapun proses pendidikan karakter itu sendiri didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pedidikan dan masyarakat.[7]
Berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa dan olahraga.
2.  Beriman, bertakwa, jujur, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang  menyerah, rela berkorban dan berjiwa patriotik.
3.  Ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
4.   Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, ceria, gigih, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingintahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi pada IPTEKS dan reflektif.

D.    Langkah-langkah Penerapan Pendidikan Karakter di Sekolah
Langkah-langkah penerapan pedidikan karakter untuk menjadi budaya sekolah sebagai berikut:
1.      Kesepakatan mengeanai karakter yang hendak dicapai dan ditargetkan sekolah.
2.  Membangun pemahaman bahwa sekolah ingin membudayakan karakter positif untuk seluruh warga sekolah dan ini membutuhkan suatu proses.
3.   Menyusun rencana meyeluruh untuk memanifestasikan pengembangan pembelajaran berkarakter guna mencapai hasil yang ditargetkan.
4.    Megintegrasikan karakter yang sudah dipilih ke dalam pembelajaran di seluruh kurikulum secara terus-menurus.
5.    Melalui suatu workshop, para guru dibimbing untuk menentukan pendekatan serta metode yang akan digunakan guna menanamkan nilai karakter sesuai dengan mata pelajarannya.
6.      Sosialisasi karakter yang disepkati kepada seluruh warga sekolah.
7.      mengembangan moto sekolah yag bertumpu pada karakter yang disepakati.
8.      menentukan indikator yang menunjukkan keberhasilan program.
9.      Melakukan evaluasi terhadap karakter.
10. Memberikan apresiasi terhadap warga sekolah yang menunjukkan perubahan ke arah karakter yang dibudayakan.[8]

E.     Mengapa Sekolah Harus Melakukan Pendidikan Karakter?
Sekolah hendaknya melakukan pendidikan karakter karena alasan sebagai berikut:
a.       Karena karakter sebagian besar bangsa Indonesia masih lemah.
b.  Sejalan dengan Resentra (Rencana dan Strategi) Kemendiknas 2010-2014 yang mencanangkan   penerapan pendidikan karakter, maka diperlukan kerja keras semua pihak.
c.   Penerapan pendidikan karakter di sekolah yang baik memerlukan pemahaman tentang konsep, teori, metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building) dan pendidikan karakter (character education).[9]

F.     Landasan Teori Pendidikan Sebagai Dasar Pembelajaran Aktif, Kreatif, Kritis dan Berkarakter
1.      Perubahan Paradigma Pengajaran Menjadi Pembelajaran
Perubahan paradigma pembelajaran di Indonesia telah terjadi secara fundametal pada saat UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dilahirkan. Dalam undang-undang tersebut tersurat jelas menyatakan bahwa perubahan paradigma pengajaran menjadi pembelajaran merupakan tuntutan dari reformasi pendidikan.[10] Perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran menjadi pembelajaran seiring dengan tujuan dari pendidikan nasioal sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Pengertian pendidikan yang terdapat pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Bab 1, pasal 1, ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran seharusnya berbasis STUDENT CENTER LEARNING.[11]
Untuk itulah mengapa saya tertarik meresume buku ini, sebab buku ini tidak hanya bertujuan menjelaskan pengertian, teori serta metodologi pedidikan karakter saja, namun juga untuk membahas cara sebagai upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa serta mengembangkan potensinya. Makna pembelajaran yang mengaktifkan siswa tersebut juga diperkuat dengan pandangan tokoh sejarah teori pendidikan yang berkembang dan berpengaruh.
Tokoh pendidikan John Dewey berpendapat bahwa “Orang belajar dari apa yang dikerjakanya”. Jadi menurutnya anak tidak belajar dengan cara medengar ceramah. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Paulo Freire yang meyakii bahwa: berpikir, berkata, berbuat itulah praksis. Proses pemeblajaran adalah praksis yang unsur-unsurnya dalah anak berpikir, berkata, dan berbuat. Praksis megintegrasikan ketiga unsur tersebut. Serta masih ada beberapa tokoh lain yang mendukung teori pembelajaran yang mengaktifkan siswa.[12]
Dengan demikian dalam proses pembelajaran siswa tidak berperan sebagai penerima pengetahuan yang dituangkan oleh guru, akan tetapi dalam proses menerima siswa melalui proses megolah, menganalisis, mendiskusikan, dan mengatakannya kembali.
Untuk menjalankan proses pembelajaran yang bermakna sebagaimana diungkapkan para ahli tersebut, maka dibutuhkan guru yang mau belajar bersama-sama peserta didiknya. Dibutuhkan para guru yang siap berubah menjadi fasilitator, motivator dan inspirator, bukan guru orator, apalagi yang otoriter dan dominan. Para guru hendakya mampu menempatkan dirinya setara dengan para siswanya, yang membedakannya hanya fungsinya.[13]
Hal di atas sejalan dengan pendapat para tokoh pendidikan yang memiliki pandangan mengenai guru yang ideal membawa perubahan.
1.      Ralp Waldo Emerson mengatakan bahwa:
“Rahasia dalam pendidikan terletak pada sikap guru dalam menghargai murid”. Ini bermakna bahwa relasi seimbang antara guru dan murid harus dibangun, bukan relasi vertikal yang menganggap murid sebagai objek yang tidak setara.
2.      Adapun Wiliam  A. Ward berpendapat bahwa:
“Pengajar biasa memberitahu. Pengajar yang baik menjelaskan. Pengajar yang lebih baik mendemonstrasikan. Namun, pengajar terbaik adalah memberikan inspirasi.”
3.      Wallace Stegne menyampaikan bahwa:
“Seorang pengajar harus memperluas sudut pandang dari apa yang menjadi subyek (mata pelajaran) yang mereka ajarkan”.
4.      Mochtar Buchori, berpendapat:
“Para guru jangan haya berpikir sebatas ruang kelas (mikro) degan menyampaikan guna menyelesaikan kurikulum, tetapi hendaknya berpikir makro, di mana materi pembelajarannya menembus batas-batas ruang kelas. Para siswa hendaknya diajar tentang realitas di masyarakatnya, sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan mampu menjawab persoalan di masyarakat.”
Untuk dapat merealisasikan pembelajaran yang diidamkan tokoh-tokoh tersebut, maka budaya ilmiah seperti menggali pengetahuan, mau berdiskusi, bersedia menuliskan, dan membangun dialog sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Budaya-budaya ilmiah yang sudah sewajarnya ditanamkan dan dibiasakan diantaranya keterampilan praksis “mengamati, menghitung, mengukur, menimbang, mengklasifikasikan, mencari hubungan ruang/waktu, membuat hipotesis, bereksperimen, mengendalikan variabel, menginterpretasi, mnyimpulkan, meramalkan, menerapkan, serta mengkomunikasikan.

a.      Apakah guru yang berkualitas (guru master itu)?
Sejatinya menurut penulis buku ini, guru yang berkualitas tidak hanya memiliki profesionalisme dalam mengajar namun juga memiliki kepribadian yang utuh, kecerdasan soaial, dan kecerdasan intelegensi. Sebuah studi komprehensif yang dilakukan oleh Charter and Waples dalam upaya menemukan sebuah kualitas yang diperlukan oleh guru menghasilkan 25 ciri guru berkualitas sebagai berikut:
“Ke-25 ciri-ciri tersebut adalah Mudah meyesuaikan diri (beradaptasi); Penampilan yang menarik; Pengetahuan atau ketertarikan yang luas; Berhati-hati dan penuh pertimbangan; mampu bekerja sama; Kemampuan utuk menggantungkan diri;  Antusias; Mampu mempengaruhi; Penuh dorongan; Penilai yang baik dan bijak; Sehat; Jujur; Bekerja/Berkarya; Kepemimpinan; Magnetis; Rapi; Memiliki pikiran yang terbuka, Asli; Progresif; Tepat waktu; Kehalusan budi bahasa; Memperoleh beasiswa ketika studi; Kontrol diri; dan Hemat.”[14]

Pendekatan pembelajaran siswa aktif menghindarkan kita dari apa yang disebut Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank. Bank berjalan yang pada intinya menenmpatkan pengajar pada posisi aktif mendominasi sementara siswa berada pada posisi pasif-didominasi. Pendekatan pembelajaran membawa pengajar kepada peran yang lebih besar yakni sebagai mentor dan guru sejati. Berikut ini adalah perbedaan antara pengajar (teacher) dengan guru sejatui (master) menurut Andrias Harefa (2000).
Perbedaan antara Pengajar dan Guru
Pengajar (teacher)
Guru (master)
Pekerjaan atau okupasi yang dapat hilang

Profesi atau panggilan jiwa yang tidak mugkin hilang
Pilihan rasional
Pilihan moral-spiritual
Berusaha meningkatkan kesejahteraan hidupya lebih dahulu
Berusaha mengejar kepuasan batinnya lebih dahulu
Peran utama: mengajar
Peran utama: belajar-mengajar
Transfer ilmu pengetahuan da tekologi
Sosialisasi nilai-nilai luhur untuk hidup dan kehidupan
Fokus pada dirinya, keinginan dan kebutuhan
Fokus pada minat, bakat, dan talenta muridnya (altruis)
Memandang muridnya sebagai bawahan
Memandang muridnya sebagai mitra potensial
Kemampuan mengajar minimum sampai rata-rata.
Kemampuan mengajar rata-rata sampai luar biasa
Lulusan IKIP atau penggantinya
Pembelajar seumur hidup di uiversitas kehidupannya
Umumnya bergelar akademis/sarjan
Tak memandang gelar akademis sebagai hal terpenting.

 Lebih lanjut Andreas Harefa memandang bahwa seorang pengajar yang profesional pastilah seorang guru sejati. Menjadi guru sejati memerlukan pertimbangan yang meggunakan hati nurani yang supra-rasional dan bersifat moral-spiritual. Selain itu, guru sejati selalu mendapatkan respek dari siswa-siswanya. Sebab setiap manusia di dunia ini akan senag sekali jika mendapatkan respek dan penghargaan dari orang lain, begitu juga dengan guru sejati maka ia akan dengan senang hati memperhatikan serta memberikan penghargaan terhadap siswanya dengan berbagai upaya yang dilakukannya dalam proses pembelajaran. Dengan demikian maka siswa-siswanyapun akan respek dan merasa senang jika belajar darinya.
Lalu, bagaimana cara menjadi guru yang memperoleh respek dari siswa-siswinya? Retno Listyarti penulis buku ini menyajikan cuplikan tulisan berikut guna memahami caranya.

Belajar Makna Respek
dari Film Pendidikan Jepang Hotaru No Hoshi (2004)

Respek kepada guru di jepang merupakan bagian dari respek pada orangtua atau mereka yang dituakan (bos, senior dan lain sebagainya). Hal ini juga tercerminkan dalam bahasa dengan apa yang disebut respect language – mirip dengan kromo dalam bahasa Jawa. Tentu saja “respek” di sii tidak sama dengan rasa takut yang sering terjadi di negeri kita (dimana sebagian guru killer atau melakukan kekerasan terhadap muridnya). Respek adalah sesuatu yang resiprokal (timbal balik, dua arah); guru respek terhadap muridnya, sebaliknya murid respek terhadap gurunya. Saling respek ini otomatis menuntut dan membentuk karakter – bukan haya “citra saja” – dari sang GURU sebagai panutan (digugu dan ditiru).
Ada sebuah film Jepang Hotaru No Hoshi (2004) yang dengan eloknya menggambarkan hubungan guru dan murid. Film ini bercerita tentang seorang guru muda (1 st-year teacher) yang punya ide baru dalam megajar yang tidak sejalan dengan tradisi pendidikan jepang yang ketat dengan memelihara Hotaru (kunang-kunang) sebagai class project. Proyek kunang-kunang ini bukan saja mempersatukan kelas, menstimulus murid untuk berpikir, bertindak dan bekerja sama, tetapi juga menyelamatkan lingkungan setempat. Kisah dalam film ini menggambarkan peran guru yang luar biasa. Guru yang kreatif mengajak muridnya melakukan perubahan yang dan menginspirasi perubahan dalam hidupnya.


2.      Kisah Pembelajaran Karakter untuk Tingkat PAUD/SD
Dalam bab III buku karya Retno Listyarti ini dituliskan aplikasi pendidikan karakter dalam praktik kelas yang aktif, kreatif, kritis, dan berkarakter. Ia menuliskan materi pembelajaran nilai-nilai karakter tersebut dalam bentuk kisah-kisah, dongeng atau cerita inspiratif dan menarik. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Cerita-cerita, dongeng tersebut disertai dengan contoh cara pengaplikasiannya dalam situasi pembelajaran di kelas. Materi cerita-cerita ataupun dongeng-dongeng inspiratif yang ditulisnya ada 23 tema atau judul. Dari 23 tema tersebut ada yang dapat di terapkan dalam pembelajaran tingkat PAUD, SD/MI, SMP, SMA da yang sederajat.
Sebab saya selaku peresume buku Bu Retno Listyarti ini seorang calon guru SD/MI, maka saya hanya menuliskan cerita-cerita yang sesuai untuk digunakan di tingkat SD/MI.
Adapun dalam resume ini, cerita-cerita yang di tulis Bu Retno Listyarti saya ambil secara acak, disertai dengan keterangan mata pelajaran yang sesuai untuk mengaplikasikan cerita bernilai karakter ini. Saya berharap semoga resume saya ini bermanfaat bagi semua para pembacanya, khususnya para guru sebagai tenaga pendidik generasi mendatang yang berkarakter.

1.      TEMA                  : “Kisah Uang Kertas”
Nilai Karakter    : Peduli Sosial, Percaya Diri dan Komunikatif.
Pelajaran             : PKN, IPS, Bahasa Indonesia, PAI SD/MI

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah pembelajaran “anti korupsi” di kelas, penulis buku ini mendapatkan pengalaman yang berharga. Salah seorang siswa yang beliau ajar ada yang memilih jadi uang recehan. Alasannya, dia tidak mau jadi uang kertas Rp. 100.000,00 karena merasa “najis disentuh koruptor”. Dan meyakii bahwa uang kertas dapat dipastikan ada di dalam dompet para koruptor. Dia memilih jadi uang receh agar sering disentuh orang miskin, masuk kotak amal di masjid-masjid, dan berfungsi ganda karena selain untuk alat tukar juga dapat dijadikan alat kerokan bagi orang-orang miskin yang tak sanggup membayar dokter, apalagi beli obat yang harganya terus naik dan tak terjangkau si miskin. Gagasan anak didik beliau itu ternyata  dapat dijadikan teks bacaan bagai banyak pelajaran dalam konteks pendidikan karakter, baik bagi untuk bidang studi IPS, Bahasa Indonesia, PKN, ekonomi, pendidikan agama maupun sosiologi. Berikut ini adalah teks cerita percakapan antara uang Rp. 1.000, 00 dan Rp. 100.000,00.[15]

“Kisah Uang Kertas”
Uang Rp. 1000 dan Rp. 100 ribu sama-sama terbuat dari kertas, dicetak dan diedarkan oleh dan dari Bank Indonesia. Pada saat bersamaan mereka keluar dan berpisah dari Bank dan beredar di masyarakat. Empat bulan kemudian mereka bertemu lagi di dalam dompet seorang pemuda.
Kemudian di antara kedua uang tersebut terjadilah percakapan. Uang Rp. 100 ribu bertanya kepada uang Rp. 1000. “Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor dan bau amis?”. Dijawablah oleh uang Rp 1000, “Karena begitu aku keluar dari Bank langsung berada ditangan orang-orang kecil, dari tukang becak, sayur, penjual ikan, dan di tangan pengemis.” Lalu Rp 1000 bertanya balik kepada Rp 100 ribu, “Kenapa kamu kelihatan begitu baru, rapi dan masih bersih?” Uang Rp 100 ribu pun menjawab, “Karena begitu aku keluar dari Bank, langsung disambut perempuan cantik atau laki-laki tampan dan beredarnya pun di restoran mahal, mal dan hotel berbintang, serta keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet.”
Lalu Rp 1000 bertanya lagi, “Pernahkah engkau mampir di rumah ibadah?” Rp 100 ribu menjawab, “Belum pernah”. Rp 1000 pun berkata lagi “Ketahuilah kawan. Sekalipun keadaanku seperti ini adanya, setiap jumat aku selalu mampir di masjid-masjid, dan di tangan anak-anak yatim, bahkan aku selalu bersyukur kepada Tuhan. Aku dipandang manusia bukan hanya sekedar nilai tapi karena manfaat....” Akhirnya menangislah uang Rp 100 ribu, karena merasa besar, hebat, tinggi, tetapi tidak begitu bermanfaat selama ini.

Setelah cerita Uang kertas Rp 1000 dan Rp 100 ribu tersebut dikisahkan, maka guru dapat mengemukakan sejumlah pertanyaan kepada siswa SD saat pembelajaran di kelas, sebagai berikut[16]:
1.      Siapakah tokoh Utama dalam “Kisah Uang Kertas” tersebut?
2.      Apa makna cerita tentang “Kisah Uang Kertas” di atas?
3.      Mana yang dinilai mereka lebih besar, uang Rp 1000 atau Rp 100 ribu?
4.      Mengapa uang kertas Rp 1000 kotor, bau amis dan kusut?
5.      Mengapa uang kertas Rp 100 ribu tampak bersih, wangi dan rapi?
6.      Mengapa uang kertas Rp 100 ribu bersedih hati dengan keberadaannya?
7.      Mengapa uang kertas RP 1000 sangat bersenang hati dengan keberadaannya?
8.      Jika diminta memilih kalian iangin menjadi uang Rp 1000 atau uang Rp 100 ribu? Mengapa?
Adapun untuk guru PAUD setelah menceritakan dongeng tersebut dapat mengemukakan sejumlah pertanyaan kepada siswanya saat pembelajaran di kelas, sebagai berikut:
1.      Siapa tokoh utama dalam cerita tersebut?
2.      Sebutkan benda apa saja yang terdapat dalam cerita tersebut?
3.      Ada berapa jumlah benda dalam cerita tersebut?
4.     Guru dapat meyimpulkan dan menyampaikan hikmah kebaikan dalam dongeng tersebut, sebagai prinsip menanamkan nilai karakter peduli sosial, percaya diri dan komunikatif.
5.      Mengapa uang kertas Rp 100 ribu bersedih hati dengan keberadaannya?
6.      Mengapa uang kertas RP 1000 sangat bersenang hati dengan keberadaannya?
7.      Jika diminta memilih kalian iangin menjadi uang Rp 1000 atau uang Rp 100 ribu? Mengapa?



2.      TEMA                  : “Dongeng Rakyat (Anti) Korupsi”
Nilai Karakter    : Relegius, jujur, anti korupsi
Mata Pelajaran   : PKN, Bahasa Indonesia, IPS, PAI

Pengantar
Ada tiga dongeng rakyat bermuatan “korupsi” yang akan ditampilkan secara berurutan di dalam pembelajaran siswa. Dongeng-dongeng tersebut dijadikan bahan ajar untuk pendidikan anti korupsi atas seizin penulisnya, yaitu Rahmat Petuguran. Rahmat, alumnus Universitas Negeri Semarang itu menggali dongeng-dongeng rakyat yang menjadi legenda di Jawa Tengah utuk dijadikan tema skripsinya, di mana Rahmat menuliskan kembali dongeng tersebut dan kemudian dijadikan bahan ajar dalam pendidikan atikorupsi di sekolah. Saat penulis buku ini yakni Retno Listyarti memohon izin menggunakan dongeng ini untuk bukunya, Rahmat Petuguran langsung mengizinkannya. Retno kemudian memikirkan bagaimana cara menggunakannya dan mengajukan pertanyaan apa saja untuk memancing diskusi kelompok. Hasilnya dapat disimak dalam tulisan berikut ini.[17]

KONSEP “APA ITU KORUPSI?”
Pengertian Korupsi secara Harfiah
Asal kata dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Dari bahasa latin turun ke bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrup; Prancis corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda itulah turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harfiah korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap dan tidak bermoral.
Pengertian Menurut Kamus
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Purwadarminta, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelap uang, penerimaan uang sogok, dan lain sebagainya.

 
Pengertian Korupsi Menurut UU
Perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk memperkayadiri atau korporasi sehingga mengakibatkan kerugian pada keuangan negara adalah korupsi. Diatur dalam pasal 2 UU Nomor tahun 1999 Jo. UU Nomor 22 tahun 2001.[18]

DONGENG RAKYAT 1
“Dendam Jaka Linglung”
Masyarakat Grobogan sudah tidak asing lagi dengan Bledug Kuwu. Ini adalah nama sebuah letusan kawah dari dalam bumi yang terjadi terus-menerus. Menurut cerita, Bledug Kuwu adalah semburan napas Jaka Linglung. Jaka Linglung adalah putera mahkota Prabu Aji Saka yang berwujud naga. Namun Aji Saka tidak mengakui dia sebagai anak. Prabu Aji Saka baru akan mengakui Jaka Linglung sebagai anak jika ia bisa mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Raja berwujud buaya putih yang menguasai laut selatan. Ukurannya beragam, dari yang seukuran sumur sampai yang sebesar rumah penduduk.
Cerita dimulai ketika seorang pangeran dari negeri seberang bernama Aji Saka datang ke pulau Jawa. Dia mendarat di Ujung Kulon lalu melanjutkan perjalanan darat hingga sampai di kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang senang makan manusia. Tentu saja rakyat dibuat resah. Sebab, setiap hari mereka harus menyediakan satu orang untuk dijadikan santapan sang raja. Ketika datang di Medang Kamulan pertama kali, Aji Saka mampir di rumah Janda Sengkeran. Janda inipun bercerita tentang kondisi kerajaan yang mencekam karena dipimpin oleh raja raksasa yang senang makan manusia.
“Setiap hari kami harus menyediakan satu orang untuk disantap Prabu Dewata Cengkar,” kata Janda Sengkeran. Aji Saka merasa prihatin. Sebagai seorang keesatria ia tergerak untuk membantu rakyat yag sedang tertindas. Maka, ia mencari akal agar segera bisa bertemu dengan Prabu Dewata Cengkar. “Biarkan saya yang dimakan Prabu Dewata Cengkar, Nyai,” pintanya. “Jangan anak muda, ini sangat berbahaya. Prabu Dewata Cengkar benar-benar akan memakanmu,” Janda Sengkaran melarang. “Tidak apa-apa, Nyai. Biarkan aku menemui dia,” pinta Aji Saka lagi. Karena Aji Saka terus memaksa Janda Sengkeran tidak bisa berbuat apa-apa. Dia akhirnya mengantar Aji Saka kehadapan Prabu Dewata Cengkar.
Namun, pertemuan itu ternyata hanya strategi Aji Saka. Ketika hendak dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar ia menyampaikan sebuah syarat. “Prabu bisa memakan aku, tetapi jika Prabu bisa memenuhi permintaanku,” katanya. Prabu Dewata Cengkar tak menolak. “Apa permintaan kamu?” tanya Prabu Dewata Cengkar. “Berikanlah aku tanah seluas ikat kepala yang aku pakai,” jawab Aji Saka. Prabu dewata Cengkar tak berpikir panjang. Ia pikir tanah selebar ikat kepala tidak ada artinya dibanding kerajaannya yang luas. “Baiklah, permintaanmu akan aku penuhi,” jawabnya dengan hati girang. Maka prajurit Prabu Dewata Cengkar melepas ikat kepala Aji Saka. Namun di luar dugaan, ketika ikat kepala itu direntangkan ternyata sangat luas. Demikian luas ikat kepala itu sehingga cukup untuk menutupi seluruh wilayah kerajaan Medang Kamulan.
Akhirnya seluruh tanah itu menjadi milik Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar pun diusir hingga terdesak ke dekat laut. Namun, di sana pun ikat kepala Aji Saka masih bisa direntangkan sehigga Prabu Dewata Cengkar terlempar ke laut. Raja raksasa itu berubah menjadi buaya putih yang mendiami laut selatan. Konon, setelah berubah menjadi buaya putih Dewata Cengkar mendirikan sebuah kerajaan di sana. Setelah kepergian Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka diangkat menjadi raja. Dia memerintah dengan adil sehingga rakyatnya sejahtera.
Meski demikian, ia merasa hidupnya belum lengkap tanpa permaisuri. Lagipula ia menginginkan anak yang kelak akan menggantikannya. Keinginan Prabu Aji Saka cepat menjadi pemberitaan. Seluruh rakyat membicarakan hal itu di mana-mana. Bahkan, kabar bahwa sang raja sedang mencari permaisuri terdengar pula sampai negeri seberang. Sampai suatu hari ada seorang puteri dari kerajaan seberang mengajukan diri. Awalnya Prabu Aji Saka ragu untuk menerima puteri ini. Sebab, mereka belum kenal sama sekali.
Namun, mengingat pernikahannya bisa menjalin hubungan dengan kerajaan tetangga, Prabu Aji Saka akhirnya menikahinya. Pesta diadakan dalam beberapa malam. Rakyat diundang untuk menikmati berbagai makanan dan minuman di istana. Meski cantik, permaisuri ternyata punya sejumlah watak tidak terpuji.  Dia senang berdandan berlebihan. Koleksi pakaiannya menumpuk di kamar. Tapi itu masih belum juga cukup. Untuk membiayai kesukaannya itu, ia sering mengambil kas kerajaan. Namun, uang yang ia miliki tidak cukup. Untuk membiayai kesukaannya itu, ia sering mengambil kas kerajaan tanpa sepengetahuan raja.
Demikian kebiasaan buruk permaisuri terus berlangsung, termasuk saat ia hamil. Akibat perbuatannya, terjadilah sebuah peristiwa yang sangat mengagetkan. Saat permaisuri melahirkan yang keluar adalah naga. Seluruh warga kerajaan menjadi heran, termasuk Prabu Aji Saka sendiri. Ia sangat malu dan tidak habis mengerti, mengapa Dewata memberinya kutukan seperti itu. Padahal ia sudah berusaha memimpin kerajaan sebaik mungkin, memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya. Melihat anak yang dilahirkannya adalah seekor naga, sang permaisuri sangat menyesal. Ia menangis lantaran merasa bersalah.
Kemudian, sambil tersedu-sedu ia mengakui bahwa selama ini sering mengambil kas kerajaan untuk membeli berbagai kebutuhan pribadi. Sebagai seorag permaisuri ia memang bisa keluar masuk tempat penyimpanan harta kerajaan. Merasa marah sekaligus malu, Prabu Aji Saka tidak mau mengakui bayi naga yang kemudian diberi nama Jaka Linglung itu, sebagai anaknya. Ia kemudian mengusir bayi naga yang baru lahir itu keluar kerajaan.
Dengan perasaan sedih, Jaka Linglung pun akhirnya pergi meninggalkan kerajaan. Ia mengembara ke berbagai tempat di Jawa. Dalam pengembaraan itulah ia mulai belajar berbagai ilmu. Ia merasa sangat terhina karena tidak diakui Prabu Aji Saka sebagai anaknya. Suatu saat ia ingin kembali ke kerajaan untuk memberontak dan meminta hak-haknya sebagai putra raja. Maka, ketika Jaka Linglung beranjak dewasa dan semakin sakti, ia memutuskan menuju kerajaan. Ia ingin menegaskan bahwa ia adalah putera Aji Saka. Jika Prabu Aji Saka tetap tidak mengakui ia sebagai puteranya maka ia akan memberontak. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Jaka Linglung merasa siap jika harus berhadapan dengan ribuan prajurit kerajaan.
Namun, suasana sudah berubah ketika Jaka Linglung sampai di kerajaan. Beberapa waktu terakhir  ini kerajaan dalam kondisi tidak aman. Kerajaan sering diteror oleh Dewata Cengkar. Bahkan raja yang selama ini hidup sebagai buaya putih di laut selatan itu berencana akan membalas dendam. Sementara itu, prabu Aji Saka telah mulai tua. Kesaktiannya jauh berkurag dibanding  ketiak ia masih muda. Selain itu juga ia sedang dirundung sedih karena sepeninggal Jaka Linglung ia tak pernah dikaruniai anak lagi. Ia khawatir jika suatu saat ia meninggal tidak ada yang menggantikannya.
“Jaka Linglung, kau tidak perlu memberontak. Kerajaan ini sudah tidak seperti dulu. Pasukan raja Dewata Cengkar berulang kali membuat kerusuhan. Mereka bahkan akan menyerbu kerajaan ini. Jika kamu memang benar-benar anakku, mestinya kau memiliki kesaktian untuk mengalahkan Dewata Cengkar. Kalahkan Dewata Cengkar, buktikan bahwa kau benar-benar anakku, maka kau akan aku akui,” kata Prabu Aji Saka.
Mendapat tantangan itu, Jaka Linglung lantas bergegas menuju pantai selatan. Sampai disana ia bertemu dengan Ratu Laut Kidul yang sedang resah. Pasalnya, beberapa waktu terakhir kerajaannya juga sering diganggu prajurit Dewata Cengkar. Menndengar kabar bahwa Jaka Linglung akan membunuh Dewata Cengkar, Ratu Laut Kidul sangat bahagia. Kalau benar-benar Jaka Linglung berhasil, kerajaannya akan bebas dari gangguan. Ratu Laut Kidul bahkan berjanji, jika Jaka Linglung berhasil, akan ku nikahkan engkau dengan anakku, Retno Blorong,” kata Ratu Laut Kidul.
Mendapat janji itu, Jaka Linglung menjadi semakin semangat. Ia pun segera mendatangi Dewata Cengkar untuk berduel. Keduanya sama-sama sakti. Pertarungan berlangsung hingga beberapa hari. Namun karena Jaka Linglung telah belajar banyak saat mengembara, akhirnya ia bisa mengalahkan Dewata Cengkar. Jaka Linglung sangat senang. Seperti yang dijanjikan Ratu Laut Kidul, ia pun dinikahkan dengan Retno Blorong. Jaka Linglung kemudian diangkat menjadi Raja Laut Kidul. Namun, ia di sana tak lama. Ia teringat degan ayahnya, Prabu Aji Saka, di Medang Kamulan. Berangkatlah ia dengan Retno Blorong, istriya ke sana. Jaka Linglung mengarah ke barat, melewati  samudera. Namun karena merasa perjalanan lewat laut terlalu lama ia membelokkan arah untuk lewat dalam tanah. Di Kuwu ia beristirahat cukup lama. Saat Jaka Linglung beristirahat dalam tanah inilah napasnya ternyata menjembul ke permukaan menjadi kawah. Warga di sana menyebutnya degan Bledug Kuwu. Sampai sekarang bekas napas Jaka Linglung masih ditemukan di daerah Grobogan. (Rahmat Petuguran)

Panduan Pertanyaan
Adapun pertanyaan yang dapat diajukan guru kepada siswa diantaranya[19]:
1.      Sebutkan 4 tokoh utama dalam cerita “Jaka Linglung”
2.      Apa yang dilakukan oleh Permaisuri Prabu Aji Saka?
3.      Apa akibat dari perbuatan sang permaisuri Prabu Aji Saka tersebut?
4.      Apa yang terjadi dengan bayi Jaka Linglung?
5.      Apa yang dilakukan Jaka Linglung dalam mengalahkan Pasukan Raja Dewata Cengkar?
6.      Apa makna cerita Jaka Linglung jika dikaitkan dengan kejujuran?

DONGENG RAKYAT 2
“Asal Mula Lemah Gempal”

BANJIR di Semarang telah terjadi sejak lama. Sejak zaman penjajahan Belanda, kawasan pesisir utara Jawa ini sudah jadi langganan banjir. Hal itu tidak mengherankan sebab Semarang adalah dataran rendah dan dekat dengan laut. Keadaan seperti itu sangat meresahkan masyarakat. Jika terjadi banjir, tidak sedikit harta penduduk hanyut dibawa air. Bahkan sering pula menyebabkan korban jiwa. Selain membuat warga gelisah, banjir juga membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir. Pasalnya, setiap banjir gedung-gedung pemerintah ikut tergenang. Akibatnya, surat-surat penting basah atau hilang terbawa air. Lingkungan pun menjadi tampak kumuh dan tidak sehat .
Selain itu, banjir membuat stasiun Poncol dan Tawang tidak beroperasi dengan normal. Akibatnya, kereta api dari luar kota terlambat. Menghadapi kondisi itu, pemerintah Hindia Belanda segera mencari akal. Asisten residen Semarang saat itu, GI Blume mengumpulkan para insinyur untuk dimintai saran. Mereka yang datang antara lain ahli sungai, ahli tata kota, dan ahli sanitasi.
Setelah diskusi selama berhari-hari, para insinyur menyarankan supaya pemeritah membangun kanal. Kanal adalah parit besar yang berfungsi sebagai sungai. Kanal digunakan untuk mengurangi debit air pada sebuah sungai sehingga potensi banjir dapat dikurangi. Seperti proyek lain pada umumnya, pembangunan banjir kanal dimulai dengan membuat pemetaan. Van Bomel, seorang insinyur kelahiran Belanda yang telah tujuh tahun mempelajari Semarang, diminta membuat rancangan jalur yang akan dilewati banjir kanal. Ia menyarankan banjir kanal dibuat ditarik garis lurus dari hulu hingga ke bibir pantai. Dengan begitu, air akan lebih mudah mengalir.
Ketika Bomel segera memulai pembangunan, dia didatangi pria Belanda lain bernama Lacht atau yang biasa dipanggil dengan tuan Lacht. Tuan Lacht seorang pengusaha yang sukses. Sejak zaman VOC dia salah satu pedagang sukses. Selain membeli hasil bumi di Jawa lalu menjualnya ke Belanda, ia juga membeli sejumlah perkebunan di Semarang. “Tuan Lacht, benar-benar sebuah kehormatan Tuan datang ke tempat saya,” kata Van Bomel saat menyambut tamunya itu di rumah. Van Bomel tinggal di kawasan Candi, sebuah daerah di kawasan atas yang sejuk. “Aku dengar kau dapat perintah dari Tuan Residen untuk membangun kanal,” tanya Tuan Lacht. “Benar sekali Tuan Lacht. Kota ini semakin tidak nyaman karena banjir,” katanya.
Well. Bagus sekali. Aku harap kanal buatanmu bagus buat mengurangi banjir. Sudah bertahun-tahun aku tinggal di sini, banjir memang sangat mengganggu,” balas Tuan Lact lagi. Perbincangan dua orang Belanda tadi berlangsung lama. Sambil menikmati minuman hangat, mereka bicara di beranda rumah. Kebetulan cuaca Semarang cerah siang itu. Pemandangan terlihat sangat bagus. Jelang sore Tuan Lact berpamitan. Namun ada sesuatu yang membuat Bomel merasa canggung. Tiba-tiba saja Tuan Lacht mengeluarkan amplop berisi uang dari dalam jasnya. “Dua bulan lalu aku untung besar, kamu tahu ‘kan harga lada sekarang sedang bagus. Aku ingin berbagi keuntungan ini dengan kamu,” katanya, menyodorkan amplop. Bomel kaget. Ia merasa aneh dengan tawaran Tuan Lacht. Pasalnya, ia sama sekali tidak membantu apa-apa atas kesuksesan Truan Lacht. Meski sama-sama tinggal di Semarang, merekapun sebenarnya sama-sama jarang bertemu. “Tidak perlu begitu Tuan Lacht. Aku Tidak bisa terima pemberian ini,” tukas Bomel. Namun Tuan Lacht sedikit memaksa. Ia memasukkan amplop yang dipegangnya ke dalam saku celana Bomel. “Kau terima saja, ini cuma hadiah. Anggap saja tanda persahabatan,” kata Tuan Lacht sambil memasukkan amplop ke saku Bomel. Bomel tak bisa menolak lgi.
Setelah pertemuan itu mereka tidak bertemu lagi. Tuan Lacht kembali sibuk mengurusi bisnis dan perkebunannya, sedangkan Bomel mulai sibuk dengan proyek banjir kanalnya. Akhirnya Bomel menggunakan pemberian Tuan Lacht untuk membeli sebuah vila baru di Semarang Atas. Di Semarang ada dua buah kanal. Di sebelah timur disebut banjir kanal timur, sedangkan disebelah barat disebut banjir kanal barat. Bomel memilih mengerjakan kanal banjir barat lebih dulu karena dianggap lebih penting.
Awalnya Bomel berencana menarik garis lurus dari hulu hingga ke laut. Namun, ketika ia meninjau lapangan, garis lurus itu menabrak sebuah kebun. Seorang penjaga kebun memberi tahu bahwa kebun itu milik Tuna Lacht. Tiba-tiba saja Bomel merasa tak enak hati. Jika banjir kanal tetap dibuat lurus akan membut sebagian kebun rusak. Tentu saja akan menimbulkan kerugian bagi pemiliknya.
Merasa tak enak hati dengan Tuan Lacht. Bomel kemudian merancang ulang kanal yang akan dibangunnya dengan sedikit membelokkan rancangannya. Menurut prediksinya, pembelokan tidak akan berpengaruh terhadap hasil. Namun prediksi Bomel keiru. Muncul masalah ketika para pekerja mulai membangun tanggul pada sebuah titik di Kaligarang. Pekerja dibuat bingung karena di situ tanggul sulit sekali dibuat. Tanah tanggul berkali-kali longsor. Begitu para pekerja kembali memperbaiki, tanah kembali longsor. Begitu seterusnya hingga berkali-kali.
Merasa pekerjaannya sia-sia, seorang pekerja melapor kepada Bomel untuk minta saran. Maka dicarilah berbagai teknik supaya tanggul bisa dibangun kembali. Namun, setiap kali tanggul dibangun dengan teknik yang dianggap paling bagus, tanggul kembali longsor. Kejadian itu berlangsung beberapa kali.
Siang mulai terik pada saat itu. Matahari mulai meninggi. Bomel dan para pekerja merasa kepayahan berkumpul di bawah pohon tak jauh dari lokasi, tak tahu harus berbuat apa. Dalam diam, seorang pekerja mengusulkan supaya minta bantuan orang pintar. Dia yakin, apa yang terjadi dengan tanggul itu diluar akal. “Pak, bagaimana kalau kita minta bantuan orang pintar? Di daerah sini banyak Kyai,” usul pekerja itu, dengan wajah berpeluh keringat. Mendengar usulan itu, sang insinyur menolak. Ia menilai, minta bantuan Kyai bukanlah solusi yang bagus. Dalam benaknya, Kyai tak mungkin tahu soal konstruksi. Namun para pekerja yang hampir putus asa itu terus mendesak. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” Semua cara sudah kita coba. Kalau proyek ini tidak segera selesai, nanti akan datang musim hujan. Kita akan semakin sulit mngerjakannya,” lanjut pekerja itu. Pekerja lain tampak setuju. “Iya, benar Pak. Kalau terus meerus seperti ini, pekerjaan kita akan sia-sia,” timpal pekerja lainnya.
Menerima saran dari para pekerjanya, Bomel mulai berpikir keras. Ia memandang beberapa saat tanggul yang berkali-kali longsor. Setelah itu ia memandang wajah para pekerja-pekerjanya. Wajah pekerja-pekerja itu membuat Bomel prihatin, sebab pekerjaan selama berhari-hari berakhir sia-sia. Ia pun memutuskan, “Ya, kalau memang itu yang menurut saudara-saudara paling baik, silahkan lakukan.Tapi ingat, kalau gagal saudara-saudara harus berani menanggung resikonya.” “Maksudnya?” Tanya salah seorang pekerja setelah mendengar kata Bomel. Ia tampak tak mengerti. “Saudara-saudara harus berhenti bekerja,” kata pemimpin proyek. “Baik, kami akan bertanggung jawab,” jawab para pekerja secara serentak.
Perbincangan siang itu segera berakhir. Dua pekerja diutus untuk menemui seorang Kyai terkenal di Semarang. Sementara itu pekerja yang lain pulang ke rumah masing-masing sambil menunggu kabar. Dua pekerja yang diutus menemui Kyai baru sampai di kediaman pemuka agama itu pada sore hari. Matahari hampir tenggelam. Awan di ufuk barat merah keemasan. “Kami sedang dibuat susah, sudah berhari-hari membangun tanggul tapi selalu longsor. Menurut Kyai apa yang harus kami lakukan?” tanya salah seorang pekerja. “Ini pelajaran untuk kita. Teguhlah pada pendirian, pada niat baik, dan jangan mudah tergoda,” katanya. Dua pekerja itu tampak bingung. Mereka tak paham. “Setelah keluar dari rumah ini, kalian ambillah sebuah batu dari sebelah kanan rumah dan sebuah lagi sebelah kiri rumah ini. Tanamlah kedua batu tersebut pada salah satu bagian tanggul yang sedang kalian kerjakan,” lanjut Kyai. “Dan tolong, sampaikan kepada atasanmu teguhlah dalam pendirian. Jangan mudah tergoda. Godaan akan datang silih berganti, dan hanya orang yang berteguh hati yang bisa mengatasi,” nasihat Kyai. Tanpa menanyakan maksud Kyai lebih lanjut, kedua pekerja itu bergegas pulang. Tidak lupa, mereka mengambil dua batu dari samping kanan dan kiri rumah.
Keesokan harinya para pekerja telah berkumpul di lokasi pembangunan tanggul. Mereka berencana menanam batu yang mereka bawa dari runah Kyai secara bersama-sama. Van Bomel sebagai perancang kanal pun datang utuk menyaksikan. Ia ingin tahu apakah saran Kyai akan berhasil. Saat itulah sebuah keajaiban terjadi. Ketika para pekerja selesai menanam batu, tanggul-tanggul yang longsor kembali menyatu. Tanah uruk yang semula lembek (gempal) berubah menjadi keras. Tanggul menjadi seperti saat dibangun. Para pekerja bingung bercampur takjub. Demikia pula Van Bomel. Ia seperti tidak percaya dengan hal yang baru dilihatnya. Karena penasaran dia mendekati dua pekerja yang kemarin menemui Kyai. “Apa yang kemarin Kyai lakukan sehingga sekarang bisa seperti ini?” tanya Bomel. “Beliau meminta kami membawa dua batu dari samping rumahnya. Kyai juga titip pesan supaya kita berpegang teguh dan tidak mudah tergoda. Menurutya godaan akan datang terus, namu hanya orang-orang yang berteguh hati yang bisa mengatasinya,” urai salah seorang pekerja. Mendengar ucapan dua pekerjanya itu, Bomel benar-benar kaget. I teringat, bencana longsornya tanggul mulanya terjadi karena ia membelokkan jalur kanal dari yang semestinya. Itu ia lakukan karena ia tidak enak hati dengan Tuan Lacht yang telah memberinya sejumlah uang.
Dari situlah dia paham maksud pesan pak Kyai. Uang yang diberikan Tuan Lacht, meskipun ia tidak pernah meminta, merutuhkan keteguhan hatinya. Akibatnya, ia justru memutuskan hal yang tidak semestinya. Sejak saat itu Bomel selalu menolak pemberian uag dan barang yang tidak jelas maksudya. Lebih-lebih jika bisa mengganggu keputusan-keputusannya sebagai insinyur dan pimpinan proyek. Untuk mengenang peristiwa itu Bomel megusulkan kepada para pekerja untuk memberi nama tempat tersebut Lemah Gempal. Lemah artinya tanah, gempal berarti mudah longsor. (Rahmat Petuguran)

Pertanyaan Pengantar Diskusi
1.      Apa iti cerita dari dongeng “Asal Mula Tanah Gempal”?
2.      Siapakah Tuan Lacht? Apa yang diberikan Tuan Lacht kepada Van Bomel?
3.      Apa tujuan Tuan Lacht memberikan hadiah uang pada Tuan Van Bomel?
4.      Apa yag kemudian terjadi pada pengerjaan tanggul-tanggul yang dilakukan oleh Van Bomel dan para pekerjanya?
5.       Apa makna dongeng “Asal Mula Tanah Gempal”? Nilai apa saja yag terjadi dalam dogeng tersebut?

DONGENG RAKYAT 3
“ Saribin dan Sunan Kuning”
DAHULU sekali di sebuah tempat di Kadipaten Semarang, hidup seorag petani dan peternak bernama Saribin. Selain bertani Mbah Saribin dikenal memiliki ilmu agama yang luwih (lebih dan mendalam). Dia  mendirikan pesantern yang memiliki puluhan santri. Kehidupan di pesatren pak Saribin sangat menyenangkan. Para pemuda dan pemudi datang mengaji. Mereka tinggal di sebuah pondok bambu beratap ijuk. Mereka mengaji sebelum dan sesudah subuh. Siang hari mereka menggembala kerbau milik sag Kyai. Jelang asar mereka baru ke pondok lagi untuk ngaji. Meski menempati tempat sederhana, pesantren Mbah Saribin terkenal sampai ke luar kota. Kabar adanya pesantren itu akhirnya didengar saudagar kaya dari Lasem, Lembang bernama Siek Sing Kang. Dia perempuan keturunan Cina yang sukses berjualan kain. Suatu ketika Siek Sing Kang datang ke pesantren dengan membawa sebutir permata. “Kyai aku sumbangkan permata ini untukmu. Semoga bisa kau guakan untuk membangun pesantren,” kata perempuan dermawan itu.
“Tidak perlu repot, kami terbiasa hidup sederhana”, jawab Mbah Saribin, sungkan. “Tidak apa-apa, hartaku masih cukup banyak. Tidak elok kalau semua aku nikmati sendiri.” “Baiklah, semoga amal baik Nyi Sanak di balas oleh Tuhan,” jawab Mbah Saribin lagi. Setelah Siek Sing Kang pulang, Mbah Saribin duduk termeung di padepokannya. Ia memandangi sebutir permata yang baru diterimanya. Ia berpikir kemana harus menjual beda berharga itu. Karena lebih banyak mengelola pesantren, Mbah Saribin jarang menemukan tempat penjualan permata. Akhirnya Mbah Saribin memutuskan untuk menyimpannya lebih dulu. Hari berlalu, minggu berganti dan bulan menjelang.
Anak laki-laki Mbah Saribin berencana menikah. Tetu saja sebagai keluarga mempelai laki-laki Mbah Saribin perlu bayak biaya. Selain untuk seserahan, biaya diperlukan untuk mas kawin. Ia memutuskan untuk menjual beberapa ekor kerbaunya. Toh, dia puya puluhan kerbau yang biasa digembalakan santrinya. Sayangnya menjual kerbau dalam jumlah banyak tidak mudah. Bahkan di pasar sekalipun umumya mereka hanya membeli satu atau dua ekor saja.
Saat itulah Mbah Saribin teringat pernah menyimpan permata pemberian Siek Sing Kang. Ia memutuskan menjual permata itu. Mbah Saribin berencana akan menggantinya dengan beberapa ekor kerbau, setelah pernikahan anaknya selesai.
Namun, kadang-kadang manusia tidak bisa mengelak dari lupa. Beberapa bulan setelah pernikahan anaknya selesai, Mbah Saribin tak mengganti permata yang dijualnya. Padahal permata itu disumbangkan untuk kemakmuran pesantren.
Suatu malam, hujan turun deras. Mbah Saribi dan para satri tidur amat nyenyak setelah mengaji hingga tengah malam. Saat mereka bangun, puluhan kerbau di kandang Mbah Saribin raib. “Kyai semua kerbau kita tidak ada. Kami tidak tahu kemana perginya!” kata seorang santri, sambil lari tergopoh-gopoh. Mbah Saribin pun segera menuju kandang. Ia menyaksikan kandagnya kosong. Puluhan kerbau yang dipeliharanya bertahun-tahun lenyap. Anehnya tidak ada jejak kemana kerbau itu berlari. “Maafkan kami, Kyai. Semalam kami tidur terlalu pulas,” kata santri itu lagi. “Bukan salah kamu, Le (tole: anak dalam bahasa Jawa). Nanti siang kita cari bersama-sama,” jawab Mbah Saribin.
Ketika siang mulai beranjak dan hari telah terang, Mbah Saribin pergi bersama santrinya. Mereka menyisir kebun-kebun di dekat pesantren. Namun, hingga hari kembali petang, kerbau-kerbau itu tidak ditemukan. Ketika bertanya kepada warga sekitar, tidak ada warga yang mengaku melihatnya. Pencarian kerbau pu berlagsug selama beberapa minggu. Para santri mulai kebigungan kemana harus mencari kerbau-kerbau itu. Tak mau menyerah, Mbah Saribin akhirnya mencari sendiri. Ia pergi ke sebuah hutan selama beberapa hari. Tidak terasa, perjalanan Mbah Saribin sampai di perbukitan kembar yang bernama Widoro Kandang dan Widoro Kayangan. Pepohonan di kedua perbukitan tersebut tumbuh subur sehingga udara terasa sejuk.
Saribin melepas lelah dengan duduk di bawah sebatang pohon. Ia pun tertidur karena kelelahan. Dalam tidurnya Saribin bermimpi di datangi oleh seorang laki-laki tua. Kakek itu berambut dan berjenggot putih. “Saribin, apa yang kamu cari sampai kamu pergi jauh-jauh kesini?” tanya lelaki tua tersebut. “Saya mencari kerbau saya yang hilang, Mbah. Sudah beberapa hari kami cari dan belum ketemu,” jawab Saribin. Mendengar jawaban Saribin ,laki-laki tua itu mendekat lalu berkata, “Mestinya kau tidak mencari sampai ke sini. Kerbau itu tidak pergi kemana-mana.” Saribin bingung. “Apa yang Mbah maksudkan?” tanyanya. “Ingatlah, peliharalah rezeki orang lain, maka Tuhan akan memelihara rezeki-rezekimu,” kata lelaki tua itu. Mbah Saribin terbangun. Ia mengusap wajahnya yang kelelahan. Sembari memandang jauh, ia coba menerka-nerka makna pesan lelaki tua yang dijumpainya dalam mimpi itu.
“Peliharalah rezeki orang lain, maka Tuhan akan memelihara rezekimu,” gumamnya, mengingat-ingat. Saat itulah ia teringat tentang permata pemberian Siek Sing Kang, perempuan kaya yang dulu dititipkan kepadaya untuk membangun pesantren. Namun Mbah Saribin justru menggunakannya untuk membiayai pernikahan anaknya. “Duh Gusti, ampuni kekhilafan hamba,” desahnya. Tak lama kemudian Mbah Saribin pulang. Ia menghabiskan seluruh uang yang disimpanya untuk membagun pesantren. Pondok bambu ia perkuat dengan kayu. Atap ijuk yang bocor ia tambal. Hlaman pesantren ia hias dengan aneka tanaman. Para santri bergotong royong membantu hingga pondok menjadi sangat indah dan nyaman. Para santri semakin giat belajar.
Merasa utangnya telah terbayar, Mbah Saribin merasa lebih tenang. Ia sadar kekayaan tidaklah memberika ketenangan hidup. Karena itu, ia berencana kembali ke bukit. Di sana ia ingi bertapa, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Ada apa, Le sampai kamu ke sini lagi? Kini mereka juga kembali bertemu dalam mimpi. “Saya sengaja ke sini untuk bertapa. Saya ingin lebih dekat kepada Tuhan,” jawabnya. Ya, kamu boleh bertapa. Tapi ada sesuatu yang ingin aku kembalikan pada kamu,” ujar si kakek. “Apa itu, Mbah?” “Lihatlah, ini kerbau-kerbaumu,” katanya sambil menunjuk ke suatu arah. Saribin terkejut dan terbangun. Dia hampir tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Seluruh kerbau miliknya ada depan matanya sekarang. Kerbau-kerbau itu terikat pada sebuah pohon yang mengeluarkan aroma harum. Maka, digiringlah kerbau-kerbau miliknya kembali pulag ke kandang.
Ia menyerahkan kerbau-kerbau itu kepada para santri. Niatnya untuk bertapa telah bulat. Ia memilih ke bukit lagi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. “Kalau kau memang ingin bertapa di sini, aku hanya ingin titip satu hal,” pesa lelaki tua itu. “Apa itu, Mbah?” tanya Saribin penasaran. “Tempat yang kau gunakan untuk bertapa ini dulu perah aku gunakan untuk berdiskusi bersama dua sunan yang terkenal di Pulau Jawa. Mereka adalah Kanjeng Sunan Kali atau Mangkurat Mas dan Kanjeng Sunan Ambarawa atau Syaik Maulana Maghribi Kendil Wesi,” katanya.
Saribin mendengarkannya dengan cermat. “Pesan saya, rawatlah tempat ini dengan baik-baik. Mudah-mudaha Allah akan memberi kemudahan kepada engkau dan anak keturunanmu.”
Begitu selesai kalimat itu, hilang pulalah sosok lelaki tua itu. “Mbah Saribin baru tahu, lelaki tua yang mengajaknya bicara adalah Sunan Kuning, salah seorang Sunan yang berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Sejak saat itu, Saribin semakin mantap bertapa. Ia merawat tempat tersebut dengan baik. Ia membuatkan pelidung berupa rumah kecil.
Ketika kabar bahwa petilasan sunan kuning ditemukan, banyak warga berkunjung. Mereka berziarah. Pada hari-hari tertentu khususnya pada malam Jum’at kliwon, banyak penduduk sekitar yang datang berziarah ke tempat itu. Saribin kemudian dikenal sebagai juru kunci petilasan tersebut. Sampai sekarang, petilasan itu masih ada. Tempat itu kini lebih dikenal dengan Sunan Kuning dan terletak di Wilayah Kecamatan Semarang Barat, Kelurahan Kali Banteng Kulon, kurang lebih satu setengah kilometer dari Bandara Ahmad Yani. (Rahmat Petuguran).
Pertayaan:
1.      Apa inti cerita dari dongeng Saribin dan Sunan Kuning?
2.      Siapakah Siek Sing Kang? Apa yang diberikannya kepada Saribin?
3.      Apa yang dilakukan Saribin dengan permata yang dititipkan oleh Siek Sing Kang kepadanya?
4.      Disebut apakah tindakan Saribin menggunakan permata titipan Siek Singkang untuk keperluan pribadinya?
5.      Apa yang kemudian terjadi pada kerbau-kerbau milik Saribin?
6.      Apa makna dongeng Saribin dan Sunan Kuning? Nilai apa saja yang terdapat di dalamnya?

3.      Tema                    : “Kisah Sirih Belanda dan Persahabatan”
Nilai Karakter    : Kerja keras dan jujur
Mata Pelajaran   : Bahasa Indonesia, PKN, PAI, BK

Pengantar
Kisah berikut ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pendidikan karakter “kerja keras” dan “jujur”. Membangu karakter kerja keras ada dalam berbagai mata pelajaran. Seperti BK (Bimbingan Konseling) yang bertujuan untuk menyemangati peserta didik agar tidak cepat putus asa dalam mewujudkan cita-citanya maupun menggapai mimpi-mimpinya. Kisah ini juga digunakan untuk bidang studi pendidikan agama, ketika membahas nasib dan takdir. Bahan ajar ini juga bisa digunakan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kompetensi membaca cerita pendek. Kisah ini penulis dapatkan melalui internet, diunduh dari blog lautan Indonesia kategori “kisah ispiratif” pada alamat http://diosdias.wordpress.com/ category/kisah-inspiratif/[20]
Adapun judul asli dari tulisan ini adalah Kisah Inspiratif: Sirih Belanda yang ditulis diosdias. Kisah ini sangat menyentuh, menggugah dan menginspirasi pembentukan karakter kerja keras dan nilai kejujuran. Ketika seseorang tetap teguh pada prinsip hidupnya untuki terus menjaga kejujuran, teranyata dia menemukan kenyataan harus tersingkir. Jujur itu sangat mahal dan sangat langka.
Ada beberapa teks dalam tulisan ini yang coba Retno Listyarti tambahkan untuk lebih memperkuat karakter tanpa mengubah cerita asli dan substansi pesan moralnya. Berikut kisah “Sirih Belanda dan Persahabatan” yang dapat dijadikan  bahan ajar karakter di ruang kelas.

“Kisah Sirih Belanda dan Persahabatan”
dalam Karakter Kerja Keras dan Jujur
Asti baru saja selesai merenovasi rumahnya dua bulan yang lalu. Dia memang sangat ingin memiliki taman di belakang rumahya untuk dia bisa duduk-duduk di pagi dan sore hari saat ia meikmati matahari dan kesegaran udara bebas. Asti memang menyukai alam dan pecinta tanaman. Dia menanam dan merawat berbagai tanaman. Kini, Asti baru bisa menikmati taman kecil di belakang rumahnya. Dauya yang menghijau degan semburat kunig di beberapa tempat sangat segar dipandang mata. Asti sugguh tak menyangka tumbuhan itu akan bertahan hidup.
Beberapa bulan lalu, tumbuhan itu tertimbun bahan baguan. Tidak sekedar satu atau dua buah batu bata, melainkan setumpuk beton bongkaran bagunan. Ya, Asti harus merenovasi rumahnya. Akibatnya, beberapa tanaman kesayangannya harus dikorbankan, termasuk sirih belanda yag kala itu baru saja ditanamnya. Dia merasa sayang sebenarnya walaupun sirih belanda bukanlah tanaman mahal. Asti bisa saja membelinya lagi. Namun, yang satu ini berbeda. Sirih belanda itu hadiah dari sobatnya sendiri.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Asti sudah melupakan kesedihannya kehilangan tanaman dari sahabatnya. Namun, di suatu pagi yang cerah Asti melihat keajaiban yang tak berai diharapkannya: sepucuk kecil sirih belanda mucul dari sela-sela bahan bangunan. Betapa terkejutnya ai. Sirih belanda itu ternyata tidak mati! berikutnya, pucuk-pucuk kecil yang lain bermuculan dari sisi bahan banguan itu. Sampai hari ini sirih belada itu malah memenuhi taman kecil di belakang rumahya. Sirih belanda memberi nuansa hijau yag segar denga semburat kunignya yang cantik di taman.
Asti menghela napas. Sangat dalam. Sirih belanda pemberian sahabatnya itu bertahan di bawah tekanan sisa bahan bangunan. Namun, persahabatannya tidak. Persahabatannya porak-poranda bak diterjang tsunami.
Asti teringat ketika masa suram itu datang menimpanya. Ia diberhentikan dengan semena-mena denga tuduhan bermacam-macam: koruptor, pencuri, penghasut, dan lain sebagainya. Semuanya itu karena ia tidak mau ikut-ikutan bermain kotor di katornya. Asti tetap teguh dengan prinsip jujur yang menjadi wataknya. Ganjarannya bagi orang jujur seperti asti ternyata justru pengucilan sampai dengan pemecatannya. Asti mengalami tekanan dan berbagai perlakukan tak adil namu dia tak diberi kesempatan membela diri, bahkan terus-menerus mendapatkan fitnah dan jebakan. Akhirnya Asti dipaksa mengudurkan diri dari tempat kerjanya tersebut.
Saat itu adalah saat yang sangat gelap buat Asti. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah ketika mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang dianggapnya sahabat ternyata tidak seperti yang diduganya. Sahabatnya itu ikut juga melemparkan batu kepadanya, ketika ia sedang jatuh terpuruk.
Asti merenung mengingat kembali saat-saat itu. Persahabatan itu ternyata palsu. Ketika harus memilih antara persahabatan degan jabatan, orang teryata lebih memilih jabatan. Shabatnya itu harus ikut-ikutan melempar batu kepadanya, bila masih sayang dengan jabatannya.
Kenyataan di depannya itu telak menampar kepercayaannya selama ini. Selama ini asti yakin, tidak mungki hal-hal duniawi mengalahkan nilai-nilai persaudaraan dan persahabatan. Ternyata, ia keliru. Bila di suruh memilih, orang ternyata lebih suka pada pilihan pragmatis.
Asti kecewa, sangat kecewa, bahka terpukul. Namun, dia tidak mau terus terpuruk, dengan segala upaya, usaha, dan kerja kerasnya, Asti menyusun kembali puing-puing mimpinya. Ia bangkit menghadapi pahit da kerasnya hidup ini dan memulai karier yag baru di tempat baru dan terus konsisten dengan prinsipya serta bekerja sagat keras. Kini dia sudah menikmati pekerjaan dan karier barunya.
Sekarang, bila sedang sedirian di taman belakang rumahya itu, mau tak mau Asti mengingat semuanya. Namun, rimbun sirih belanda di sana seolah membisikkan sesuatu yang lain. Ia tak boleh kehilangan semangat untuk berjuang.
Sirih belanda itu sekarang tidak lagi membuatnya menangisi sahabatnya. Sebaliknya, tumbuhan itu memberinya semangat baru. Semngat untuk terus melanjutkan hidup dan bertumbuh.
Jauh di lubuk hatinya, ia berterima kasih pada mantan sahabatnya. Sirih belanda pemberian sahabatnya itu telah memberinya setitik embun inspirasi kehidupan.

Langkah Pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1.      Guru menggandakan bahan ajar “Kisah Sirih Belada dan Persahabatan” sebanyak sisa dalam satu kelas.
2.      Kisah ini kemudian dibacakan satu persatu siswa per aleia secara bergatian menurut baris tempat duduk siswa. Dapat juga membetuk ligkaran, jika memungkinkan. Baca kisah ini dua kali sampai seluruh siswa kelas membaca per alenia.
3.      Setelah dibaca, guru memfasilitasi diskusi denga memancig pertanyaan-pertanyaan kunci kepada para siswa, seperti:
a.       Apa yang terjadi dengan asti dan sahabatnya?
b.      Apa karakter atau watak yang dimiliki Asti?
c.       Nilai karakter apa yang memiliki kaitan erat antara kisah hidup Asti dengan kisah hidup sirih Belanda yang tertimbun reruntuhan bangunan selama beberapa bulan?
d.      Apa yang kamu lakukan jika kamu menjadi Asti?
e.       Apa yang kamu lakukan jika kamu menjadi sahabat Asti?
4.      Guru dan siswa mearik kesimpulan dari kisah ini dengan penguatan pada karakter kerja keras dan jujur, di mana sisa diminta membuat cerita pendek tentang pengalaman hidupya atau pengalaman orang lain yang dia tahu, dengan cerita yag menyentuh dan menginspirasi orang lain.

4.      Judul/Tema          : “Matematika dalam Kisah Pisang dan Pengemis”
Nilai Karakter      : Karakter peduli sosial dan peduli sesama
Mata Pelajaran     : Matematika kelas 2, 3 SD/MI, PKN, Bahasa
                           Indonesia,  PAI (materi sadaqah, amal saleh)

Kisah ini dapat dipergunakan untuk pembelajaran matematika SD/MI. Intinya adalah pelajaran berhitung sederhana dalam konteks pembinaan karakter peduli sosial dan peduli sesama.[21]
Adapun isi kisah tersebut dapat dibaca dan dipahami guru sebelum dijadikan sebagai bahan pembelajaran di kelas. Kisah tersebut sebagai berikut:

“Matematika dalam Kisah Pisang dan Pengemis”
Ilo adalah anak laki-laki berusia 7 tahun. Ia memiliki kakak perempuan yang bernama Audi berusia 10 tahun. Di rumah Ilo tinggal bersama ayah, ibu, kakek, nenek, dan kakaknya.
Suatu pagi di hari minggu, ibu mengajak Ilo ikut berbelanja ke pasar tradisional dekat rumah. Ibu hendak membeli pisang untuk sekeluarga. Sampai di pasar, ibu dan Ilo menuju warung buah-buahan.
Ibu bertanya kepada Ilo, “Ilo, coba kamu pilih pisang satu sisir untuk seluruh anggota keluarga kita di rumah. Coba hitung berapa jumlahnya.”\
“Semuanya ada enam termasuk Ilo, Bu,” jawab Ilo.
“Kalau setiap anggota keluarga kita mendapat dua pisang, maka berapa jumlahnya,” tanya ibu.
“6 dikali 2 jadi 12 buah, Bu,” jawab Ilo setelah menghitung dengan bantuan jari tangan dan jari kakinya. “Kalau begitu, carilah jumlah pisang yang satu sisirnya berisi 12 buah,” kata ibu dengan lembut.
Ilo tampak kebingungan, pasalnya ia tidak menemukan satu sisir pisang yang berisi persis 12 buah. “Bu tidak ada yang isinya persis 12 buah,” kata Ilo sambil garuk-garuk kepala.
“Carilah yang paling mendekatai jumlah 12. Boleh lebih tetapi tidak boleh kurang dari 12,” saran ibu. Ilo pun mulai menghitung kembali dan menemukan satu sisir pisang berjumlah 15. “Ini, Bu, ada yang jumlahnya 15 buah!” seru Ilo.
Setelah tawar-menawar, Ibupun membayar harga pisang tersebut. Ibu dan Ilopun hendak pulang kembali ke rumah. Namun, begitu keluar pasar, Ilo kasihan melihat seorang ibu yang membawa anak kecil mengemis di pintu pasar.
“Bu, apakah aku boleh memberikan kelebihan jumlah pisang yang tadi kita beli kepada ibu dan anak pengemis itu?” pinta Ilo.
“Boleh, tapi jangan mengurangi jatah keluarga kita, ya,” jawab ibu.
“Terima kasih, Bu, tadi jumlah pisang 15 dan jumlah keluarga kita 12, berarti 15 dikurang 12 sama dengan 3,” jawab Ilo sambil menghitung.
Ilo kemudian mengambil 3 pisang dan dilepaskan dari tandannya lalu memberikan kepada pengemis di depan pintu gerbang pasar tersebut. “Terima kasih,” kata anak pengemis tersebut. Ilo pun tersenyum sambil mengangguk dan meninggalkan pasar dengan senyum kebahagiaan sambil menggandeng tangan ibundanya. Ibu pun tampak bangga pada Ilo yang memiliki kepedulian sosial terhadap sesama.
Setelah “Kisah Pisang dan Pengemis” tersebut dikisahkan, maka guru dapat mengemukakan sejumlah pertanyaan kepada siswa SD saat pembelajaran matematika di kelas, sebagai berikut[22]:
1.      Berapa jumlah seluruh anggota keluarga Ilo?
2.      Berapa tahun perbedaan usia antara Ilo dan kakaknya Audi?
3.      Berapa selisih antara jumlah pisang yang dibeli dengan jumlah anggota keluarga Ilo?
4.      Apa pendapatmu atas tindakan Ilo memberikan pisang pada pengemis di depan pasar?

5.      Tema/Judul        : “Kisah air Mendidih dalam Karakter Kerja Keras”
Nilai Karakter    : Kerja Keras
Mata Pelajaran   : BK, PAI, PKN

Kisah berikut ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pendidikan karakter “kerja keras”. Membangun karakter kerja kerasa ada dalam berbagai mata pelajaran, seperti BK (Bimbingan Konseling) yang bertujuan untuk menyemangati peserta didik agar tidak mudah putus asa dalam mewujudkan cita-citanya maupun menananggapi mimpi-mimpinya. Bahan ajar ini bisa juga digunakan untuk bidang studi pendidikan agama , ketika menghadapi nasib dan takdir.[23]
Kisah ini penulis dapatkan dari internet, yang diunduh dari lautan indonesia untuk kategori “kisah inspiratif” pada:
Penulis “Kisah Air Mendidih” adalah Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kisah ini sangat menggugah dan menginspirasi pembentukan karakter kerja keras. Ada beberapa teks yang coba saya tambahkan untuk lebih memperkuat karakter tanpa mengubah cerita asli dan substansi pesan moralnya. Berikut kisah yang dapat dijadikan bahan ajar karakter di kelas.

“Kisah Air Mendidih dalam Karakter Kerja Keras”
Pada suatu hari, seorang anak yang sudah dewasa mengeluh pada ayahya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang agar hidupnya lebih baik dari orangtuanya. Namun yang ia temui adalah kesulitan demi kesulitan. Sepertinya, setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Saat si anak berkeluh kesah dan hampir menangis meratapi hidupnya, sang ayah diam saja. Sang ayah medengarkan dengan sabar, menatap mata si anak dengan penuh perhatia, dan sesekali tampak megangguk-aggukkan kepala. Setelah anaknya selesai untuk menumpahkan kepediahannya, sang ayah mengelus-ngelus bahu si anak dan kemudian dengan suara dalam sang ayah mengajak anaknya ke dapur. “Ayo, ikut Ayah ke dapur, ayah ingin menunjukkan falsafah hidup padamu,” ujar sang Ayah. Sang ayah langsung berdiri dari kursinya dan sang anak mengikutinya dari belakang. Tampak kebingungan muncul di wajah sang anak.
Ayahnya, yang memang berprofesi sebagai seorang koki, membawanya ke dapur. Sang ayah kemudian mengisi tiga  panci dengan air dan menaruhnya di atas api. setlah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di panci pertama, telur dipanci kedua, dan kopi bubukdi panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.
Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah, dan apa maknanya bagi keluh kesahnya tadi. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu sang ayah bertanya kepada anaknya. “Apa yang kau lihat, Nak?” Si anak menjawab”Wortel, telur dan kopi”. Ayah mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Si anak melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya kemudian memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebutir telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya meminta anaknya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu si anak bertanya. “Apa arti semua ini ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah mengadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yag berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi mengubah air tersebut.
“Kamu termasuk yang mana, Nak?” tanya Ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu?”
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut dan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku.
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi mengubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada sushu 100 derajat celsius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik. (Dr. Christina Siwi Handayani)[24]



Langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1.      Guru menggandakan bahan ajar “kisah air mendidih” sebanyak siswa dalam satu kelas.
2.      Kisah ini kemudian dibacakan satu persatu per alenia secara bergantian menurit baris tempat duduk siswa. Dapat juga membentuk lingkaran, jika memungkinkan. Baca kisah ini sampai dua kali sampai seluruh kelas kebagian membaca per alenia.
3.      Setelah dibaca, guru memfasilitasi diskusi dengan memancing pertanyaan-pertanyaan kunci kepada siswa, seperti:
a.       Apa yang dikeluh kesahkan sang anak?
b.      Dapatkah kalian bayangkan persoalan hidup yang dihadapi sang anak sampai dia seperti putus asa? Contohkan persoalan tersebut seperti pikiran kalian!
c.       Apakah sang ayah menurutmu tidak menghadapi persoalan yang sama berat dengan anaknya? Ya/Tidak, berikan alasanmu!
d.      Apa makna dari masing-masing benda yang direbus oleh sang ayah?
e.       Pikirkan contoh kasus menghadapi jika menggunakan analogi wortel!
f.       Pikirkan contoh kasus menghadapi masalah jika menggunakan analogi telur!
g.      Pikirkan contoh kasus menghadapi jika menggunakan analogi kopi!
4.      Guru dan siswa menarik kesimpulan kisah ini dengan penguatan pada karakter kerja keras, dimana siswa diminta membuat slogan-slogan sendiri-sendiri, contoh:
a.       Mari Kerja Keras!
b.      Jangan Pernah Menyerah!
c.       Putus Asa No, Kerja Keras Yes.,
d.      Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan.
e.       Kita dapat mengubah Nasib.
f.       Bahkan, Kita Dapat Mengubah Takdir.


6.      Tema/Judul        : “Mengapa Pahala, Surga, Neraka, dan Mengapa
                               Tuhan Suka Marah-Marah?”
Nilai Karakter  : Kritis, Tanggung Jawab, Rasa Ingin Tahu.
Mata Pelajaran : Semua mata pelajaran

Pengantar
Dalam menulis kisah ini penulis buku awalnya terinspirasi dari seorang temannya, ia seorang guru di Batam yang mengajar di SMAN 5 Batam bernama Malda Joe. Seorang  guru Bahasa Inggris yang masih muda, energik dan berpikiran maju. Meski keduanya baru bertemu sekali saat di kota Batam, yakni ketika penulis buku ini diminta Penerbit Erlangga untuk menjadi narasumber Pendidikan karakter di Batam—namun pertemanan keduanya di jejaring sosial facebook sudah terjalin cukup lama.[25]
Suatu hari penulis buku ini tertarik dengan posting Malda Joe di FB Peduli Pendidikan Kota Batam. Malda menuliskan tentang kisahnya dengan seorag keponakan yang hafal doa mau makan tetapi tidak tahu artinya, bahkan tidak tahu alasan mengapa harus berdoa sebelum makan. Tulisan ini kemudian mendorong penulis untuk memastikan apakah siswanya di SMA selama ini hanya belajar menghafal tanpa tahu makna yang dipelajarinya. Hingga penulis buku ini pun memutuskan untuk menyalin tulisan Malda Joe sebagai bahan diskusi di kelas. Adapun tulisan Malda Joe yang ia salin dan di jadikan bahan ajar adalah sebagai berikut:

“Belajar Menghafal, Bukan Belajar Memahami”
Oleh: Malda Joe
Suatu hari ketika saya akan bersantap malam, saya bertanya kepada keponakan saya yang masih berusia 9 tahun, apakah dia hafal doa sebelum makan menurut tata cara islami?
Keponakan saya yang cantik itu menjawab hafal. Tentu saja dia bisa, sebagaimana sebagian besar anak-anak mukmin yang telah mengenayam pendidikan Islam dari para guru ngaji mereka.
Allahumma baariklanaa fiima razaqtanaa wa qinaa ‘adzabannaarr”, keponakan saya itu berdoa dengan pelan tapi lancar. “Adik tahu artinya apa?” tanya saya. Keponakan saya menggelengkan kepalanya. Saya menghela nafas panjang. Inilah untuk kesekian kalinya saya menjumpai bagaimana sejak kecil anak-anak kita hanya dididik untuk memperlakukan doa sebagaimana mantra-mantra yag harus dihafal (bahkan tidak boleh salah pengucapan sedikitpun, karena doanya tidak akan manjur!) tanpa diajarkan utuk memahami arti dan maknanya, apalagi filosofinya.
“Ya Allah... Berkahilah apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka,”
“Oh, iya, Dik. Kira-kira kenapa sih kita harus berdoa?” tanya saya lagi. Keponakan saya terdiam sebentar. “Hmm. Biar makannya gak ditemani setan!” tukasnya. Sya terkejut! “Siapa yang bilang itu, Dik?” tanya saya. “Guru nagjiku,”jawabnya polos. “Terus seandainya setan itu tidak diciptakan di dunia ini, berarti kita gak perlu berdoa sama Allah, ya, Dik?” Keponakan saya bingung mencari jawaban atas pertanyaan saya itu.
Sekali lagi jawaban seperti ini mengudang keprihatinan saya. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan  oleh para pendidik, baik orang tua dan guru, adalah tidak mendidik anak untuk berpikir. Sehingga alasan yang sering diberikan adalah alasan-alasan instan yang sering kali mengundang ancaman, seperti: “kalau enggak tidur nanti digondol kolong wewe, lho...” Atau kalau engga shalat nanti malaikat marah dan dosamu dicatat, lho...”
Mungkin sebagian dari kita merasa bahwa anak-anak belum bisa diajak berpikir secara mendalam, apalagi dengan alasan-alasan yang berbau ancaman dan menakut-nakuti itu lebih efektif dalam menanamkan doktrin kepada anak-anak. Tapi saya berpendapat sebaliknya. Justru mulai dari usia dinilah, anak-anak sudah harus dimulai untuk dididik utuk berpikir, tentu saja disesuaikan dengan perkembangan mentalnya. Berikanlah alasan yang rasional dan jelaskan dampak-dampak dari apa yang diperbuat oleh mereka, sehingga secara alam bawah sadar akan terus tertanam dalam pikiran mereka.
Masyarakat barat misalnya, mendidik anak-anaknya untuk senantiasa berpikir kritis dan tidak segan bertanya. Ajuran dan larangan selalu disertai dengan alasan-alasan yang logis. Hukumanpun diterapkan secara fair sesuai apa yang telah diperbuat si anak. Kita bisa bandingkan, mungkin seperti contoh-contoh di film, bahwa gaya berbicara, cara berpikir dan tingkat kedewasaan anak-anak negeri kita secara umum masih berada di bawah anak-anak Barat. Maka dampakya akan terbawa hingga usia dewasa. Sebagaimana bisa kita saksikan sendiri bahwa secara umum masyarakat Barat lebih bisa menerapkan nilai-nilai Islami dengan kepekaan, kepedulian, empati dan kesadaran yang lebih baik ketimbang  masyarakat negeri kita yang mengaku sebagai umat yang ‘setia’ pada syariat Islam, namun pada kenyataannya sering kali jauh dari nilai-nilai Islam.
Kembali ke persoalan doa sebelum makan. Ada beberapa tips yang ingin saya bagi kepada para sahabat di sini, tentang bagaimana membangun akhlak dan mentalitas anak-anak kita dari meja makan:
Ajarkan kepada mereka bahwa berdoa sebelum makan itu bertujuan untuk BERSYUKUR terhadap nikmat dan rezeki yang telah diberikan Allah Sang Maha Pemurah dengan penuh CINTA, sehingga otomatis ia akan meneruskan rasa cinta itu dengan menebar semangat dan pesan-pesan cinta kepada lingkungan disekitarnya.
Ajarkan kepada mereka bahwa salah satu cara terbaik untuk bersyukur atas karunianya adalah dengan menghabiskan makanan tersebut. Di sini mereka akan dididik untuk tidak bersikap boros, karena mereka akan terbiasa untuk menakar makanan dan minumannya sendiri sesuai kapasitas perutnya.
Ajarkan kepada mereka bahwa rasa syukur kepada Allah kita perbesar lagi dengan berbagi kepada sesama. Jika makanan tidak habis, maka ajari mereka untuk menyisihkan makanan tersebut kepada siapa saja yang masih kelaparan di luar sana. Di sini mereka akan dididik untuk memiliki kepedulian sosial.
Ajarkan kepada mereka tentang filosofi doa sebelum makan tersebut, yaitu pada kata: “BERKAHILAH REZEKI yang telah Engkau berikan kepada kami.” Perhatikanlah pada kata ‘rezeki yang berkah’. Bahwa apa yang kita makan itu harus (sebisa mungkin) dipastikan berasal dari rezeki yang halal. Dengan demikian, makanan itu tidak boleh berasal dari curian atau dibeli dengan uang yang tidak halal. Bagaimana mungkin kita akan menikmati makanan kita jika dibeli degan uang hasil koriupsi, menipu, atau dari uang berbunga yang kita bebankan pada orang-orang yang membutuhkan pertolongan? Di sinilah maka doa itu diakhiri dengan kata, “Jauhkanlah kami dari siksa api neraka”, sebagai konsekuensi dari makan makanan yang tidak halal.
Ajaran Islam berikut tata cara dan doa-doanya akan terasa indah dan mengena jika sedari usia dini kita tanamkan kepada anak-anak kita untuk mengerti hakikat yag tersembunyi dibalikya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kelak anak-anak kita akan menjadi generasi Islami, yang benar-benar ‘beragama Islam’ bukan sekedar ‘berilmu agama Islam’.
Mari kita membangun mental, akhlak, dan kepribadian anak-anak kita sehingga kelak mereka akan menjadi generasi yang berakhlak mulia yang akan membangun kehidupan yang jauh lebih baik di bumi tercinta ini. Mendidik anak adalah kewajiban semua orang yang ada di sekitar anak-anak tersebut. Dan kita bisa memulainya dalam hal-hal yang kecil. Sebagaimana mendidik anak dari meja makan. Alluhu’alam. Semoga bermanfaat.[26]
Proses Pembelajaran (Bisa untuk Mata Pelajaran Pendidikan agama Islam)
Penulis buku inipun membagikan salinan tulisan Malda Joe ke semua siswa di kelas. Mereka kemudian membacanya per alenia secara bergantian. Setelah selesai membaca, peulis buku ini yang juga merupakan guru mengajak para siswa untuk mendiskusikan tulisan tersebut.
Guru    : “Apakah kalian memahami bacaac yag baru saja selesai kita baca
             bersama? apakah ada pertanyaan atau taggapan?”
Linda   : “Saya, Bu!”
Guru    : “Ya, langsung saja, Linda. Bagi yang lain kalau mau menanggapi
             silahkan langsung  saja, secara bergantian.”
Linda  : “Makasih, Bu. Menurut saya, tulisan itu ada benarnya. Saya baru menyadari bahwa sebenarnya sejak kecil saya dididik utuk menghafal, tapi saya sesungguhnya benar-benar tidak tahu mengapa sayaharus menghafal itu.”
Intan   : “Iya, saya dulu melakukan ini itu, karena disuruh orang tua atau orang dewasa lain, tetapi tidak pernah tahu untuk apa. Gilanya lagi saya juga tidak pernah bertanya pada orang dewasa itu, mengapa saya disuruh untuk melalakukan ini dan itu.”
Surya   : “Dulu waktu kecil, waktu kecil seingat saya semua yang kita lakukan sebab diminta oleh orang dewasa selalu dibilang biar dapat pahala. Saya sih mikirnya Cuma buat nyenengin orang tua saja.” (Seisi kelas tertawa mendengar komentar Surya)
Guru    : “Selain karea alasan mendapat pahala dan menyenagkan orangtua, apa ada alasan lain?”
Elvia    : “Ada, Bu! Rasa takut, karena waktu saya kecil rasanya saya serig dengar orang dewasa bilang, “Jangan, enggak boleh, nanti Tuhan marah dan kita bisa masuk neraka”. Terus neraka digambarkan sebagai api yang meyala-nyala dan kita dibakar.”
Dita     : “Iya, betul kata Elvia, padahal kita waktu itu juga enggak paham soal neraka dan kenapa Tuhan sukanya marah-marah.” (Meledek tawa seisi kelas....)
Ridho  : “Iya, sih, waktu kecil itu saya sempat stress, karena sering ditakut-takuti oleh hal-hal yang kita enggak paham.”
Guru    : “Kalau sekarang bagaimana? Apakah kalian masih sering disuruh menghafal tanpa paham maknanya? Atau disuruh melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa diajak dialog alasannya?”
Dedy   :“Masih, Bu. Misalnya, kenapa kami para siswa harus memakai sepatu hitam setiap hari padahal kita maunya bisa ganti-ganti. Tapi sejak masuk sekolah ini sampai sekarang, kita engga bisa protes dan sekolah juga engga pernah buka ruang dialog soal aturan sepatu hitam itu, Bu!”
Tika     : “Terus semua pelajaran hafalan, sampai fisika, matematika, dan kima. Kita disuruh hafal rumus, tapi kita engga pernah dikasih tahu asal muasal rumus itu dan apa gunanya rumus itu dalam kehidupan sehari-hari.”
Nanda : “ Iya, padahal kalau wawancara kerja kita juga enggak pernah disuruh nyebutin rumus kecepatan dalam fisika misalnya!”
Aldy    : “Iya, juga ya. Terus apa gunanya semua hafalan itu buat kehidupan dan masa depan kita, ya?”
Ferry   : “Ya, mulai hari ini, kita harus tanya maknanya kalau disuruh mengahafal atau kalau diminta  melakukan sesuatu .”
Dian    : “Iya, kitanya harus berubah, kita ‘kan punya hati dan akal pikiran bukan robot.”
Guru    :”Bagaimana memulai perubahan ini?”
Wulan : “Ya, mulai dari diri sendiri, Bu, terus dirumah kita praktikan ke orangtua kita. Kita bangun budaya dialog dengan melontarkan pertanyaan mengapa harus begini atau mengapa harus begitu?”
Surya   : “Di sekolah juga harus kita mulai tanya ke guru kita, apa gunanya rumus itu jika kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Saya yakin guru kita pasti mau menjelaskannya.”
Panji    : “Sesama kita juga harus membiasakan itu, antar teman kita bisa dialog mengapa ini dan mengapa itu langkah yang harus kita lakukan dalam berorganisasi misalnya dan lebih baik kalau dalam situasi informal sehari-hari biar kita dipaksa berpikir.”
Guru    : “Bagus sekali, Panji! Semoga kita bisa praktikan bersama. Mari kita tekadkan diri untuk mau berubah! Kalau orang dewasanya marah ditanya, apa yang akan kamu lakukan?”
Panji    : “Yah, terus aja bertanya. Tapi kita harus jelaskan bahwa kita tanya untuk mendapat penjelasan sekaligus keyakinan mengapa kita harus melakukan. Alasan yang logis dan adil.”
  Para siswa tampak puas dengan proses diskusi tadi dan seperti tersadar bahwa selama ini mereka tidak memiliki budaya bertanya dan berdialog. Namun siang ini, mereka mau berubah, setidaknya mulai mau mengajukan pertanyaan “Mengapa”. Salam Perubahan![27]


BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian isi resume buku karya Retno Listyarti yang berjudul Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif da Kreatif tersebut penyusun dapat merumuskan beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dijadikan pelajaran itu diantaranya sebagai berikut:
1.      Untuk menumbuhkembangkan karakter anak, setiap pribadi guru hendaknya mau membuka diri untuk menerima berbagai masukan dan informasi dari peserta didiknya.
2.      Guru yang berniat untuk mengembangkan pendidikan karakter hendaknya berjiwa pembaharu, yakni yang memiliki wawasan luas, visi, misi serta kesabaran tanpa batas untuk menggapainya.
3.      Untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada anak, maka mereka tidak hanya diajarkan untuk tahu nilai itu, tetapi juga harus memikirkan dan menemukan sendiri jawaban atas pertanyan mengapa nilai karakter itu penting untuk diaplikasikannya.
4.      Pendidika karakter yang berhasil itu membutuhkan proses, kerja keras, dan tanggung jawab, serta kerjasama seluruh pihak penentu pendidikan.
5.      Pemerintah, Pendidik, administrator, orangtua, masyarakat, peserta didik, dan segenap pihak terkait akan saling menopang keberhasilan pendidikan karakter.




Text Box: 48
 


[1] Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode aktif, Inofatif dan Kreatif Penulis, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012), h. 2
[2] Ibid.
[3] Ibid., h. 3
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 5
[6] Ibid.
[7] Ibid., h. 8
[8] Ibid., h. 10
[9] Ibid., h. 11
[10]Ibid., h. 14
[11] Ibid., h. 15
[12] Ibid., h. 16
[13] Ibid., h. 17
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 45
[16] Ibid., h. 46
[17] Ibid., h. 48
[18] Ibid, h. 49
[19] Ibid, h. 64
[20] Ibid., h. 75
[21]Ibid., h. 107
[22] Ibid., h. 109
[23] Ibid., h. 155
[24] Ibid., h. 158
[25] Ibid., h. 220
[26] Ibid., h. 223
[27] Ibid., h. 226