KATA PENGANTAR
Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.
Juga tidak lupa pula shalawat dan salam atas pemimpin
umat islam, pendidik yang namanya termashur dengan kecerdasan dan
akhlak mulianya hingga akhir zaman,
yakni baginda besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan para pengikunya serta mudah-mudahan
kita termasuk diataranya yang istiqomah
mengamalkan sunnahnya dalam kehidupan
ini. Aamiin.
Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan resume buku karya
Retno Listyarti yang berjudul “Pendidikan
Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan Kreatif”. Buku Ibu Retno tersebut merupakan karya
yang menurut saya bagus, sebab dapat membuka cakrawala pengetahuan saya
mengenai pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik negara Indonesia
ini. Buku tersebut tidak haya menjelaskan apa makna dan dasar teori-teori
pentingnya pengembangan dan pendidikan karakter dalam proses pendidikan, namun
juga menyertakan cerita-cerita yang dapat dijadikan bahan ajar penanaman
nilai-nilai karakter kepada peserta didik di kelas. Cerita-cerita yang mungkin
dapat menginspirasi para guru untuk dapat menanamkan pembelajaran yang
berkarakter di kelas mereka. Beliau juga memberikan berbagai materi-materi
cerita tersebut yang dapat diterapkan di berbagai jenjang pendidikan, mulai
pendidikan tingkat PAUD hingga Sekolah Menengah Pertama dan setingkatnya.
Namun, karena keterbatasan dan kebutuhan peresume yang merupakan mahasiswa Studi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) maka saya hanya meresume dasar teori
singkatnnya serta beberapa cerita yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di
tingkat MI/SD.
Terima kasih
kepada
Bpk. Dr. Fauzan, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Perencanaan
Pembelajaran, yang telah
membimbing saya untuk
dapat menyelesaikan resume ini, serta memotivasi kami semua mahasiswa
PGMI agar semangat melakukan perubahan pendidikan meskipun hal itu dari hal
yang terkecil sekalipun. Selain itu saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman,
yang telah bersedia memberikan dorongan motivasi, membaca dan mempelajarinya. Adapun tujuan dari pembuatan resume
buku ini ialah untuk memenuhi tugas
mata kuliah yang bersangkutan. Saya berharap resume ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya, dan bagi seluruh pembaca yang
mungkin merupakan guru bagi generasi penerus masa depan bangsa yang Insya Allah berkarakter.
Jakarta,
08
April 2014
Peresume
Irvani Mufidah
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR
ISI................................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar
Belakang Penyusunan ..................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................... 4
A.
Latar Belakang
Pentingnya Pendidikan Karakter .................................... 4
B.
Nilai-Nilai dalam
Pendidikan Karakter Bangsa ..................................... .. 5
C.
Proses Pedidikan
Karakter ........................................................................ 8
D.
Langkah-langkah
Penerapan Pendidikan Karakter di Sekolah ................. 8
E.
Mengapa Sekolah Harus
Melakukan Pendidikan Karakter? .................... 9
F.
Landasan Teori
Pendidikan Sebagai Dasar Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Kritis
dan Berkarakter ............................................................ .. 9
a.
Perubahan Paradigma
Pengajaran Menjadi Pembelajaran .................. 9
b.
Apakah guru yang
berkualitas (guru master itu)? ............................. 12
G.
Kisah Pembelajaran
Karakter untuk Tingkat PAUD/SD ....................... 15
1.
Kisah Uang Kertas ........................................................................... 15
2.
Dongeng Rakyat (Anti)
Korupsi (1, 2, 3) ........................................ 18
3.
Kisah Sirih Belanda dan
Persahabatan ............................................ 32
4.
Matematika dalam Kisah
Pisang dan Pengemis ............................... 36
5.
Kisah air Mendidih
dalam Karakter Kerja Keras ............................. 38
6.
Belajar Menghafal,
Bukan Belajar Memahami ................................ 42
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................... 48
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyusunan
Penyusunan naskah
resume ini awalnya dilatarbelakangi oleh kewajiban penyusun untuk menyelesaikan
salah satu tugas mata kuliah perencanaan pembelajaran. Sebab penyusun ialah
seorang mahasiswi program studi guru madrasah ibtidaiyah yang sedang
mempelajari mata kuliah tersebut, maka mengerjakan tugas ini adalah suatu
keharusan. Tugas dari mata kuliah tersebut ialah meresume sebuah buku yang
berkaitan dengan pendidikan ataupun pembelajaran.
Setelah penyusun
mencari dan menelaah beberapa literatur yang ada di perpustakaan kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, ternyata pilihan jatuh pada buku karya Retno
Listyarti ini. Buku itu berjudul Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif,
Inovatif dan Kreatif. Jika ditanyakan mengapa atau apakah sebabnya, maka penyusun
hanya dapat menjawab dengan kalimat singkat yakni “Saya ingin menyelami makna
karakter”. Kata karakter sudah sering terdengar ditelinga para pendidik juga
mahasiswa keguruan akhir-akhir ini. Tepatnya ketika kurikulum baru mulai
dipublikasikan pada berbagai media cetak ataupun forum-forum resmi
kependidikan. Kurikulum itu kita kenal dengan K 13 atau kurikulum tahun 2013
yang mengedepankan penanaman, penghayatan dan pengamalan sejumlah nilai
karakter melalui serangkaian aktivitas pembelajaran ilmiah yang dilakukan. Akan
tetapi, sampai saat ini penyusun sendiri belum dapat memahami secara mendalam
tentang apa dan bagaimana nilai-nilai karakter tersebut dapat dikembangkan
dalam konteks pembelajaran real di kelas. Oleh karena itulah, kiranya tepat
penulis menjatuhkan pilihan pada buku karya Retno Listyarti yang memaparkan
contoh pendidikan karakter dalam pembelajaran real di kelas.
Sebelum
melakukakn resume, penyusun melakukan kajian buku ini dengan cara membaca
perlahan lembar demi lembar halamannya. Dari kegiatan inilah penyusun megetahui
bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari orang lain. Karakter disebut juga dengan watak atau tabiat. Secara
teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek yaitu ketika seorang
mengetahui kebaikan (knowing the good),
lalu ia selalu mencintai kebaikan (loving
the good) hingga selanjutnya mampu melakukan kebaikan dalam setiap
tindakannya (doing the good). Jadi Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Alangkah indahnya jika
pedidikan karakter tersebut dapat selalu diimplementasikan dalam setiap
kegiatan pembelajaran nyata di setiap jenjang pendidikan yang ada. Jika itu
dapat diaplikasikan secara sempurna, maka di masa generasi mendatang dengan
segala tuntan perkembangan zamannya yang semakin meningkat, justru tidak akan
terdengar lagi kata korupsi, kerusuhan, serta tindak kejahatan sosial-moral
lainnya. Namun, hal ini kembali lagi pada hakikat makhluk dalam kehidupan dunia
ini, dimana tidak ada sosok ataupun amal yang sempurna. Paling tidak Tuhan
selalu melihat dan mendukung setiap tekat dan usaha kuat setiap makhluk untuk
memperbaiki segala kekurangan yang terjadi. Pendidikan karakter dalam tongkat
kurikulum 2013 yang ada inilah, yang akan menjadi dasar usaha manusia khususnya
generasi pendidik guna memperbaiki masa depan peradaban generasi bangsa.
Sebagai bentuk usaha
nyata seorang guru ataupun mahasiswa keguruan dalam menggapai cita-cita
perubahan tersebut, tidaklah cukup hanya mengetahui dan menyetujui pendidikan
karakter ini. Tetapi juga harus mampu mengerahkan segenap sanubarinya untuk
menggali pemahaman serta mengamalkannya dalam pembelajaran nyata di kelas-kelas
mereka. Panggilan jiwa untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang bernilai karakter. Kemampuan itulah
yang merupakan aspek yang harus diasah dan ditanamkan pada setiap jiwa para
pendidik.
Untuk dapat mengasah
kemampuan tersebut, maka membaca beberapa contoh kegiatan pembelajaran nyata
yang menanamkan nilai-nilai karakterpun dapat dijadikan salah satu alternatif
cara. Oleh karena itu, dalam resume ini telah dipaparkan beberapa contoh materi
pembelajaran yang dapat dijadikan inspirasi dalam meciptakan pembelajaran karakter
di kelas para guru atau calon guru sekalian. Khususnya yang berkaitan dengan
pembelajaran berkarakter di tingkat SD/MI.
Akhirnya, latar
belakang penyusunan resume buku ini pun kini beralih menjadi kesadaran dan
tekad untuk terus memperluas pemahaman dan mengembangkan kompetensi diri sebagai
seorang calon pendidik. Kita mulai dari sekarang, saat ini dan sepanjang hayat.
It’s long life education, untuk membina cipta, rasa dan karsa peserta
didik kita (Ki Hajar Dewantara).
BAB
II
PEMBAHASAN
Judul Buku : Pendidikan Karakter dalam Metode aktif,
Inofatif
dan Kreatif
Penulis/Jmlh. hal : Retno Listyarti/ 233 halaman
Diterbitkan Oleh : Erlangga Group, pada
tahun 2012
A.
Latar
Belakang Pentingnya Pendidikan Karakter
Rencana Strategis (Restra) Kementrian Pendidikan
Nasional atau sekarang dikenal dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
mulai 2010-2014 telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh
jenjang pendidikan, yakni mulai dari jenjang PAUD dan sederajat sampai dengan
tingkat Perguruan Tinggi (PT) dalam sistem Pendidikan di Indonesia. Oleh
karenanya sejak 3 tahun yang lalu telah diupayakan perencanaan,
pengkomunikasian, pelatihan, serta pelaksanaannya diberbagai instansi
pendidikan terkait. Namun, pada nyatanya penerapan pindidikan karakter di
sekolah memerlukan pemahaman tentang konsep, teori, metodologi, dan aplikasi
yang relevan dengan pembentukan karakter (character
building) dan pendidikan karakter (character
education).[1]
Selama
ini para guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun kebanyakan masih
seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya
dalam kehidupan. Idealnya dalam setiap proses pembelajaran mencakup konsep,
teori, metode, dan aplikasi. Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara
komprehensif melalui konsep, teori, metodologi, dan aplikasi setiap mata
pelajaran di mana pendidikan karakter sudah terimplementasi di dalamnya, maka
kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektif dalam menunjang pendidikan
karakter.[2]
Pendidikan moral dalam keseharian sering dipakai
untuk menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika. Pembelajarannya
lebih banyak disampaikan dalam bentuk konsep dan teori tentang nilai benar atau
salah. Sedangkan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari kurang atau bahkan
tidak menyentuh ranah afektif dan psikomotor, dalam arti tidak diaplikasikan
dan menjadi kebiasaan. Adapun dalam pendidikan akhlak lebih ditekankan pada
pembentukan sikap batiniah agar memiliki spontanitas dalam melakukan kebaikan.[3]
Secara teoritis, karakter seseorang
dapat diamati dari tiga aspek yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter sesungguhya bukan sekedar
mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan tentang perilaku
yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik,
sehingga terbentuklah tabiat yang baik.[4] Oleh
karenanya proses pendidikan di Indonesia sedang diupayakan untuk dapat
mengaplikasikan pendidikan dan pembentukan karakter ini, yakni melalui usaha
dan kerja keras semua pihak di bidang pendidikan.
B.
Nilai-Nilai
dalam Pendidikan Karakter Bangsa
Menurut Retno
Listyarti, bangsa Indonesia memiliki karakter lemah yang hendaknya harus mulai
ditinggalkan, ia menyatakan “Karakter lemah bangsa Indonesia yang harus
diperbaiki yaitu penakut, feodal, penindas, koruptif, tidak logis, meremehkan
mtu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan
tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas dan tak punya malu.”[5]
Menurutnya karakter yang menjadi realitas
dalam kehidupan bangsa Indonesia tersebut akibat dari pejajahan beratus-ratus
tahun oleh bangsa asing. Oleh karenanya karakter lemah tersebut harus segera
diberantas melalui pembentukan dan pendidikan karakter sejak dini.
Mulai tahun pelajaran
2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan
berkarakter. Nilai-nilai karakter tersebut telah dirumuskan menjadi 18 nilai
karakter bagsa sebagai berikut:[6]
Tabel 18 Nilai Karakter
No
|
Nilai
Karakter
|
Uraian
|
1.
|
Relegius
|
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain
|
2.
|
Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat selalu dipercaya dalam perkataan,
tindakan dan pekerjaan.
|
3.
|
Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dengannya.
|
4.
|
Disiplin
|
Tindakan yang menujukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan ketentuan
|
5.
|
Kerja Keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6.
|
Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yag telah dimiliki.
|
7.
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8.
|
Demokratis
|
Cara berpikir, bersikap dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9.
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan lebih meluasd dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat dan didengar.
|
10
|
Semangat Kebangsaan
|
Cara berpikir, bertindak dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
diri dan kelompoknya.
|
11.
|
Cinta tanah air
|
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
|
12.
|
Menghargai Prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk meghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui
serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
13.
|
Bersahabat/
Komunikatif
|
Tindakan yang memperlihatkan rasa
senag berbicara, bergauldan bekerjasama dengan orang lain.
|
14.
|
Cinta Damai
|
Sikap, perkataan dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Baik
terhadapdiri sediri, masyarakat, lingkungan alam, sosial, budaya dan negara.
|
15.
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
|
16.
|
Peduli lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
|
17.
|
Peduli sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
|
18.
|
Tanggung jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
dirinya maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya.
|
C.
Proses
Pedidikan Karakter
Karakter diartikan
sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari orang lain; tabiat; watak. Adapun proses pendidikan karakter itu
sendiri didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi totalitas
sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pedidikan dan
masyarakat.[7]
Berdasarkan totalitas
psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Olah
hati, olah pikir, olah rasa/karsa dan olahraga.
2. Beriman,
bertakwa, jujur, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko,
pantang menyerah, rela berkorban dan berjiwa patriotik.
3. Ramah,
saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis,
kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
4. Bersih
dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat,
kooperatif, ceria, gigih, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingintahu,
berpikir terbuka, produktif, berorientasi pada IPTEKS dan reflektif.
D.
Langkah-langkah
Penerapan Pendidikan Karakter di Sekolah
Langkah-langkah penerapan
pedidikan karakter untuk menjadi budaya sekolah sebagai berikut:
1. Kesepakatan
mengeanai karakter yang hendak dicapai dan ditargetkan sekolah.
2. Membangun
pemahaman bahwa sekolah ingin membudayakan karakter positif untuk seluruh warga
sekolah dan ini membutuhkan suatu proses.
3. Menyusun
rencana meyeluruh untuk memanifestasikan pengembangan pembelajaran berkarakter
guna mencapai hasil yang ditargetkan.
4. Megintegrasikan
karakter yang sudah dipilih ke dalam pembelajaran di seluruh kurikulum secara
terus-menurus.
5. Melalui
suatu workshop, para guru dibimbing untuk
menentukan pendekatan serta metode yang akan digunakan guna menanamkan nilai
karakter sesuai dengan mata pelajarannya.
6. Sosialisasi
karakter yang disepkati kepada seluruh warga sekolah.
7. mengembangan
moto sekolah yag bertumpu pada karakter yang disepakati.
8. menentukan
indikator yang menunjukkan keberhasilan program.
9. Melakukan
evaluasi terhadap karakter.
10. Memberikan
apresiasi terhadap warga sekolah yang menunjukkan perubahan ke arah karakter
yang dibudayakan.[8]
E.
Mengapa
Sekolah Harus Melakukan Pendidikan Karakter?
Sekolah hendaknya melakukan pendidikan
karakter karena alasan sebagai berikut:
a. Karena
karakter sebagian besar bangsa Indonesia masih lemah.
b. Sejalan
dengan Resentra (Rencana dan Strategi) Kemendiknas 2010-2014 yang mencanangkan
penerapan pendidikan karakter, maka diperlukan kerja keras semua pihak.
c. Penerapan
pendidikan karakter di sekolah yang baik memerlukan pemahaman tentang konsep,
teori, metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building) dan pendidikan
karakter (character education).[9]
F. Landasan
Teori Pendidikan Sebagai Dasar Pembelajaran Aktif, Kreatif, Kritis dan Berkarakter
1.
Perubahan
Paradigma Pengajaran Menjadi Pembelajaran
Perubahan paradigma
pembelajaran di Indonesia telah terjadi secara fundametal pada saat UU No. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dilahirkan. Dalam
undang-undang tersebut tersurat jelas menyatakan bahwa perubahan paradigma
pengajaran menjadi pembelajaran merupakan tuntutan dari reformasi pendidikan.[10]
Perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran menjadi pembelajaran seiring
dengan tujuan dari pendidikan nasioal sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003. Pengertian pendidikan yang terdapat pada UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003, Bab 1, pasal 1, ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran,
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran seharusnya
berbasis STUDENT CENTER LEARNING.[11]
Untuk itulah mengapa
saya tertarik meresume buku ini, sebab buku ini tidak hanya bertujuan
menjelaskan pengertian, teori serta metodologi pedidikan karakter saja, namun
juga untuk membahas cara sebagai upaya mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran yang mengaktifkan siswa serta mengembangkan potensinya. Makna
pembelajaran yang mengaktifkan siswa tersebut juga diperkuat dengan pandangan
tokoh sejarah teori pendidikan yang berkembang dan berpengaruh.
Tokoh pendidikan John
Dewey berpendapat bahwa “Orang belajar dari apa yang dikerjakanya”. Jadi
menurutnya anak tidak belajar dengan cara medengar ceramah. Pendapat ini
kemudian diperkuat oleh Paulo Freire yang meyakii bahwa: berpikir, berkata, berbuat itulah praksis. Proses pemeblajaran adalah
praksis yang unsur-unsurnya dalah anak berpikir, berkata, dan berbuat. Praksis
megintegrasikan ketiga unsur tersebut. Serta masih ada beberapa tokoh lain
yang mendukung teori pembelajaran yang mengaktifkan siswa.[12]
Dengan demikian dalam
proses pembelajaran siswa tidak berperan sebagai penerima pengetahuan yang
dituangkan oleh guru, akan tetapi dalam proses menerima siswa melalui proses
megolah, menganalisis, mendiskusikan, dan mengatakannya kembali.
Untuk menjalankan
proses pembelajaran yang bermakna sebagaimana diungkapkan para ahli tersebut,
maka dibutuhkan guru yang mau belajar bersama-sama peserta didiknya. Dibutuhkan
para guru yang siap berubah menjadi fasilitator, motivator dan inspirator,
bukan guru orator, apalagi yang otoriter dan dominan. Para guru hendakya mampu
menempatkan dirinya setara dengan para siswanya, yang membedakannya hanya
fungsinya.[13]
Hal di atas sejalan
dengan pendapat para tokoh pendidikan yang memiliki pandangan mengenai guru
yang ideal membawa perubahan.
1. Ralp Waldo Emerson mengatakan bahwa:
“Rahasia dalam pendidikan terletak pada sikap
guru dalam menghargai murid”. Ini bermakna bahwa relasi seimbang antara guru
dan murid harus dibangun, bukan relasi vertikal yang menganggap murid sebagai
objek yang tidak setara.
2. Adapun Wiliam A. Ward
berpendapat bahwa:
“Pengajar biasa memberitahu.
Pengajar yang baik menjelaskan. Pengajar yang lebih baik mendemonstrasikan.
Namun, pengajar terbaik adalah memberikan inspirasi.”
3. Wallace Stegne menyampaikan bahwa:
“Seorang pengajar harus memperluas
sudut pandang dari apa yang menjadi subyek (mata pelajaran) yang mereka
ajarkan”.
4. Mochtar Buchori, berpendapat:
“Para guru jangan haya berpikir
sebatas ruang kelas (mikro) degan menyampaikan guna menyelesaikan kurikulum,
tetapi hendaknya berpikir makro, di mana materi pembelajarannya menembus
batas-batas ruang kelas. Para siswa hendaknya diajar tentang realitas di
masyarakatnya, sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan mampu menjawab
persoalan di masyarakat.”
Untuk dapat
merealisasikan pembelajaran yang diidamkan tokoh-tokoh tersebut, maka budaya
ilmiah seperti menggali pengetahuan, mau berdiskusi, bersedia menuliskan, dan
membangun dialog sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Budaya-budaya ilmiah yang sudah sewajarnya ditanamkan dan dibiasakan diantaranya
keterampilan praksis “mengamati, menghitung, mengukur, menimbang,
mengklasifikasikan, mencari hubungan ruang/waktu, membuat hipotesis,
bereksperimen, mengendalikan variabel, menginterpretasi, mnyimpulkan,
meramalkan, menerapkan, serta mengkomunikasikan.
a.
Apakah
guru yang berkualitas (guru master itu)?
Sejatinya menurut
penulis buku ini, guru yang berkualitas tidak hanya memiliki profesionalisme
dalam mengajar namun juga memiliki kepribadian yang utuh, kecerdasan soaial,
dan kecerdasan intelegensi. Sebuah studi komprehensif yang dilakukan oleh
Charter and Waples dalam upaya menemukan sebuah kualitas yang diperlukan oleh
guru menghasilkan 25 ciri guru berkualitas sebagai berikut:
“Ke-25 ciri-ciri tersebut adalah Mudah meyesuaikan
diri (beradaptasi); Penampilan yang menarik; Pengetahuan atau ketertarikan yang
luas; Berhati-hati dan penuh pertimbangan; mampu bekerja sama; Kemampuan utuk
menggantungkan diri; Antusias; Mampu
mempengaruhi; Penuh dorongan; Penilai yang baik dan bijak; Sehat; Jujur;
Bekerja/Berkarya; Kepemimpinan; Magnetis; Rapi; Memiliki pikiran yang terbuka,
Asli; Progresif; Tepat waktu; Kehalusan budi bahasa; Memperoleh beasiswa ketika
studi; Kontrol diri; dan Hemat.”[14]
Pendekatan pembelajaran siswa aktif
menghindarkan kita dari apa yang disebut Paulo Freire sebagai pendidikan gaya
bank. Bank berjalan yang pada intinya menenmpatkan pengajar pada posisi aktif
mendominasi sementara siswa berada pada posisi pasif-didominasi. Pendekatan
pembelajaran membawa pengajar kepada peran yang lebih besar yakni sebagai
mentor dan guru sejati. Berikut ini adalah perbedaan antara pengajar (teacher) dengan guru sejatui (master) menurut Andrias Harefa (2000).
Perbedaan antara
Pengajar dan Guru
Pengajar
(teacher)
|
Guru
(master)
|
Pekerjaan atau okupasi yang dapat
hilang
|
Profesi atau panggilan jiwa yang tidak
mugkin hilang
|
Pilihan rasional
|
Pilihan moral-spiritual
|
Berusaha meningkatkan kesejahteraan
hidupya lebih dahulu
|
Berusaha mengejar kepuasan batinnya
lebih dahulu
|
Peran utama: mengajar
|
Peran utama: belajar-mengajar
|
Transfer ilmu pengetahuan da tekologi
|
Sosialisasi nilai-nilai luhur untuk
hidup dan kehidupan
|
Fokus pada dirinya, keinginan dan
kebutuhan
|
Fokus pada minat, bakat, dan talenta
muridnya (altruis)
|
Memandang muridnya sebagai bawahan
|
Memandang muridnya sebagai mitra
potensial
|
Kemampuan mengajar minimum sampai
rata-rata.
|
Kemampuan mengajar rata-rata sampai
luar biasa
|
Lulusan IKIP atau penggantinya
|
Pembelajar seumur hidup di uiversitas
kehidupannya
|
Umumnya bergelar akademis/sarjan
|
Tak memandang gelar akademis sebagai
hal terpenting.
|
Lebih lanjut Andreas
Harefa memandang bahwa seorang pengajar yang profesional pastilah seorang guru
sejati. Menjadi guru sejati memerlukan pertimbangan yang meggunakan hati nurani
yang supra-rasional dan bersifat moral-spiritual. Selain itu, guru sejati
selalu mendapatkan respek dari siswa-siswanya. Sebab setiap manusia di dunia
ini akan senag sekali jika mendapatkan respek dan penghargaan dari orang lain,
begitu juga dengan guru sejati maka ia akan dengan senang hati memperhatikan
serta memberikan penghargaan terhadap siswanya dengan berbagai upaya yang
dilakukannya dalam proses pembelajaran. Dengan demikian maka siswa-siswanyapun
akan respek dan merasa senang jika belajar darinya.
Lalu, bagaimana cara menjadi
guru yang memperoleh respek dari siswa-siswinya? Retno Listyarti penulis buku
ini menyajikan cuplikan tulisan berikut guna memahami caranya.
Belajar Makna Respek
dari Film Pendidikan Jepang Hotaru No Hoshi (2004)
Respek kepada guru di
jepang merupakan bagian dari respek pada orangtua atau mereka yang dituakan
(bos, senior dan lain sebagainya). Hal ini juga tercerminkan dalam bahasa
dengan apa yang disebut respect
language – mirip dengan kromo dalam bahasa Jawa. Tentu saja “respek” di
sii tidak sama dengan rasa takut yang sering terjadi di negeri kita (dimana
sebagian guru killer atau melakukan
kekerasan terhadap muridnya). Respek adalah sesuatu yang resiprokal (timbal
balik, dua arah); guru respek terhadap muridnya, sebaliknya murid respek
terhadap gurunya. Saling respek ini otomatis menuntut dan membentuk karakter
– bukan haya “citra saja” – dari sang GURU sebagai panutan (digugu dan
ditiru).
Ada sebuah film
Jepang Hotaru No Hoshi (2004) yang
dengan eloknya menggambarkan hubungan guru dan murid. Film ini bercerita
tentang seorang guru muda (1 st-year teacher) yang punya ide baru
dalam megajar yang tidak sejalan dengan tradisi pendidikan jepang yang ketat
dengan memelihara Hotaru (kunang-kunang)
sebagai class project. Proyek
kunang-kunang ini bukan saja mempersatukan kelas, menstimulus murid untuk
berpikir, bertindak dan bekerja sama, tetapi juga menyelamatkan lingkungan
setempat. Kisah dalam film ini menggambarkan peran guru yang luar biasa. Guru
yang kreatif mengajak muridnya melakukan perubahan yang dan menginspirasi
perubahan dalam hidupnya.
|
2.
Kisah
Pembelajaran Karakter untuk Tingkat PAUD/SD
Dalam bab III buku
karya Retno Listyarti ini dituliskan aplikasi pendidikan karakter dalam praktik
kelas yang aktif, kreatif, kritis, dan berkarakter. Ia menuliskan materi
pembelajaran nilai-nilai karakter tersebut dalam bentuk kisah-kisah, dongeng
atau cerita inspiratif dan menarik. Dengan bahasa yang ringan dan mudah
dipahami. Cerita-cerita, dongeng tersebut disertai dengan contoh cara
pengaplikasiannya dalam situasi pembelajaran di kelas. Materi cerita-cerita
ataupun dongeng-dongeng inspiratif yang ditulisnya ada 23 tema atau judul. Dari
23 tema tersebut ada yang dapat di terapkan dalam pembelajaran tingkat PAUD, SD/MI,
SMP, SMA da yang sederajat.
Sebab saya selaku
peresume buku Bu Retno Listyarti ini seorang calon guru SD/MI, maka saya hanya
menuliskan cerita-cerita yang sesuai untuk digunakan di tingkat SD/MI.
Adapun dalam resume
ini, cerita-cerita yang di tulis Bu Retno Listyarti saya ambil secara acak,
disertai dengan keterangan mata pelajaran yang sesuai untuk mengaplikasikan
cerita bernilai karakter ini. Saya berharap semoga resume saya ini bermanfaat
bagi semua para pembacanya, khususnya para guru sebagai tenaga pendidik
generasi mendatang yang berkarakter.
1.
TEMA :
“Kisah Uang Kertas”
Nilai Karakter : Peduli
Sosial, Percaya Diri dan Komunikatif.
Pelajaran :
PKN, IPS, Bahasa Indonesia, PAI SD/MI
Beberapa
waktu lalu, dalam sebuah pembelajaran “anti korupsi” di kelas, penulis buku ini
mendapatkan pengalaman yang berharga. Salah seorang siswa yang beliau ajar ada
yang memilih jadi uang recehan. Alasannya, dia tidak mau jadi uang kertas Rp.
100.000,00 karena merasa “najis disentuh koruptor”. Dan meyakii bahwa uang kertas
dapat dipastikan ada di dalam dompet para koruptor. Dia memilih jadi uang receh
agar sering disentuh orang miskin, masuk kotak amal di masjid-masjid, dan
berfungsi ganda karena selain untuk alat tukar juga dapat dijadikan alat
kerokan bagi orang-orang miskin yang tak sanggup membayar dokter, apalagi beli
obat yang harganya terus naik dan tak terjangkau si miskin. Gagasan anak didik
beliau itu ternyata dapat dijadikan teks
bacaan bagai banyak pelajaran dalam konteks pendidikan karakter, baik bagi untuk
bidang studi IPS, Bahasa Indonesia, PKN, ekonomi, pendidikan agama maupun
sosiologi. Berikut ini adalah teks cerita percakapan antara uang Rp. 1.000, 00
dan Rp. 100.000,00.[15]
“Kisah Uang Kertas”
Uang Rp. 1000 dan Rp.
100 ribu sama-sama terbuat dari kertas, dicetak dan diedarkan oleh dan dari
Bank Indonesia. Pada saat bersamaan mereka keluar dan berpisah dari Bank dan
beredar di masyarakat. Empat bulan kemudian mereka bertemu lagi di dalam dompet
seorang pemuda.
Kemudian di antara
kedua uang tersebut terjadilah percakapan. Uang Rp. 100 ribu bertanya kepada
uang Rp. 1000. “Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor dan bau amis?”.
Dijawablah oleh uang Rp 1000, “Karena begitu aku keluar dari Bank langsung
berada ditangan orang-orang kecil, dari tukang becak, sayur, penjual ikan, dan
di tangan pengemis.” Lalu Rp 1000 bertanya balik kepada Rp 100 ribu, “Kenapa
kamu kelihatan begitu baru, rapi dan masih bersih?” Uang Rp 100 ribu pun
menjawab, “Karena begitu aku keluar dari Bank, langsung disambut perempuan cantik
atau laki-laki tampan dan beredarnya pun di restoran mahal, mal dan hotel
berbintang, serta keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet.”
Lalu Rp 1000 bertanya
lagi, “Pernahkah engkau mampir di rumah ibadah?” Rp 100 ribu menjawab, “Belum
pernah”. Rp 1000 pun berkata lagi “Ketahuilah kawan. Sekalipun keadaanku
seperti ini adanya, setiap jumat aku selalu mampir di masjid-masjid, dan di
tangan anak-anak yatim, bahkan aku selalu bersyukur kepada Tuhan. Aku dipandang
manusia bukan hanya sekedar nilai tapi karena manfaat....” Akhirnya menangislah
uang Rp 100 ribu, karena merasa besar, hebat, tinggi, tetapi tidak begitu
bermanfaat selama ini.
Setelah cerita Uang kertas Rp 1000
dan Rp 100 ribu tersebut dikisahkan, maka guru dapat mengemukakan sejumlah
pertanyaan kepada siswa SD saat pembelajaran di kelas, sebagai berikut[16]:
1.
Siapakah tokoh Utama dalam “Kisah Uang
Kertas” tersebut?
2.
Apa makna cerita tentang “Kisah Uang
Kertas” di atas?
3.
Mana yang dinilai mereka lebih besar,
uang Rp 1000 atau Rp 100 ribu?
4.
Mengapa uang kertas Rp 1000 kotor, bau
amis dan kusut?
5.
Mengapa uang kertas Rp 100 ribu tampak
bersih, wangi dan rapi?
6.
Mengapa uang kertas Rp 100 ribu bersedih
hati dengan keberadaannya?
7.
Mengapa uang kertas RP 1000 sangat
bersenang hati dengan keberadaannya?
8. Jika
diminta memilih kalian iangin menjadi uang Rp 1000 atau uang Rp 100 ribu?
Mengapa?
Adapun untuk guru PAUD setelah
menceritakan dongeng tersebut dapat mengemukakan sejumlah pertanyaan kepada
siswanya saat pembelajaran di kelas, sebagai berikut:
1. Siapa
tokoh utama dalam cerita tersebut?
2. Sebutkan
benda apa saja yang terdapat dalam cerita tersebut?
3. Ada
berapa jumlah benda dalam cerita tersebut?
4. Guru
dapat meyimpulkan dan menyampaikan hikmah kebaikan dalam dongeng tersebut,
sebagai prinsip menanamkan nilai karakter peduli sosial, percaya diri dan
komunikatif.
5. Mengapa
uang kertas Rp 100 ribu bersedih hati dengan keberadaannya?
6. Mengapa
uang kertas RP 1000 sangat bersenang hati dengan keberadaannya?
7. Jika
diminta memilih kalian iangin menjadi uang Rp 1000 atau uang Rp 100 ribu?
Mengapa?
2.
TEMA :
“Dongeng Rakyat (Anti) Korupsi”
Nilai Karakter : Relegius, jujur, anti korupsi
Mata Pelajaran : PKN, Bahasa Indonesia, IPS, PAI
Pengantar
Ada tiga dongeng rakyat
bermuatan “korupsi” yang akan ditampilkan secara berurutan di dalam pembelajaran
siswa. Dongeng-dongeng tersebut dijadikan bahan ajar untuk pendidikan anti
korupsi atas seizin penulisnya, yaitu Rahmat Petuguran. Rahmat, alumnus
Universitas Negeri Semarang itu menggali dongeng-dongeng rakyat yang menjadi
legenda di Jawa Tengah utuk dijadikan tema skripsinya, di mana Rahmat
menuliskan kembali dongeng tersebut dan kemudian dijadikan bahan ajar dalam
pendidikan atikorupsi di sekolah. Saat penulis buku ini yakni Retno Listyarti
memohon izin menggunakan dongeng ini untuk bukunya, Rahmat Petuguran langsung
mengizinkannya. Retno kemudian memikirkan bagaimana cara menggunakannya dan
mengajukan pertanyaan apa saja untuk memancing diskusi kelompok. Hasilnya dapat
disimak dalam tulisan berikut ini.[17]
KONSEP “APA ITU KORUPSI?”
Pengertian Korupsi secara
Harfiah
Asal kata dari bahasa
latin corruptio atau corruptus. Dari bahasa latin turun ke
bahasa Eropa seperti Inggris: corruption,
corrup; Prancis corruption; dan
Belanda: corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda itulah
turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harfiah korupsi ialah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap dan tidak
bermoral.
Pengertian Menurut Kamus
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karya
Purwadarminta, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelap uang,
penerimaan uang sogok, dan lain sebagainya.
Perbuatan yang
dilakukan seseorang atau kelompok untuk memperkayadiri atau korporasi sehingga
mengakibatkan kerugian pada keuangan negara adalah korupsi. Diatur dalam pasal
2 UU Nomor tahun 1999 Jo. UU Nomor 22 tahun 2001.[18]
DONGENG
RAKYAT 1
“Dendam Jaka Linglung”
Masyarakat Grobogan
sudah tidak asing lagi dengan Bledug Kuwu. Ini adalah nama sebuah letusan kawah
dari dalam bumi yang terjadi terus-menerus. Menurut cerita, Bledug Kuwu adalah
semburan napas Jaka Linglung. Jaka Linglung adalah putera mahkota Prabu Aji
Saka yang berwujud naga. Namun Aji Saka tidak mengakui dia sebagai anak. Prabu
Aji Saka baru akan mengakui Jaka Linglung sebagai anak jika ia bisa mengalahkan
Prabu Dewata Cengkar. Raja berwujud buaya putih yang menguasai laut selatan.
Ukurannya beragam, dari yang seukuran sumur sampai yang sebesar rumah penduduk.
Cerita dimulai ketika
seorang pangeran dari negeri seberang bernama Aji Saka datang ke pulau Jawa. Dia
mendarat di Ujung Kulon lalu melanjutkan perjalanan darat hingga sampai di
kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Dewata Cengkar, raja
raksasa yang senang makan manusia. Tentu saja rakyat dibuat resah. Sebab,
setiap hari mereka harus menyediakan satu orang untuk dijadikan santapan sang
raja. Ketika datang di Medang Kamulan pertama kali, Aji Saka mampir di rumah
Janda Sengkeran. Janda inipun bercerita tentang kondisi kerajaan yang mencekam
karena dipimpin oleh raja raksasa yang senang makan manusia.
“Setiap hari kami harus
menyediakan satu orang untuk disantap Prabu Dewata Cengkar,” kata Janda
Sengkeran. Aji Saka merasa prihatin. Sebagai seorang keesatria ia tergerak
untuk membantu rakyat yag sedang tertindas. Maka, ia mencari akal agar segera
bisa bertemu dengan Prabu Dewata Cengkar. “Biarkan saya yang dimakan Prabu
Dewata Cengkar, Nyai,” pintanya. “Jangan anak muda, ini sangat berbahaya. Prabu
Dewata Cengkar benar-benar akan memakanmu,” Janda Sengkaran melarang. “Tidak
apa-apa, Nyai. Biarkan aku menemui dia,” pinta Aji Saka lagi. Karena Aji Saka
terus memaksa Janda Sengkeran tidak bisa berbuat apa-apa. Dia akhirnya
mengantar Aji Saka kehadapan Prabu Dewata Cengkar.
Namun, pertemuan itu
ternyata hanya strategi Aji Saka. Ketika hendak dimakan oleh Prabu Dewata
Cengkar ia menyampaikan sebuah syarat. “Prabu bisa memakan aku, tetapi jika
Prabu bisa memenuhi permintaanku,” katanya. Prabu Dewata Cengkar tak menolak.
“Apa permintaan kamu?” tanya Prabu Dewata Cengkar. “Berikanlah aku tanah seluas
ikat kepala yang aku pakai,” jawab Aji Saka. Prabu dewata Cengkar tak berpikir
panjang. Ia pikir tanah selebar ikat kepala tidak ada artinya dibanding
kerajaannya yang luas. “Baiklah, permintaanmu akan aku penuhi,” jawabnya dengan
hati girang. Maka prajurit Prabu Dewata Cengkar melepas ikat kepala Aji Saka.
Namun di luar dugaan, ketika ikat kepala itu direntangkan ternyata sangat luas.
Demikian luas ikat kepala itu sehingga cukup untuk menutupi seluruh wilayah
kerajaan Medang Kamulan.
Akhirnya seluruh tanah
itu menjadi milik Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar pun diusir hingga terdesak ke
dekat laut. Namun, di sana pun ikat kepala Aji Saka masih bisa direntangkan
sehigga Prabu Dewata Cengkar terlempar ke laut. Raja raksasa itu berubah
menjadi buaya putih yang mendiami laut selatan. Konon, setelah berubah menjadi
buaya putih Dewata Cengkar mendirikan sebuah kerajaan di sana. Setelah
kepergian Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka diangkat menjadi raja. Dia memerintah
dengan adil sehingga rakyatnya sejahtera.
Meski demikian, ia
merasa hidupnya belum lengkap tanpa permaisuri. Lagipula ia menginginkan anak
yang kelak akan menggantikannya. Keinginan Prabu Aji Saka cepat menjadi
pemberitaan. Seluruh rakyat membicarakan hal itu di mana-mana. Bahkan, kabar
bahwa sang raja sedang mencari permaisuri terdengar pula sampai negeri
seberang. Sampai suatu hari ada seorang puteri dari kerajaan seberang
mengajukan diri. Awalnya Prabu Aji Saka ragu untuk menerima puteri ini. Sebab,
mereka belum kenal sama sekali.
Namun, mengingat
pernikahannya bisa menjalin hubungan dengan kerajaan tetangga, Prabu Aji Saka
akhirnya menikahinya. Pesta diadakan dalam beberapa malam. Rakyat diundang
untuk menikmati berbagai makanan dan minuman di istana. Meski cantik,
permaisuri ternyata punya sejumlah watak tidak terpuji. Dia senang berdandan berlebihan. Koleksi
pakaiannya menumpuk di kamar. Tapi itu masih belum juga cukup. Untuk membiayai
kesukaannya itu, ia sering mengambil kas kerajaan. Namun, uang yang ia miliki
tidak cukup. Untuk membiayai kesukaannya itu, ia sering mengambil kas kerajaan
tanpa sepengetahuan raja.
Demikian kebiasaan
buruk permaisuri terus berlangsung, termasuk saat ia hamil. Akibat
perbuatannya, terjadilah sebuah peristiwa yang sangat mengagetkan. Saat
permaisuri melahirkan yang keluar adalah naga. Seluruh warga kerajaan menjadi
heran, termasuk Prabu Aji Saka sendiri. Ia sangat malu dan tidak habis
mengerti, mengapa Dewata memberinya kutukan seperti itu. Padahal ia sudah
berusaha memimpin kerajaan sebaik mungkin, memberikan pelayanan terbaik bagi
rakyatnya. Melihat anak yang dilahirkannya adalah seekor naga, sang permaisuri
sangat menyesal. Ia menangis lantaran merasa bersalah.
Kemudian, sambil
tersedu-sedu ia mengakui bahwa selama ini sering mengambil kas kerajaan untuk
membeli berbagai kebutuhan pribadi. Sebagai seorag permaisuri ia memang bisa
keluar masuk tempat penyimpanan harta kerajaan. Merasa marah sekaligus malu,
Prabu Aji Saka tidak mau mengakui bayi naga yang kemudian diberi nama Jaka
Linglung itu, sebagai anaknya. Ia kemudian mengusir bayi naga yang baru lahir
itu keluar kerajaan.
Dengan perasaan sedih,
Jaka Linglung pun akhirnya pergi meninggalkan kerajaan. Ia mengembara ke
berbagai tempat di Jawa. Dalam pengembaraan itulah ia mulai belajar berbagai
ilmu. Ia merasa sangat terhina karena tidak diakui Prabu Aji Saka sebagai
anaknya. Suatu saat ia ingin kembali ke kerajaan untuk memberontak dan meminta
hak-haknya sebagai putra raja. Maka, ketika Jaka Linglung beranjak dewasa dan
semakin sakti, ia memutuskan menuju kerajaan. Ia ingin menegaskan bahwa ia
adalah putera Aji Saka. Jika Prabu Aji Saka tetap tidak mengakui ia sebagai
puteranya maka ia akan memberontak. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Jaka
Linglung merasa siap jika harus berhadapan dengan ribuan prajurit kerajaan.
Namun, suasana sudah berubah
ketika Jaka Linglung sampai di kerajaan. Beberapa waktu terakhir ini kerajaan dalam kondisi tidak aman.
Kerajaan sering diteror oleh Dewata Cengkar. Bahkan raja yang selama ini hidup
sebagai buaya putih di laut selatan itu berencana akan membalas dendam.
Sementara itu, prabu Aji Saka telah mulai tua. Kesaktiannya jauh berkurag
dibanding ketiak ia masih muda. Selain
itu juga ia sedang dirundung sedih karena sepeninggal Jaka Linglung ia tak
pernah dikaruniai anak lagi. Ia khawatir jika suatu saat ia meninggal tidak ada
yang menggantikannya.
“Jaka Linglung, kau
tidak perlu memberontak. Kerajaan ini sudah tidak seperti dulu. Pasukan raja
Dewata Cengkar berulang kali membuat kerusuhan. Mereka bahkan akan menyerbu
kerajaan ini. Jika kamu memang benar-benar anakku, mestinya kau memiliki
kesaktian untuk mengalahkan Dewata Cengkar. Kalahkan Dewata Cengkar, buktikan
bahwa kau benar-benar anakku, maka kau akan aku akui,” kata Prabu Aji Saka.
Mendapat tantangan itu,
Jaka Linglung lantas bergegas menuju pantai selatan. Sampai disana ia bertemu
dengan Ratu Laut Kidul yang sedang resah. Pasalnya, beberapa waktu terakhir
kerajaannya juga sering diganggu prajurit Dewata Cengkar. Menndengar kabar
bahwa Jaka Linglung akan membunuh Dewata Cengkar, Ratu Laut Kidul sangat
bahagia. Kalau benar-benar Jaka Linglung berhasil, kerajaannya akan bebas dari
gangguan. Ratu Laut Kidul bahkan berjanji, jika Jaka Linglung berhasil, akan ku
nikahkan engkau dengan anakku, Retno Blorong,” kata Ratu Laut Kidul.
Mendapat janji itu,
Jaka Linglung menjadi semakin semangat. Ia pun segera mendatangi Dewata Cengkar
untuk berduel. Keduanya sama-sama sakti. Pertarungan berlangsung hingga
beberapa hari. Namun karena Jaka Linglung telah belajar banyak saat mengembara,
akhirnya ia bisa mengalahkan Dewata Cengkar. Jaka Linglung sangat senang.
Seperti yang dijanjikan Ratu Laut Kidul, ia pun dinikahkan dengan Retno
Blorong. Jaka Linglung kemudian diangkat menjadi Raja Laut Kidul. Namun, ia di
sana tak lama. Ia teringat degan ayahnya, Prabu Aji Saka, di Medang Kamulan.
Berangkatlah ia dengan Retno Blorong, istriya ke sana. Jaka Linglung mengarah
ke barat, melewati samudera. Namun
karena merasa perjalanan lewat laut terlalu lama ia membelokkan arah untuk
lewat dalam tanah. Di Kuwu ia beristirahat cukup lama. Saat Jaka Linglung
beristirahat dalam tanah inilah napasnya ternyata menjembul ke permukaan
menjadi kawah. Warga di sana menyebutnya degan Bledug Kuwu. Sampai sekarang
bekas napas Jaka Linglung masih ditemukan di daerah Grobogan. (Rahmat
Petuguran)
Panduan Pertanyaan
Adapun pertanyaan yang dapat diajukan
guru kepada siswa diantaranya[19]:
1. Sebutkan
4 tokoh utama dalam cerita “Jaka Linglung”
2. Apa
yang dilakukan oleh Permaisuri Prabu Aji Saka?
3. Apa
akibat dari perbuatan sang permaisuri Prabu Aji Saka tersebut?
4. Apa
yang terjadi dengan bayi Jaka Linglung?
5. Apa
yang dilakukan Jaka Linglung dalam mengalahkan Pasukan Raja Dewata Cengkar?
6. Apa
makna cerita Jaka Linglung jika dikaitkan dengan kejujuran?
DONGENG RAKYAT 2
“Asal Mula Lemah
Gempal”
BANJIR
di Semarang telah terjadi sejak lama. Sejak zaman penjajahan Belanda, kawasan
pesisir utara Jawa ini sudah jadi langganan banjir. Hal itu tidak mengherankan
sebab Semarang adalah dataran rendah dan dekat dengan laut. Keadaan seperti itu
sangat meresahkan masyarakat. Jika terjadi banjir, tidak sedikit harta penduduk
hanyut dibawa air. Bahkan sering pula menyebabkan korban jiwa. Selain membuat
warga gelisah, banjir juga membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir.
Pasalnya, setiap banjir gedung-gedung pemerintah ikut tergenang. Akibatnya,
surat-surat penting basah atau hilang terbawa air. Lingkungan pun menjadi
tampak kumuh dan tidak sehat .
Selain
itu, banjir membuat stasiun Poncol dan Tawang tidak beroperasi dengan normal.
Akibatnya, kereta api dari luar kota terlambat. Menghadapi kondisi itu,
pemerintah Hindia Belanda segera mencari akal. Asisten residen Semarang saat
itu, GI Blume mengumpulkan para insinyur untuk dimintai saran. Mereka yang
datang antara lain ahli sungai, ahli tata kota, dan ahli sanitasi.
Setelah
diskusi selama berhari-hari, para insinyur menyarankan supaya pemeritah
membangun kanal. Kanal adalah parit besar yang berfungsi sebagai sungai. Kanal
digunakan untuk mengurangi debit air pada sebuah sungai sehingga potensi banjir
dapat dikurangi. Seperti proyek lain pada umumnya, pembangunan banjir kanal
dimulai dengan membuat pemetaan. Van Bomel, seorang insinyur kelahiran Belanda
yang telah tujuh tahun mempelajari Semarang, diminta membuat rancangan jalur
yang akan dilewati banjir kanal. Ia menyarankan banjir kanal dibuat ditarik
garis lurus dari hulu hingga ke bibir pantai. Dengan begitu, air akan lebih
mudah mengalir.
Ketika
Bomel segera memulai pembangunan, dia didatangi pria Belanda lain bernama Lacht
atau yang biasa dipanggil dengan tuan Lacht. Tuan Lacht seorang pengusaha yang
sukses. Sejak zaman VOC dia salah satu pedagang sukses. Selain membeli hasil
bumi di Jawa lalu menjualnya ke Belanda, ia juga membeli sejumlah perkebunan di
Semarang. “Tuan Lacht, benar-benar sebuah kehormatan Tuan datang ke tempat
saya,” kata Van Bomel saat menyambut tamunya itu di rumah. Van Bomel tinggal di
kawasan Candi, sebuah daerah di kawasan atas yang sejuk. “Aku dengar kau dapat
perintah dari Tuan Residen untuk membangun kanal,” tanya Tuan Lacht. “Benar
sekali Tuan Lacht. Kota ini semakin tidak nyaman karena banjir,” katanya.
“Well. Bagus sekali. Aku harap kanal
buatanmu bagus buat mengurangi banjir. Sudah bertahun-tahun aku tinggal di
sini, banjir memang sangat mengganggu,” balas Tuan Lact lagi. Perbincangan dua
orang Belanda tadi berlangsung lama. Sambil menikmati minuman hangat, mereka
bicara di beranda rumah. Kebetulan cuaca Semarang cerah siang itu. Pemandangan
terlihat sangat bagus. Jelang sore Tuan Lact berpamitan. Namun ada sesuatu yang
membuat Bomel merasa canggung. Tiba-tiba saja Tuan Lacht mengeluarkan amplop
berisi uang dari dalam jasnya. “Dua bulan lalu aku untung besar, kamu tahu ‘kan
harga lada sekarang sedang bagus. Aku ingin berbagi keuntungan ini dengan
kamu,” katanya, menyodorkan amplop. Bomel kaget. Ia merasa aneh dengan tawaran
Tuan Lacht. Pasalnya, ia sama sekali tidak membantu apa-apa atas kesuksesan
Truan Lacht. Meski sama-sama tinggal di Semarang, merekapun sebenarnya
sama-sama jarang bertemu. “Tidak perlu begitu Tuan Lacht. Aku Tidak bisa terima
pemberian ini,” tukas Bomel. Namun Tuan Lacht sedikit memaksa. Ia memasukkan
amplop yang dipegangnya ke dalam saku celana Bomel. “Kau terima saja, ini cuma
hadiah. Anggap saja tanda persahabatan,” kata Tuan Lacht sambil memasukkan
amplop ke saku Bomel. Bomel tak bisa menolak lgi.
Setelah
pertemuan itu mereka tidak bertemu lagi. Tuan Lacht kembali sibuk mengurusi
bisnis dan perkebunannya, sedangkan Bomel mulai sibuk dengan proyek banjir
kanalnya. Akhirnya Bomel menggunakan pemberian Tuan Lacht untuk membeli sebuah
vila baru di Semarang Atas. Di Semarang ada dua buah kanal. Di sebelah timur
disebut banjir kanal timur, sedangkan disebelah barat disebut banjir kanal
barat. Bomel memilih mengerjakan kanal banjir barat lebih dulu karena dianggap
lebih penting.
Awalnya
Bomel berencana menarik garis lurus dari hulu hingga ke laut. Namun, ketika ia
meninjau lapangan, garis lurus itu menabrak sebuah kebun. Seorang penjaga kebun
memberi tahu bahwa kebun itu milik Tuna Lacht. Tiba-tiba saja Bomel merasa tak
enak hati. Jika banjir kanal tetap dibuat lurus akan membut sebagian kebun
rusak. Tentu saja akan menimbulkan kerugian bagi pemiliknya.
Merasa
tak enak hati dengan Tuan Lacht. Bomel kemudian merancang ulang kanal yang akan
dibangunnya dengan sedikit membelokkan rancangannya. Menurut prediksinya,
pembelokan tidak akan berpengaruh terhadap hasil. Namun prediksi Bomel keiru.
Muncul masalah ketika para pekerja mulai membangun tanggul pada sebuah titik di
Kaligarang. Pekerja dibuat bingung karena di situ tanggul sulit sekali dibuat.
Tanah tanggul berkali-kali longsor. Begitu para pekerja kembali memperbaiki,
tanah kembali longsor. Begitu seterusnya hingga berkali-kali.
Merasa
pekerjaannya sia-sia, seorang pekerja melapor kepada Bomel untuk minta saran.
Maka dicarilah berbagai teknik supaya tanggul bisa dibangun kembali. Namun,
setiap kali tanggul dibangun dengan teknik yang dianggap paling bagus, tanggul
kembali longsor. Kejadian itu berlangsung beberapa kali.
Siang
mulai terik pada saat itu. Matahari mulai meninggi. Bomel dan para pekerja
merasa kepayahan berkumpul di bawah pohon tak jauh dari lokasi, tak tahu harus
berbuat apa. Dalam diam, seorang pekerja mengusulkan supaya minta bantuan orang
pintar. Dia yakin, apa yang terjadi dengan tanggul itu diluar akal. “Pak, bagaimana
kalau kita minta bantuan orang pintar? Di daerah sini banyak Kyai,” usul
pekerja itu, dengan wajah berpeluh keringat. Mendengar usulan itu, sang
insinyur menolak. Ia menilai, minta bantuan Kyai bukanlah solusi yang bagus.
Dalam benaknya, Kyai tak mungkin tahu soal konstruksi. Namun para pekerja yang
hampir putus asa itu terus mendesak. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” Semua
cara sudah kita coba. Kalau proyek ini tidak segera selesai, nanti akan datang
musim hujan. Kita akan semakin sulit mngerjakannya,” lanjut pekerja itu.
Pekerja lain tampak setuju. “Iya, benar Pak. Kalau terus meerus seperti ini,
pekerjaan kita akan sia-sia,” timpal pekerja lainnya.
Menerima
saran dari para pekerjanya, Bomel mulai berpikir keras. Ia memandang beberapa
saat tanggul yang berkali-kali longsor. Setelah itu ia memandang wajah para
pekerja-pekerjanya. Wajah pekerja-pekerja itu membuat Bomel prihatin, sebab
pekerjaan selama berhari-hari berakhir sia-sia. Ia pun memutuskan, “Ya, kalau
memang itu yang menurut saudara-saudara paling baik, silahkan lakukan.Tapi
ingat, kalau gagal saudara-saudara harus berani menanggung resikonya.”
“Maksudnya?” Tanya salah seorang pekerja setelah mendengar kata Bomel. Ia
tampak tak mengerti. “Saudara-saudara harus berhenti bekerja,” kata pemimpin
proyek. “Baik, kami akan bertanggung jawab,” jawab para pekerja secara
serentak.
Perbincangan
siang itu segera berakhir. Dua pekerja diutus untuk menemui seorang Kyai
terkenal di Semarang. Sementara itu pekerja yang lain pulang ke rumah masing-masing
sambil menunggu kabar. Dua pekerja yang diutus menemui Kyai baru sampai di
kediaman pemuka agama itu pada sore hari. Matahari hampir tenggelam. Awan di
ufuk barat merah keemasan. “Kami sedang dibuat susah, sudah berhari-hari
membangun tanggul tapi selalu longsor. Menurut Kyai apa yang harus kami
lakukan?” tanya salah seorang pekerja. “Ini pelajaran untuk kita. Teguhlah pada
pendirian, pada niat baik, dan jangan mudah tergoda,” katanya. Dua pekerja itu
tampak bingung. Mereka tak paham. “Setelah keluar dari rumah ini, kalian
ambillah sebuah batu dari sebelah kanan rumah dan sebuah lagi sebelah kiri
rumah ini. Tanamlah kedua batu tersebut pada salah satu bagian tanggul yang
sedang kalian kerjakan,” lanjut Kyai. “Dan tolong, sampaikan kepada atasanmu
teguhlah dalam pendirian. Jangan mudah tergoda. Godaan akan datang silih
berganti, dan hanya orang yang berteguh hati yang bisa mengatasi,” nasihat
Kyai. Tanpa menanyakan maksud Kyai lebih lanjut, kedua pekerja itu bergegas
pulang. Tidak lupa, mereka mengambil dua batu dari samping kanan dan kiri
rumah.
Keesokan
harinya para pekerja telah berkumpul di lokasi pembangunan tanggul. Mereka
berencana menanam batu yang mereka bawa dari runah Kyai secara bersama-sama.
Van Bomel sebagai perancang kanal pun datang utuk menyaksikan. Ia ingin tahu
apakah saran Kyai akan berhasil. Saat itulah sebuah keajaiban terjadi. Ketika
para pekerja selesai menanam batu, tanggul-tanggul yang longsor kembali
menyatu. Tanah uruk yang semula lembek (gempal) berubah menjadi keras. Tanggul
menjadi seperti saat dibangun. Para pekerja bingung bercampur takjub. Demikia
pula Van Bomel. Ia seperti tidak percaya dengan hal yang baru dilihatnya.
Karena penasaran dia mendekati dua pekerja yang kemarin menemui Kyai. “Apa yang
kemarin Kyai lakukan sehingga sekarang bisa seperti ini?” tanya Bomel. “Beliau
meminta kami membawa dua batu dari samping rumahnya. Kyai juga titip pesan
supaya kita berpegang teguh dan tidak mudah tergoda. Menurutya godaan akan
datang terus, namu hanya orang-orang yang berteguh hati yang bisa
mengatasinya,” urai salah seorang pekerja. Mendengar ucapan dua pekerjanya itu,
Bomel benar-benar kaget. I teringat, bencana longsornya tanggul mulanya terjadi
karena ia membelokkan jalur kanal dari yang semestinya. Itu ia lakukan karena
ia tidak enak hati dengan Tuan Lacht yang telah memberinya sejumlah uang.
Dari
situlah dia paham maksud pesan pak Kyai. Uang yang diberikan Tuan Lacht,
meskipun ia tidak pernah meminta, merutuhkan keteguhan hatinya. Akibatnya, ia
justru memutuskan hal yang tidak semestinya. Sejak saat itu Bomel selalu
menolak pemberian uag dan barang yang tidak jelas maksudya. Lebih-lebih jika
bisa mengganggu keputusan-keputusannya sebagai insinyur dan pimpinan proyek.
Untuk mengenang peristiwa itu Bomel megusulkan kepada para pekerja untuk
memberi nama tempat tersebut Lemah Gempal. Lemah artinya tanah, gempal berarti
mudah longsor. (Rahmat Petuguran)
Pertanyaan Pengantar Diskusi
1. Apa
iti cerita dari dongeng “Asal Mula Tanah Gempal”?
2. Siapakah
Tuan Lacht? Apa yang diberikan Tuan Lacht kepada Van Bomel?
3. Apa
tujuan Tuan Lacht memberikan hadiah uang pada Tuan Van Bomel?
4. Apa
yag kemudian terjadi pada pengerjaan tanggul-tanggul yang dilakukan oleh Van
Bomel dan para pekerjanya?
5. Apa makna dongeng “Asal Mula Tanah Gempal”?
Nilai apa saja yag terjadi dalam dogeng tersebut?
DONGENG
RAKYAT 3
“ Saribin dan Sunan Kuning”
DAHULU sekali di sebuah
tempat di Kadipaten Semarang, hidup seorag petani dan peternak bernama Saribin.
Selain bertani Mbah Saribin dikenal memiliki ilmu agama yang luwih (lebih dan
mendalam). Dia mendirikan pesantern yang
memiliki puluhan santri. Kehidupan di pesatren pak Saribin sangat menyenangkan.
Para pemuda dan pemudi datang mengaji. Mereka tinggal di sebuah pondok bambu
beratap ijuk. Mereka mengaji sebelum dan sesudah subuh. Siang hari mereka
menggembala kerbau milik sag Kyai. Jelang asar mereka baru ke pondok lagi untuk
ngaji. Meski menempati tempat sederhana, pesantren Mbah Saribin terkenal sampai
ke luar kota. Kabar adanya pesantren itu akhirnya didengar saudagar kaya dari
Lasem, Lembang bernama Siek Sing Kang. Dia perempuan keturunan Cina yang sukses
berjualan kain. Suatu ketika Siek Sing Kang datang ke pesantren dengan membawa
sebutir permata. “Kyai aku sumbangkan permata ini untukmu. Semoga bisa kau
guakan untuk membangun pesantren,” kata perempuan dermawan itu.
“Tidak perlu repot,
kami terbiasa hidup sederhana”, jawab Mbah Saribin, sungkan. “Tidak apa-apa,
hartaku masih cukup banyak. Tidak elok kalau semua aku nikmati sendiri.”
“Baiklah, semoga amal baik Nyi Sanak di balas oleh Tuhan,” jawab Mbah Saribin
lagi. Setelah Siek Sing Kang pulang, Mbah Saribin duduk termeung di
padepokannya. Ia memandangi sebutir permata yang baru diterimanya. Ia berpikir
kemana harus menjual beda berharga itu. Karena lebih banyak mengelola
pesantren, Mbah Saribin jarang menemukan tempat penjualan permata. Akhirnya
Mbah Saribin memutuskan untuk menyimpannya lebih dulu. Hari berlalu, minggu
berganti dan bulan menjelang.
Anak laki-laki Mbah
Saribin berencana menikah. Tetu saja sebagai keluarga mempelai laki-laki Mbah
Saribin perlu bayak biaya. Selain untuk seserahan, biaya diperlukan untuk mas
kawin. Ia memutuskan untuk menjual beberapa ekor kerbaunya. Toh, dia puya
puluhan kerbau yang biasa digembalakan santrinya. Sayangnya menjual kerbau
dalam jumlah banyak tidak mudah. Bahkan di pasar sekalipun umumya mereka hanya
membeli satu atau dua ekor saja.
Saat itulah Mbah
Saribin teringat pernah menyimpan permata pemberian Siek Sing Kang. Ia
memutuskan menjual permata itu. Mbah Saribin berencana akan menggantinya dengan
beberapa ekor kerbau, setelah pernikahan anaknya selesai.
Namun, kadang-kadang
manusia tidak bisa mengelak dari lupa. Beberapa bulan setelah pernikahan
anaknya selesai, Mbah Saribin tak mengganti permata yang dijualnya. Padahal
permata itu disumbangkan untuk kemakmuran pesantren.
Suatu malam, hujan
turun deras. Mbah Saribi dan para satri tidur amat nyenyak setelah mengaji
hingga tengah malam. Saat mereka bangun, puluhan kerbau di kandang Mbah Saribin
raib. “Kyai semua kerbau kita tidak ada. Kami tidak tahu kemana perginya!” kata
seorang santri, sambil lari tergopoh-gopoh. Mbah Saribin pun segera menuju
kandang. Ia menyaksikan kandagnya kosong. Puluhan kerbau yang dipeliharanya
bertahun-tahun lenyap. Anehnya tidak ada jejak kemana kerbau itu berlari.
“Maafkan kami, Kyai. Semalam kami tidur terlalu pulas,” kata santri itu lagi.
“Bukan salah kamu, Le (tole: anak dalam bahasa Jawa). Nanti siang kita cari
bersama-sama,” jawab Mbah Saribin.
Ketika siang mulai
beranjak dan hari telah terang, Mbah Saribin pergi bersama santrinya. Mereka
menyisir kebun-kebun di dekat pesantren. Namun, hingga hari kembali petang,
kerbau-kerbau itu tidak ditemukan. Ketika bertanya kepada warga sekitar, tidak
ada warga yang mengaku melihatnya. Pencarian kerbau pu berlagsug selama
beberapa minggu. Para santri mulai kebigungan kemana harus mencari
kerbau-kerbau itu. Tak mau menyerah, Mbah Saribin akhirnya mencari sendiri. Ia
pergi ke sebuah hutan selama beberapa hari. Tidak terasa, perjalanan Mbah Saribin
sampai di perbukitan kembar yang bernama Widoro Kandang dan Widoro Kayangan.
Pepohonan di kedua perbukitan tersebut tumbuh subur sehingga udara terasa
sejuk.
Saribin melepas lelah
dengan duduk di bawah sebatang pohon. Ia pun tertidur karena kelelahan. Dalam
tidurnya Saribin bermimpi di datangi oleh seorang laki-laki tua. Kakek itu
berambut dan berjenggot putih. “Saribin, apa yang kamu cari sampai kamu pergi
jauh-jauh kesini?” tanya lelaki tua tersebut. “Saya mencari kerbau saya yang
hilang, Mbah. Sudah beberapa hari kami cari dan belum ketemu,” jawab Saribin.
Mendengar jawaban Saribin ,laki-laki tua itu mendekat lalu berkata, “Mestinya
kau tidak mencari sampai ke sini. Kerbau itu tidak pergi kemana-mana.” Saribin
bingung. “Apa yang Mbah maksudkan?” tanyanya. “Ingatlah, peliharalah rezeki
orang lain, maka Tuhan akan memelihara rezeki-rezekimu,” kata lelaki tua itu.
Mbah Saribin terbangun. Ia mengusap wajahnya yang kelelahan. Sembari memandang
jauh, ia coba menerka-nerka makna pesan lelaki tua yang dijumpainya dalam mimpi
itu.
“Peliharalah rezeki
orang lain, maka Tuhan akan memelihara rezekimu,” gumamnya, mengingat-ingat.
Saat itulah ia teringat tentang permata pemberian Siek Sing Kang, perempuan
kaya yang dulu dititipkan kepadaya untuk membangun pesantren. Namun Mbah
Saribin justru menggunakannya untuk membiayai pernikahan anaknya. “Duh Gusti,
ampuni kekhilafan hamba,” desahnya. Tak lama kemudian Mbah Saribin pulang. Ia
menghabiskan seluruh uang yang disimpanya untuk membagun pesantren. Pondok
bambu ia perkuat dengan kayu. Atap ijuk yang bocor ia tambal. Hlaman pesantren
ia hias dengan aneka tanaman. Para santri bergotong royong membantu hingga
pondok menjadi sangat indah dan nyaman. Para santri semakin giat belajar.
Merasa utangnya telah
terbayar, Mbah Saribin merasa lebih tenang. Ia sadar kekayaan tidaklah
memberika ketenangan hidup. Karena itu, ia berencana kembali ke bukit. Di sana
ia ingi bertapa, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Ada apa, Le
sampai kamu ke sini lagi? Kini mereka juga kembali bertemu dalam mimpi. “Saya
sengaja ke sini untuk bertapa. Saya ingin lebih dekat kepada Tuhan,” jawabnya.
Ya, kamu boleh bertapa. Tapi ada sesuatu yang ingin aku kembalikan pada kamu,”
ujar si kakek. “Apa itu, Mbah?” “Lihatlah, ini kerbau-kerbaumu,” katanya sambil
menunjuk ke suatu arah. Saribin terkejut dan terbangun. Dia hampir tak percaya
dengan apa yang disaksikannya. Seluruh kerbau miliknya ada depan matanya
sekarang. Kerbau-kerbau itu terikat pada sebuah pohon yang mengeluarkan aroma
harum. Maka, digiringlah kerbau-kerbau miliknya kembali pulag ke kandang.
Ia menyerahkan
kerbau-kerbau itu kepada para santri. Niatnya untuk bertapa telah bulat. Ia
memilih ke bukit lagi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. “Kalau kau memang
ingin bertapa di sini, aku hanya ingin titip satu hal,” pesa lelaki tua itu.
“Apa itu, Mbah?” tanya Saribin penasaran. “Tempat yang kau gunakan untuk
bertapa ini dulu perah aku gunakan untuk berdiskusi bersama dua sunan yang terkenal
di Pulau Jawa. Mereka adalah Kanjeng Sunan Kali atau Mangkurat Mas dan Kanjeng
Sunan Ambarawa atau Syaik Maulana Maghribi Kendil Wesi,” katanya.
Saribin mendengarkannya
dengan cermat. “Pesan saya, rawatlah tempat ini dengan baik-baik. Mudah-mudaha
Allah akan memberi kemudahan kepada engkau dan anak keturunanmu.”
Begitu selesai kalimat
itu, hilang pulalah sosok lelaki tua itu. “Mbah Saribin baru tahu, lelaki tua
yang mengajaknya bicara adalah Sunan Kuning, salah seorang Sunan yang berjasa
menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Sejak saat itu, Saribin semakin mantap
bertapa. Ia merawat tempat tersebut dengan baik. Ia membuatkan pelidung berupa
rumah kecil.
Ketika kabar bahwa petilasan sunan
kuning ditemukan, banyak warga berkunjung. Mereka berziarah. Pada hari-hari
tertentu khususnya pada malam Jum’at kliwon, banyak penduduk sekitar yang
datang berziarah ke tempat itu. Saribin kemudian dikenal sebagai juru kunci
petilasan tersebut. Sampai sekarang, petilasan itu masih ada. Tempat itu kini
lebih dikenal dengan Sunan Kuning dan terletak di Wilayah Kecamatan Semarang
Barat, Kelurahan Kali Banteng Kulon, kurang lebih satu setengah kilometer dari
Bandara Ahmad Yani. (Rahmat Petuguran).
Pertayaan:
1. Apa
inti cerita dari dongeng Saribin dan Sunan Kuning?
2. Siapakah
Siek Sing Kang? Apa yang diberikannya kepada Saribin?
3. Apa
yang dilakukan Saribin dengan permata yang dititipkan oleh Siek Sing Kang
kepadanya?
4. Disebut
apakah tindakan Saribin menggunakan permata titipan Siek Singkang untuk
keperluan pribadinya?
5. Apa
yang kemudian terjadi pada kerbau-kerbau milik Saribin?
6. Apa
makna dongeng Saribin dan Sunan Kuning? Nilai apa saja yang terdapat di
dalamnya?
3.
Tema : “Kisah Sirih Belanda dan
Persahabatan”
Nilai Karakter : Kerja keras dan jujur
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia, PKN, PAI, BK
Pengantar
Kisah berikut ini dapat
dijadikan sebagai bahan ajar dalam pendidikan karakter “kerja keras” dan
“jujur”. Membangu karakter kerja keras ada dalam berbagai mata pelajaran.
Seperti BK (Bimbingan Konseling) yang bertujuan untuk menyemangati peserta didik
agar tidak cepat putus asa dalam mewujudkan cita-citanya maupun menggapai
mimpi-mimpinya. Kisah ini juga digunakan untuk bidang studi pendidikan agama,
ketika membahas nasib dan takdir. Bahan ajar ini juga bisa digunakan dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia untuk kompetensi membaca cerita pendek. Kisah ini
penulis dapatkan melalui internet, diunduh dari blog lautan Indonesia kategori
“kisah ispiratif” pada alamat http://diosdias.wordpress.com/
category/kisah-inspiratif/[20]
Adapun judul asli dari
tulisan ini adalah Kisah Inspiratif: Sirih Belanda yang ditulis diosdias. Kisah
ini sangat menyentuh, menggugah dan menginspirasi pembentukan karakter kerja
keras dan nilai kejujuran. Ketika seseorang tetap teguh pada prinsip hidupnya
untuki terus menjaga kejujuran, teranyata dia menemukan kenyataan harus
tersingkir. Jujur itu sangat mahal dan sangat langka.
Ada beberapa teks dalam
tulisan ini yang coba Retno Listyarti tambahkan untuk lebih memperkuat karakter
tanpa mengubah cerita asli dan substansi pesan moralnya. Berikut kisah “Sirih
Belanda dan Persahabatan” yang dapat dijadikan
bahan ajar karakter di ruang kelas.
“Kisah Sirih Belanda dan Persahabatan”
dalam Karakter Kerja Keras dan Jujur
Asti baru saja selesai
merenovasi rumahnya dua bulan yang lalu. Dia memang sangat ingin memiliki taman
di belakang rumahya untuk dia bisa duduk-duduk di pagi dan sore hari saat ia
meikmati matahari dan kesegaran udara bebas. Asti memang menyukai alam dan
pecinta tanaman. Dia menanam dan merawat berbagai tanaman. Kini, Asti baru bisa
menikmati taman kecil di belakang rumahnya. Dauya yang menghijau degan semburat
kunig di beberapa tempat sangat segar dipandang mata. Asti sugguh tak menyangka
tumbuhan itu akan bertahan hidup.
Beberapa bulan lalu,
tumbuhan itu tertimbun bahan baguan. Tidak sekedar satu atau dua buah batu
bata, melainkan setumpuk beton bongkaran bagunan. Ya, Asti harus merenovasi
rumahnya. Akibatnya, beberapa tanaman kesayangannya harus dikorbankan, termasuk
sirih belanda yag kala itu baru saja ditanamnya. Dia merasa sayang sebenarnya
walaupun sirih belanda bukanlah tanaman mahal. Asti bisa saja membelinya lagi.
Namun, yang satu ini berbeda. Sirih belanda itu hadiah dari sobatnya sendiri.
Hari berganti hari,
bulan berganti bulan. Asti sudah melupakan kesedihannya kehilangan tanaman dari
sahabatnya. Namun, di suatu pagi yang cerah Asti melihat keajaiban yang tak
berai diharapkannya: sepucuk kecil sirih belanda mucul dari sela-sela bahan
bangunan. Betapa terkejutnya ai. Sirih belanda itu ternyata tidak mati!
berikutnya, pucuk-pucuk kecil yang lain bermuculan dari sisi bahan banguan itu.
Sampai hari ini sirih belada itu malah memenuhi taman kecil di belakang
rumahya. Sirih belanda memberi nuansa hijau yag segar denga semburat kunignya
yang cantik di taman.
Asti menghela napas.
Sangat dalam. Sirih belanda pemberian sahabatnya itu bertahan di bawah tekanan
sisa bahan bangunan. Namun, persahabatannya tidak. Persahabatannya
porak-poranda bak diterjang tsunami.
Asti teringat ketika
masa suram itu datang menimpanya. Ia diberhentikan dengan semena-mena denga
tuduhan bermacam-macam: koruptor, pencuri, penghasut, dan lain sebagainya.
Semuanya itu karena ia tidak mau ikut-ikutan bermain kotor di katornya. Asti
tetap teguh dengan prinsip jujur yang menjadi wataknya. Ganjarannya bagi orang
jujur seperti asti ternyata justru pengucilan sampai dengan pemecatannya. Asti
mengalami tekanan dan berbagai perlakukan tak adil namu dia tak diberi
kesempatan membela diri, bahkan terus-menerus mendapatkan fitnah dan jebakan.
Akhirnya Asti dipaksa mengudurkan diri dari tempat kerjanya tersebut.
Saat itu adalah saat
yang sangat gelap buat Asti. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah
ketika mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang dianggapnya sahabat ternyata
tidak seperti yang diduganya. Sahabatnya itu ikut juga melemparkan batu
kepadanya, ketika ia sedang jatuh terpuruk.
Asti merenung mengingat
kembali saat-saat itu. Persahabatan itu ternyata palsu. Ketika harus memilih
antara persahabatan degan jabatan, orang teryata lebih memilih jabatan.
Shabatnya itu harus ikut-ikutan melempar batu kepadanya, bila masih sayang
dengan jabatannya.
Kenyataan di depannya
itu telak menampar kepercayaannya selama ini. Selama ini asti yakin, tidak
mungki hal-hal duniawi mengalahkan nilai-nilai persaudaraan dan persahabatan.
Ternyata, ia keliru. Bila di suruh memilih, orang ternyata lebih suka pada
pilihan pragmatis.
Asti kecewa, sangat
kecewa, bahka terpukul. Namun, dia tidak mau terus terpuruk, dengan segala
upaya, usaha, dan kerja kerasnya, Asti menyusun kembali puing-puing mimpinya.
Ia bangkit menghadapi pahit da kerasnya hidup ini dan memulai karier yag baru
di tempat baru dan terus konsisten dengan prinsipya serta bekerja sagat keras.
Kini dia sudah menikmati pekerjaan dan karier barunya.
Sekarang, bila sedang
sedirian di taman belakang rumahya itu, mau tak mau Asti mengingat semuanya.
Namun, rimbun sirih belanda di sana seolah membisikkan sesuatu yang lain. Ia
tak boleh kehilangan semangat untuk berjuang.
Sirih belanda itu
sekarang tidak lagi membuatnya menangisi sahabatnya. Sebaliknya, tumbuhan itu
memberinya semangat baru. Semngat untuk terus melanjutkan hidup dan bertumbuh.
Jauh di lubuk hatinya,
ia berterima kasih pada mantan sahabatnya. Sirih belanda pemberian sahabatnya
itu telah memberinya setitik embun inspirasi kehidupan.
Langkah Pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1. Guru
menggandakan bahan ajar “Kisah Sirih Belada dan Persahabatan” sebanyak sisa
dalam satu kelas.
2. Kisah
ini kemudian dibacakan satu persatu siswa per aleia secara bergatian menurut
baris tempat duduk siswa. Dapat juga membetuk ligkaran, jika memungkinkan. Baca
kisah ini dua kali sampai seluruh siswa kelas membaca per alenia.
3. Setelah
dibaca, guru memfasilitasi diskusi denga memancig pertanyaan-pertanyaan kunci
kepada para siswa, seperti:
a. Apa
yang terjadi dengan asti dan sahabatnya?
b. Apa
karakter atau watak yang dimiliki Asti?
c. Nilai
karakter apa yang memiliki kaitan erat antara kisah hidup Asti dengan kisah
hidup sirih Belanda yang tertimbun reruntuhan bangunan selama beberapa bulan?
d. Apa
yang kamu lakukan jika kamu menjadi Asti?
e. Apa
yang kamu lakukan jika kamu menjadi sahabat Asti?
4. Guru
dan siswa mearik kesimpulan dari kisah ini dengan penguatan pada karakter kerja
keras dan jujur, di mana sisa diminta membuat cerita pendek tentang pengalaman
hidupya atau pengalaman orang lain yang dia tahu, dengan cerita yag menyentuh
dan menginspirasi orang lain.
4.
Judul/Tema : “Matematika
dalam Kisah Pisang dan Pengemis”
Nilai Karakter : Karakter peduli sosial dan peduli sesama
Mata Pelajaran :
Matematika kelas 2, 3 SD/MI, PKN, Bahasa
Indonesia, PAI (materi sadaqah, amal saleh)
Kisah ini dapat
dipergunakan untuk pembelajaran matematika SD/MI. Intinya adalah pelajaran
berhitung sederhana dalam konteks pembinaan karakter peduli sosial dan peduli
sesama.[21]
Adapun isi kisah
tersebut dapat dibaca dan dipahami guru sebelum dijadikan sebagai bahan
pembelajaran di kelas. Kisah tersebut sebagai berikut:
“Matematika dalam
Kisah Pisang dan Pengemis”
Ilo adalah anak
laki-laki berusia 7 tahun. Ia memiliki kakak perempuan yang bernama Audi
berusia 10 tahun. Di rumah Ilo tinggal bersama ayah, ibu, kakek, nenek, dan
kakaknya.
Suatu pagi di hari
minggu, ibu mengajak Ilo ikut berbelanja ke pasar tradisional dekat rumah. Ibu
hendak membeli pisang untuk sekeluarga. Sampai di pasar, ibu dan Ilo menuju
warung buah-buahan.
Ibu bertanya kepada
Ilo, “Ilo, coba kamu pilih pisang satu sisir untuk seluruh anggota keluarga
kita di rumah. Coba hitung berapa jumlahnya.”\
“Semuanya ada enam
termasuk Ilo, Bu,” jawab Ilo.
“Kalau setiap anggota
keluarga kita mendapat dua pisang, maka berapa jumlahnya,” tanya ibu.
“6 dikali 2 jadi 12
buah, Bu,” jawab Ilo setelah menghitung dengan bantuan jari tangan dan jari
kakinya. “Kalau begitu, carilah jumlah pisang yang satu sisirnya berisi 12
buah,” kata ibu dengan lembut.
Ilo tampak kebingungan,
pasalnya ia tidak menemukan satu sisir pisang yang berisi persis 12 buah. “Bu
tidak ada yang isinya persis 12 buah,” kata Ilo sambil garuk-garuk kepala.
“Carilah yang paling
mendekatai jumlah 12. Boleh lebih tetapi tidak boleh kurang dari 12,” saran
ibu. Ilo pun mulai menghitung kembali dan menemukan satu sisir pisang berjumlah
15. “Ini, Bu, ada yang jumlahnya 15 buah!” seru Ilo.
Setelah tawar-menawar,
Ibupun membayar harga pisang tersebut. Ibu dan Ilopun hendak pulang kembali ke
rumah. Namun, begitu keluar pasar, Ilo kasihan melihat seorang ibu yang membawa
anak kecil mengemis di pintu pasar.
“Bu, apakah aku boleh
memberikan kelebihan jumlah pisang yang tadi kita beli kepada ibu dan anak
pengemis itu?” pinta Ilo.
“Boleh, tapi jangan
mengurangi jatah keluarga kita, ya,” jawab ibu.
“Terima kasih, Bu, tadi
jumlah pisang 15 dan jumlah keluarga kita 12, berarti 15 dikurang 12 sama
dengan 3,” jawab Ilo sambil menghitung.
Ilo kemudian mengambil
3 pisang dan dilepaskan dari tandannya lalu memberikan kepada pengemis di depan
pintu gerbang pasar tersebut. “Terima kasih,” kata anak pengemis tersebut. Ilo
pun tersenyum sambil mengangguk dan meninggalkan pasar dengan senyum
kebahagiaan sambil menggandeng tangan ibundanya. Ibu pun tampak bangga pada Ilo
yang memiliki kepedulian sosial terhadap sesama.
Setelah
“Kisah Pisang dan Pengemis” tersebut dikisahkan, maka guru dapat mengemukakan
sejumlah pertanyaan kepada siswa SD saat pembelajaran matematika di kelas,
sebagai berikut[22]:
1.
Berapa jumlah seluruh anggota keluarga
Ilo?
2.
Berapa tahun perbedaan usia antara Ilo
dan kakaknya Audi?
3.
Berapa selisih antara jumlah pisang yang
dibeli dengan jumlah anggota keluarga Ilo?
4.
Apa pendapatmu atas tindakan Ilo
memberikan pisang pada pengemis di depan pasar?
5.
Tema/Judul : “Kisah air Mendidih dalam Karakter
Kerja Keras”
Nilai Karakter : Kerja Keras
Mata Pelajaran : BK, PAI, PKN
Kisah
berikut ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pendidikan karakter “kerja
keras”. Membangun karakter kerja kerasa ada dalam berbagai mata pelajaran,
seperti BK (Bimbingan Konseling) yang bertujuan untuk menyemangati peserta
didik agar tidak mudah putus asa dalam mewujudkan cita-citanya maupun
menananggapi mimpi-mimpinya. Bahan ajar ini bisa juga digunakan untuk bidang
studi pendidikan agama , ketika menghadapi nasib dan takdir.[23]
Kisah
ini penulis dapatkan dari internet, yang diunduh dari lautan indonesia untuk
kategori “kisah inspiratif” pada:
Penulis
“Kisah Air Mendidih” adalah Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas
Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kisah ini sangat menggugah
dan menginspirasi pembentukan karakter kerja keras. Ada beberapa teks yang coba
saya tambahkan untuk lebih memperkuat karakter tanpa mengubah cerita asli dan
substansi pesan moralnya. Berikut kisah yang dapat dijadikan bahan ajar
karakter di kelas.
“Kisah Air Mendidih
dalam Karakter Kerja Keras”
Pada
suatu hari, seorang anak yang sudah dewasa mengeluh pada ayahya mengenai
kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia
tidak tahu bagaimana harus menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah
untuk berjuang agar hidupnya lebih baik dari orangtuanya. Namun yang ia temui
adalah kesulitan demi kesulitan. Sepertinya, setiap kali satu masalah selesai,
timbul masalah baru.
Saat
si anak berkeluh kesah dan hampir menangis meratapi hidupnya, sang ayah diam
saja. Sang ayah medengarkan dengan sabar, menatap mata si anak dengan penuh
perhatia, dan sesekali tampak megangguk-aggukkan kepala. Setelah anaknya selesai
untuk menumpahkan kepediahannya, sang ayah mengelus-ngelus bahu si anak dan
kemudian dengan suara dalam sang ayah mengajak anaknya ke dapur. “Ayo, ikut
Ayah ke dapur, ayah ingin menunjukkan falsafah hidup padamu,” ujar sang Ayah.
Sang ayah langsung berdiri dari kursinya dan sang anak mengikutinya dari
belakang. Tampak kebingungan muncul di wajah sang anak.
Ayahnya,
yang memang berprofesi sebagai seorang koki, membawanya ke dapur. Sang ayah
kemudian mengisi tiga panci dengan air
dan menaruhnya di atas api. setlah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia
menaruh wortel di panci pertama, telur dipanci kedua, dan kopi bubukdi panci
terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.
Si
anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang
dikerjakan sang ayah, dan apa maknanya bagi keluh kesahnya tadi. Setelah 20
menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di
mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan
menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu
sang ayah bertanya kepada anaknya. “Apa yang kau lihat, Nak?” Si anak
menjawab”Wortel, telur dan kopi”. Ayah mengajaknya mendekat dan memintanya
merasakan wortel itu. Si anak melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu
terasa lunak. Ayahnya kemudian memintanya mengambil telur dan memecahkannya.
Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebutir telur rebus yang mengeras.
Terakhir, ayahnya meminta anaknya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika
mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah
itu si anak bertanya. “Apa arti semua ini ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa
ketiganya telah mengadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing
menunjukkan reaksi yag berbeda.
Wortel
sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus,
wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang
tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya
menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di
dalam rebusan air, bubuk kopi mengubah air tersebut.
“Kamu
termasuk yang mana, Nak?” tanya Ayahnya. “Ketika
kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya
penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan
kekuatanmu?”
Apakah kamu
adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut dan jiwa yang dinamis, namun
setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras
dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras
dengan jiwa dan hati yang kaku.
Ataukah kamu
adalah bubuk kopi? Bubuk kopi mengubah air panas, sesuatu yang menimbulkan
kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada sushu 100 derajat celsius.
Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu
seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi
semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik. (Dr.
Christina Siwi Handayani)[24]
1.
Guru menggandakan bahan ajar “kisah air
mendidih” sebanyak siswa dalam satu kelas.
2.
Kisah ini kemudian dibacakan satu
persatu per alenia secara bergantian menurit baris tempat duduk siswa. Dapat
juga membentuk lingkaran, jika memungkinkan. Baca kisah ini sampai dua kali
sampai seluruh kelas kebagian membaca per alenia.
3.
Setelah dibaca, guru memfasilitasi
diskusi dengan memancing pertanyaan-pertanyaan kunci kepada siswa, seperti:
a.
Apa yang dikeluh kesahkan sang anak?
b.
Dapatkah kalian bayangkan persoalan
hidup yang dihadapi sang anak sampai dia seperti putus asa? Contohkan persoalan
tersebut seperti pikiran kalian!
c.
Apakah sang ayah menurutmu tidak
menghadapi persoalan yang sama berat dengan anaknya? Ya/Tidak, berikan
alasanmu!
d.
Apa makna dari masing-masing benda yang
direbus oleh sang ayah?
e.
Pikirkan contoh kasus menghadapi jika
menggunakan analogi wortel!
f.
Pikirkan contoh kasus menghadapi masalah
jika menggunakan analogi telur!
g.
Pikirkan contoh kasus menghadapi jika
menggunakan analogi kopi!
4.
Guru dan siswa menarik kesimpulan kisah
ini dengan penguatan pada karakter kerja keras, dimana siswa diminta membuat
slogan-slogan sendiri-sendiri, contoh:
a.
Mari Kerja Keras!
b.
Jangan Pernah Menyerah!
c.
Putus Asa No, Kerja Keras Yes.,
d.
Tidak ada masalah yang tidak dapat
diselesaikan.
e.
Kita dapat mengubah Nasib.
f.
Bahkan, Kita Dapat Mengubah Takdir.
6.
Tema/Judul : “Mengapa Pahala, Surga, Neraka, dan
Mengapa
Tuhan
Suka Marah-Marah?”
Nilai Karakter : Kritis, Tanggung Jawab, Rasa Ingin Tahu.
Mata Pelajaran : Semua mata pelajaran
Pengantar
Dalam
menulis kisah ini penulis buku awalnya terinspirasi dari seorang temannya, ia
seorang guru di Batam yang mengajar di SMAN 5 Batam bernama Malda Joe.
Seorang guru Bahasa Inggris yang masih
muda, energik dan berpikiran maju. Meski keduanya baru bertemu sekali saat di
kota Batam, yakni ketika penulis buku ini diminta Penerbit Erlangga untuk
menjadi narasumber Pendidikan karakter di Batam—namun pertemanan keduanya di
jejaring sosial facebook sudah terjalin cukup lama.[25]
Suatu
hari penulis buku ini tertarik dengan posting Malda Joe di FB Peduli Pendidikan
Kota Batam. Malda menuliskan tentang kisahnya dengan seorag keponakan yang
hafal doa mau makan tetapi tidak tahu artinya, bahkan tidak tahu alasan mengapa
harus berdoa sebelum makan. Tulisan ini kemudian mendorong penulis untuk
memastikan apakah siswanya di SMA selama ini hanya belajar menghafal tanpa tahu
makna yang dipelajarinya. Hingga penulis buku ini pun memutuskan untuk menyalin
tulisan Malda Joe sebagai bahan diskusi di kelas. Adapun tulisan Malda Joe yang
ia salin dan di jadikan bahan ajar adalah sebagai berikut:
“Belajar Menghafal,
Bukan Belajar Memahami”
Oleh: Malda Joe
Suatu
hari ketika saya akan bersantap malam, saya bertanya kepada keponakan saya yang
masih berusia 9 tahun, apakah dia hafal doa sebelum makan menurut tata cara
islami?
Keponakan
saya yang cantik itu menjawab hafal. Tentu saja dia bisa, sebagaimana sebagian
besar anak-anak mukmin yang telah mengenayam pendidikan Islam dari para guru
ngaji mereka.
“Allahumma baariklanaa fiima razaqtanaa wa
qinaa ‘adzabannaarr”, keponakan saya itu berdoa dengan pelan tapi lancar.
“Adik tahu artinya apa?” tanya saya. Keponakan saya menggelengkan kepalanya.
Saya menghela nafas panjang. Inilah untuk kesekian kalinya saya menjumpai
bagaimana sejak kecil anak-anak kita hanya dididik untuk memperlakukan doa
sebagaimana mantra-mantra yag harus dihafal (bahkan tidak boleh salah
pengucapan sedikitpun, karena doanya tidak akan manjur!) tanpa diajarkan utuk
memahami arti dan maknanya, apalagi filosofinya.
“Ya
Allah... Berkahilah apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami, dan jauhkanlah
kami dari siksa api neraka,”
“Oh,
iya, Dik. Kira-kira kenapa sih kita harus berdoa?” tanya saya lagi. Keponakan
saya terdiam sebentar. “Hmm. Biar makannya gak ditemani setan!” tukasnya. Sya
terkejut! “Siapa yang bilang itu, Dik?” tanya saya. “Guru nagjiku,”jawabnya
polos. “Terus seandainya setan itu tidak diciptakan di dunia ini, berarti kita
gak perlu berdoa sama Allah, ya, Dik?” Keponakan saya bingung mencari jawaban
atas pertanyaan saya itu.
Sekali
lagi jawaban seperti ini mengudang keprihatinan saya. Salah satu kesalahan yang
sering dilakukan oleh para pendidik,
baik orang tua dan guru, adalah tidak mendidik anak untuk berpikir. Sehingga
alasan yang sering diberikan adalah alasan-alasan instan yang sering kali
mengundang ancaman, seperti: “kalau enggak tidur nanti digondol kolong wewe,
lho...” Atau kalau engga shalat nanti malaikat marah dan dosamu dicatat,
lho...”
Mungkin
sebagian dari kita merasa bahwa anak-anak belum bisa diajak berpikir secara
mendalam, apalagi dengan alasan-alasan yang berbau ancaman dan menakut-nakuti
itu lebih efektif dalam menanamkan doktrin kepada anak-anak. Tapi saya
berpendapat sebaliknya. Justru mulai dari usia dinilah, anak-anak sudah harus
dimulai untuk dididik utuk berpikir, tentu saja disesuaikan dengan perkembangan
mentalnya. Berikanlah alasan yang rasional dan jelaskan dampak-dampak dari apa
yang diperbuat oleh mereka, sehingga secara alam bawah sadar akan terus
tertanam dalam pikiran mereka.
Masyarakat
barat misalnya, mendidik anak-anaknya untuk senantiasa berpikir kritis dan
tidak segan bertanya. Ajuran dan larangan selalu disertai dengan alasan-alasan
yang logis. Hukumanpun diterapkan secara fair sesuai apa yang telah diperbuat
si anak. Kita bisa bandingkan, mungkin seperti contoh-contoh di film, bahwa
gaya berbicara, cara berpikir dan tingkat kedewasaan anak-anak negeri kita
secara umum masih berada di bawah anak-anak Barat. Maka dampakya akan terbawa
hingga usia dewasa. Sebagaimana bisa kita saksikan sendiri bahwa secara umum
masyarakat Barat lebih bisa menerapkan nilai-nilai Islami dengan kepekaan,
kepedulian, empati dan kesadaran yang lebih baik ketimbang masyarakat negeri kita yang mengaku sebagai
umat yang ‘setia’ pada syariat Islam, namun pada kenyataannya sering kali jauh
dari nilai-nilai Islam.
Kembali
ke persoalan doa sebelum makan. Ada beberapa tips yang ingin saya bagi kepada
para sahabat di sini, tentang bagaimana membangun akhlak dan mentalitas
anak-anak kita dari meja makan:
Ajarkan
kepada mereka bahwa berdoa sebelum makan itu bertujuan untuk BERSYUKUR terhadap
nikmat dan rezeki yang telah diberikan Allah Sang Maha Pemurah dengan penuh
CINTA, sehingga otomatis ia akan meneruskan rasa cinta itu dengan menebar
semangat dan pesan-pesan cinta kepada lingkungan disekitarnya.
Ajarkan
kepada mereka bahwa salah satu cara terbaik untuk bersyukur atas karunianya
adalah dengan menghabiskan makanan tersebut. Di sini mereka akan dididik untuk
tidak bersikap boros, karena mereka akan terbiasa untuk menakar makanan dan
minumannya sendiri sesuai kapasitas perutnya.
Ajarkan
kepada mereka bahwa rasa syukur kepada Allah kita perbesar lagi dengan berbagi
kepada sesama. Jika makanan tidak habis, maka ajari mereka untuk menyisihkan
makanan tersebut kepada siapa saja yang masih kelaparan di luar sana. Di sini
mereka akan dididik untuk memiliki kepedulian sosial.
Ajarkan
kepada mereka tentang filosofi doa sebelum makan tersebut, yaitu pada kata:
“BERKAHILAH REZEKI yang telah Engkau berikan kepada kami.” Perhatikanlah pada
kata ‘rezeki yang berkah’. Bahwa apa yang kita makan itu harus (sebisa mungkin)
dipastikan berasal dari rezeki yang halal. Dengan demikian, makanan itu tidak
boleh berasal dari curian atau dibeli dengan uang yang tidak halal. Bagaimana
mungkin kita akan menikmati makanan kita jika dibeli degan uang hasil koriupsi,
menipu, atau dari uang berbunga yang kita bebankan pada orang-orang yang
membutuhkan pertolongan? Di sinilah maka doa itu diakhiri dengan kata,
“Jauhkanlah kami dari siksa api neraka”, sebagai konsekuensi dari makan makanan
yang tidak halal.
Ajaran
Islam berikut tata cara dan doa-doanya akan terasa indah dan mengena jika
sedari usia dini kita tanamkan kepada anak-anak kita untuk mengerti hakikat yag
tersembunyi dibalikya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
kelak anak-anak kita akan menjadi generasi Islami, yang benar-benar ‘beragama
Islam’ bukan sekedar ‘berilmu agama Islam’.
Mari kita membangun
mental, akhlak, dan kepribadian anak-anak kita sehingga kelak mereka akan
menjadi generasi yang berakhlak mulia yang akan membangun kehidupan yang jauh
lebih baik di bumi tercinta ini. Mendidik anak adalah kewajiban semua orang
yang ada di sekitar anak-anak tersebut. Dan kita bisa memulainya dalam hal-hal
yang kecil. Sebagaimana mendidik anak dari meja makan. Alluhu’alam. Semoga
bermanfaat.[26]
Proses Pembelajaran (Bisa untuk Mata Pelajaran Pendidikan agama
Islam)
Penulis
buku inipun membagikan salinan tulisan Malda Joe ke semua siswa di kelas.
Mereka kemudian membacanya per alenia secara bergantian. Setelah selesai membaca,
peulis buku ini yang juga merupakan guru mengajak para siswa untuk
mendiskusikan tulisan tersebut.
Guru : “Apakah kalian memahami bacaac yag baru saja selesai kita baca
bersama? apakah ada pertanyaan
atau taggapan?”
Linda : “Saya, Bu!”
Guru : “Ya, langsung saja, Linda. Bagi yang lain
kalau mau menanggapi
silahkan langsung saja, secara bergantian.”
Linda : “Makasih, Bu. Menurut saya, tulisan itu ada benarnya. Saya baru menyadari
bahwa sebenarnya sejak kecil saya dididik utuk menghafal, tapi saya
sesungguhnya benar-benar tidak tahu mengapa sayaharus menghafal itu.”
Intan : “Iya, saya dulu melakukan ini itu, karena
disuruh orang tua atau orang dewasa lain, tetapi tidak pernah tahu untuk apa.
Gilanya lagi saya juga tidak pernah bertanya pada orang dewasa itu, mengapa
saya disuruh untuk melalakukan ini dan itu.”
Surya : “Dulu waktu kecil, waktu kecil seingat saya semua yang kita
lakukan sebab diminta oleh orang dewasa selalu dibilang biar dapat pahala. Saya
sih mikirnya Cuma buat nyenengin orang tua saja.” (Seisi kelas tertawa
mendengar komentar Surya)
Guru : “Selain karea alasan mendapat pahala dan menyenagkan orangtua,
apa ada alasan lain?”
Elvia : “Ada, Bu! Rasa takut, karena waktu saya kecil rasanya saya
serig dengar orang dewasa bilang, “Jangan, enggak boleh, nanti Tuhan marah dan
kita bisa masuk neraka”. Terus neraka digambarkan sebagai api yang meyala-nyala
dan kita dibakar.”
Dita : “Iya, betul kata Elvia, padahal kita waktu itu juga enggak
paham soal neraka dan kenapa Tuhan sukanya marah-marah.” (Meledek tawa seisi
kelas....)
Ridho : “Iya, sih, waktu kecil itu saya sempat stress, karena sering
ditakut-takuti oleh hal-hal yang kita enggak paham.”
Guru : “Kalau sekarang bagaimana? Apakah kalian masih sering disuruh
menghafal tanpa paham maknanya? Atau disuruh melakukan atau tidak melakukan
sesuatu tanpa diajak dialog alasannya?”
Dedy :“Masih, Bu. Misalnya, kenapa kami para siswa harus memakai sepatu
hitam setiap hari padahal kita maunya bisa ganti-ganti. Tapi sejak masuk sekolah
ini sampai sekarang, kita engga bisa protes dan sekolah juga engga pernah buka
ruang dialog soal aturan sepatu hitam itu, Bu!”
Tika : “Terus semua pelajaran hafalan, sampai fisika, matematika, dan
kima. Kita disuruh hafal rumus, tapi kita engga pernah dikasih tahu asal muasal
rumus itu dan apa gunanya rumus itu dalam kehidupan sehari-hari.”
Nanda : “ Iya, padahal kalau wawancara kerja kita juga enggak pernah
disuruh nyebutin rumus kecepatan dalam fisika misalnya!”
Aldy : “Iya, juga ya. Terus apa gunanya semua hafalan itu buat
kehidupan dan masa depan kita, ya?”
Ferry : “Ya, mulai hari ini, kita harus tanya maknanya kalau disuruh
mengahafal atau kalau diminta melakukan
sesuatu .”
Dian : “Iya, kitanya harus berubah, kita ‘kan punya hati dan akal
pikiran bukan robot.”
Guru :”Bagaimana memulai perubahan ini?”
Wulan : “Ya, mulai dari diri sendiri, Bu, terus dirumah kita praktikan ke
orangtua kita. Kita bangun budaya dialog dengan melontarkan pertanyaan mengapa
harus begini atau mengapa harus begitu?”
Surya : “Di sekolah juga harus kita mulai tanya ke guru kita, apa
gunanya rumus itu jika kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Saya yakin
guru kita pasti mau menjelaskannya.”
Panji : “Sesama kita juga harus membiasakan itu, antar teman kita bisa
dialog mengapa ini dan mengapa itu langkah yang harus kita lakukan dalam
berorganisasi misalnya dan lebih baik kalau dalam situasi informal sehari-hari
biar kita dipaksa berpikir.”
Guru : “Bagus sekali, Panji! Semoga kita bisa praktikan bersama. Mari
kita tekadkan diri untuk mau berubah! Kalau orang dewasanya marah ditanya, apa
yang akan kamu lakukan?”
Panji : “Yah, terus aja bertanya. Tapi kita harus jelaskan bahwa kita
tanya untuk mendapat penjelasan sekaligus keyakinan mengapa kita harus
melakukan. Alasan yang logis dan adil.”
Para siswa tampak puas dengan proses diskusi
tadi dan seperti tersadar bahwa selama ini mereka tidak memiliki budaya
bertanya dan berdialog. Namun siang ini, mereka mau berubah, setidaknya mulai
mau mengajukan pertanyaan “Mengapa”. Salam Perubahan![27]
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian isi resume buku karya Retno Listyarti yang berjudul Pendidikan Karakter
dalam Metode Aktif, Inovatif da Kreatif tersebut penyusun dapat merumuskan
beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dijadikan pelajaran itu diantaranya
sebagai berikut:
1.
Untuk menumbuhkembangkan karakter anak,
setiap pribadi guru hendaknya mau membuka diri untuk menerima berbagai masukan
dan informasi dari peserta didiknya.
2.
Guru yang berniat untuk mengembangkan
pendidikan karakter hendaknya berjiwa pembaharu, yakni yang memiliki wawasan
luas, visi, misi serta kesabaran tanpa batas untuk menggapainya.
3.
Untuk menanamkan nilai-nilai karakter
pada anak, maka mereka tidak hanya diajarkan untuk tahu nilai itu, tetapi juga
harus memikirkan dan menemukan sendiri jawaban atas pertanyan mengapa nilai
karakter itu penting untuk diaplikasikannya.
4. Pendidika
karakter yang berhasil itu membutuhkan proses, kerja keras, dan tanggung jawab,
serta kerjasama seluruh pihak penentu pendidikan.
5.
Pemerintah, Pendidik, administrator, orangtua,
masyarakat, peserta didik, dan segenap pihak terkait akan saling menopang
keberhasilan pendidikan karakter.
[1] Retno Listyarti, Pendidikan
Karakter dalam Metode aktif, Inofatif dan Kreatif Penulis, (Jakarta: Esensi
Erlangga Group, 2012), h. 2
[2] Ibid.
[3] Ibid., h. 3
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 5
[6] Ibid.
[7] Ibid., h. 8
[8] Ibid., h. 10
[9] Ibid., h. 11
[11] Ibid., h. 15
[12] Ibid., h. 16
[13] Ibid., h. 17
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 45
[16] Ibid., h. 46
[17] Ibid., h. 48
[18] Ibid, h. 49
[19] Ibid, h. 64
[20] Ibid., h. 75
[22] Ibid., h. 109
[23] Ibid., h. 155
[24] Ibid., h. 158
[25] Ibid., h. 220
[26] Ibid., h. 223
[27] Ibid., h. 226