A.
Latar Belakang
Masalah
Dalam diri manusia terdapat dua
potensi yakni kebaikan dan keburukan yang selalu berperang untuk menjadi
yang terdepan. Allah Swt berfirman, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
mensucikan jiwanya, dan merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS.
Syams: 8-19). Tinggal bagaimana kita memanage dua potensi tersebut.
Akankah kita kalah oleh jiwa yang kotor. Atau apakah kita berhasil menang
dengan ketakwaan yang telah Allah ilhamkan.
Ketika ide kebebasan berpendapat menggelinding dan liberalisme
merajalela di segala bidang, seakan-akan semuanya hendak diliberalkan. Bahkan
atas nama kebebasan HAM, kesucian Al Qur’an diinjak-injak, dan kehormatan wahyu
Ilahi pun sudah menjadi objek keliberalan mereka. Keotentikan Al Qur’an mereka
ragukan, kisah-kisah di dalamnya mereka anggap saduran dari kitab lain, dan
ayat-ayatnya mereka pelintir. Tak heran, jika kemudian Al Qur’an pun dianggap
produk manusia (baca: Muhammad).
Islam liberal sebagai sebuah fenomena kehidupan Islam memang sudah
tidak asing lagi. Namun pandangan-pandangan mereka yang menunjukkan adanya
pengaruh atau kepanjangan tangan pemikiran misionaris Kristen dan Orientalis
Barat begitu kuat, belum banyak terungkap. Sebutlah Harvey Cox, Robert N.
Beellah, Michel Faucault, atau Charles Kurzman yang menafikan adanya kebenaran
tunggal. Pandangan hidup Islam yang mendasar seperti konsep Tuhan, kenabian,
ilmu, dan agama di posisikan sebagai objek yang rancu, membingungkan dan perlu
dipedebatkan.
Pemikiran-pemikiran yang digulirkan oleh kaum orientalis Barat dan
misionaris Kristen telah memberi pengaruh yang besar kepada gagasan sekularisme
dan liberalisme Islam yang diusung oleh golongan Islam liberal. Namun ternyata
banyak ketidak jelasan dan kekeliruan dalam pendapat-pendapat yang disampaikan
oleh mereka. Sangat jelas, beberarapa diantaranya bersikap spekulatif dan
eksperimental. Mereka bahkan tidak dengan tegas memberikan batasan “liberal”,
padahal konsep batas itu akan merumuskan kriteria, distingsi, dan katagorisasi
liberal. Akibatnya, paham liberal cenderung dibangun atas paham relativisme,
skeptisme dan anogtisme.(baca: Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis
Terhadap Islam Liberal, 2003: V).
Ketika kita membicarakan liberalisme maka tidak akan terlepas dari
kaitannya dengan sekularisme, kapitalisme dan isme-isme lain, yang merupakan
bentuk modernitas dari pemikiran peradaban. Sekularisme merupakan gagasan
penting yang berasal dari kelompok Islam liberal. Tidak diragukan lagi bahwa
sekularisasi adalah gagasan yang berasala dari warisan sejarah perkembangan
peradaban Barat. Hal ini dapat ditelusuri mulai abad pertengahan (middle
ages) Barat ketika peradaban mereka
ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian
ilmiah. Hal ini sebagai reaksi atas pertentangan antara akal mereka dengan
Bible yang mulai timbul di zaman modern. Hingga kemudian mereka. Sehingga
mereka mengupayakan jalan rasionalitas sebagai bagian dari pembebasan akal dari
Bible.(kitab yang ditulis oleh pengarang bible yang dikatakan sebagai inspirasi
roh Kudus), ( baca: Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam
Liberal, 2003: 3-4).
Selain itu ternyata paham liberal kaum orientalis Yahudi kini mulai
merambah ke Indonesia. Kelompok cendekiawan Muslim yang tergabung dalam Islam
Liberal yang kemudian membentuk jaringan yang mereka sebut dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), yang dalam rilisannya di
berbagai artikel di media cetak, mencoba menawarkan “paham baru” yang mereka
sebut “new theology” yang pada hakikatnya merupakan “new religion” sebab ajaran
theologi yang mereka perkenalkan ternyata tidak dikenal dalam Islam, sedang
agama-agama di luar Islam juga tampak tidak ada yang menyambutnya.
Mereka telah mengklaim diri mereka sebagai Islam, sedangkan apa
yang mereka ajarkan berbeda dengan Islam itu sendiri. Mereka melebelkan diri
dengan nama Islam sedang mereka memaknai bahwa “Semua agama adalah sama, karena
sama-sama menyembah pada Zat Yang Maha Satu, yaitu Tuhan”. Sebutan Tuhan
menurut mereka memang macam-macam, tapi sebutan itu adalah produk ciptaan
manusia. Karenanya semua pemeluk agama, apapun a agama dan nama Tuhannya,
dijamin akan “selamat” diakhirat nanti. Amalan-amalan ibadah menurut mereka
hanyalah “simbol” belaka, boleh bermacam-macam karena yang penting adalah
“tujuannya” sama, yaitu sama-sama menuju kepada Tuhan yanga “Maha Satu”. Lalu
dari segi mananya paham yang berlebel Islam itu mencirikan aqidah keislamannya?
(baca: Imron AM, Islam Liberal Mengikis Aqidah Islam, 2004: X).
Selain itu para tokoh-tokoh pembawa dan penyebar paham Islam
Liberal ini kini telah meluas di tanah air, yang mungkin jumlahnya akan terus
bertambah, seiring banyak para generasi
cendikia atau para generasi muda yang mulai terbawa ajakan pemikiran paham
tersebut, hingga berakibat mulai terkikisnya akidah keislaman mereka. Atau
mungkin memang mereka memang sudah pada dasarnya pemikirannya menyimpang. (baca: Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia, 2007).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.
Apakah Islam Liberal itu ?
2.
Dari mana datangnya pandangan Islam Liberal
itu?
3.
Adakah kaitannya Islam Liberal dengan kaum
Orientalis Kristen?
4.
Bagaimana paham Islam Leberal bisa maluas ke
tanah air (Indonesia)?
5.
Siapa sajakah tokoh yang menganut serta
menyebarkan paham Islam Liberal ini?
6.
Bagaimanakah pandangan para tokoh Islam
Liberal terhadap Islam?
7.
Apakah yang membedakan Islam dengan akidah
sebenarnya dengan Islam Liberal?
C.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pengertian
Islam Liberal.
2.
Asal muasal
pandangan Islam Liberal.
3.
Hubungan atau
keterkaitan antara Islam Liberal dengan kaum Orientalis Kristen (Yahudi).
4.
Sejarah masuk
dan berkembangnya Islam Liberal ke Indonesia.
5.
Tokoh-tokoh
penganut dan Penyebar paham Islam Liberal.
6.
Pandangan para
tokoh Isl;am Liberal.
7.
Pembeda antara
Islam dengan akidah seutuhnya dengan Islam Liberal
D.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini adalah jenis penelitian literer, yakni penelitian yang menjadikan literatur
(buku-buku) sebagai bahan rujukannya. Adapun metode yang dipakai adalah :
1.
Metode Induktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang
sifatnya khusus menuju hal-hal yang bersifat umum.
2.
Metode deduktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang
sifatnya umum menuju ke hal-hal yang khusus.
3.
Metode Korelasi
Metode ini menggunaka cara-cara berpikir dengan mencari korelasi
(hubungan) antara sesuatu hal dengan hal yang lain.
E.
Kerangka
Berpikir
Islam adalah Agama (Ad Dien) yang diturunkan oleh Allah swt, sang Pencipta,
kepada utusan terakhirNya Muhammad SAW. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan
panduan hidup manusia di dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk
kesejahteraan seluruh manusia. Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan
Penciptanya, yaitu Allah swt. Panduan, bagaimana manusia harus berhubungan
dengan manusia lainnya, serta panduan bagaimana manusia berhubungan dengan
dirinya sendiri.
Seluruh panduan dalam Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak
kebenarannya. Berisi perintah dan anjuran, begitu pula larangan dan cegahan,
serta pilihan yang diserahkan kepada manusia untuk bebas memilihnya.
Secara garis besar, Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah
merupakan panduan berupa keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia.
Sedangkan Syariat adalah panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
Islam tidak melarang manusia untuk berfikir dan mengembangkan
potensi dirinya, tetapi bukan untuk memikirkan hal-hal yang benar-benar telah
pasti kebenarannya (kalam Allah) serta mengubah syariat di dalamnya untuk
disesuaikan dengan kebebasan akal yang lemah. Hingga mungkin segelintir orang
yang menamakn dengan Islam Liberal, banyak yang terpelosok dan beranggapan
bahwa “Semua agama adalah sama, karena sama-sama menyembah pada Zat Yang Maha
Satu, yaitu Tuhan”. Juga ada banyak pandangan-pandangan lain yang bertentangan
dengan akidah Islam yang haq.
Sehingga dari situlah diperlukan suatu penambah informasi tentang
Islam Liberal dan Islam yang sesungguhnya.
Pengaruh
Orientalis Kristen Akar dari Pemikiran Islam Liberal
A.
Pengertian
Islam Liberal
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi,
pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah
nilai politik yang utama.[1]
Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata
liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara
etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu
dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat
dalam Wikipedia.[2] Liberalisme adalah sebuah ajaran tentang
kebebasan. Isme ini lahir seiring dengan lahirnya aqidah sekularisme. Jadi
Liberalisme adalah anak kandung Sekularisme. Ia bersaudara dengan Kapitalisme
dan Demokrasi. Ia mengajarkan akan kebebasan manusia dalam hal apa saja.
Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan
kepemilikan.[3]
Liberalisme adalah ideologi yang berdasarkan
individualisme, yang oleh Hunt dirumuskan sebagai ideologi “that emphasizes the
right of all men to individual freedom”.[4]
Individualisme
adalah salah satu aliran filsafat yang menempatkan individu sebagai pusat dan
titik berat dari segala macam kehidupan politik, agama, ekonomi dan sosial.[5] Dagobert
D Runes “Dictionary of Philosophy” (hal. 145), menjelaskan individualisme hendaknya dibedakan dari individualistis.
Individualisme adalah salah satu faham filsafat yang menempatkan kemerdekaan
individu di atas segala-galanya.
Sedangkan individualistis adalah satu kata sifat yang dikenakan kepada
seseorang yang mementingkan diri sendiri.[6]
Jadi
menurut faham individualisme semua orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama,
dan mempunyai kesempatan yang sama pula dalam mengejar kebahagiaan.
Dalam karya
tulis seminar “Pro dan Kontra Liberalisme di Indonesia”
yang diadakan pada 06 Desember 2006 di Aula Universitas Paramadina
Penyelenggara : Universitas Paramadina, Freedom Institute dan Freidrich Naumann
Stiftung (FNS) Rizal Malarangeng
mengemukakan bahwa “manusia yang optimis, manusia yang rasional, manusia yang
bebas yang tidak dibatasi kebebasan oleh orang lain, dan manusia yang memiliki
kepentingan dirinya sendiri”. Ketiga paham dasar inilah sebenarnya yang menjadi
fundamennya liberalisme.[7]
Fokus dari tradisi yang
terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai
gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa
ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang
orientalisme. Sebenarnya tradisi yang disebut sebagai Islam Liberal ini sangat
menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan
menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya
Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai
tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1).
melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2).
mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela
hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan
kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam
gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.[8]
Ketidak jelasan definisi dan deskripsi makna
liberal terungkap secara implisit dalam kutipan pemikiran Charles Kurzman yang
membagi lima makna liberal, yaitu pertama, para penulis dalam bunga
rampai ini tidak menganggap mereka sebagai kaum liberal; kedua, para
penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi liberal, sekalipun
mereka menganut beberapa diantaranya; ketiga, bahwa istilah “liberal”
mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia Islam; keempat, konsep
“Islam Liberal” harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan
katagori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun mengenai
“kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak memiliki
kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian. Saya ingin
mendeskripsikannya saja.[9]
Kurzman
menggambarkan konsep Islam Liberal dengan sesuka hatinya. Karena tidak adanya
batasan yang jelas. Batasan makna liberal tidak dieksplorasi secara mendalam,
padahal konsep “batas” dapat merumuskan kriteria, distingsi, dan katagorisasi
liberal. Akibat ketidak jelasan tersebut, paham liberal cenderung dibangun di
atas paham relativisme, skeptisisme, dan agnotisme.[10]
Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud
dalam bentuk sistem kapitalisme (economic
liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya
kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian
pasar (market
economy), persaingan (competition), dan motif mencari
untung (profit).[11] Dalam
bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi
liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak
pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu.[12] Dalam
bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham
pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah
nilai-nilai peradaban Barat.[13]
Lalu bagaimana dengan makna Islam Liberal? Kita
bisa melihat makna Islam Liberal itu dari seorang tokoh yang memang
mengatasnamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Yakni yang diusung
oleh Ulil Absar Abdallah, yang sangat profokatif, tendensus, dan vulgar
dengan mengusung kebebasan dalam tafsir
dan nilai-nilai Islam. Lihat dan rasakan, bagaimana alasan mereka memakai nama
Islam Liberal, betapa kemudian kita akan dibuat terhentak olehnya:
“Nama
“Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam
menekankan kebebasan pribadi dan pembebeasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Kami
percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam
ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirannya. Kami
memilih satu jenis tafsir, dan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “Liberal.” Untuk mewujudkan
Islam Liberal, kami membentuk jaringan Islam Liberal (JIL).”[14]
Selain itu kita juga dapat merasakan
keterkejutan yang tak kalah hebatnya, ketika melihat mendengar pandangan Lutfi
Assyaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia, yang juga merupakan
penganut Islam Liberal dengan JIL nya diantaranya:
“Hadirnya
gerakan Islam Liberal di Indonesia dalam beberapa tahun terakhi, saya kira
merupakan upaya menyikapi berbagai persoalan yang saya sebutkan di atas. Pada
level yang paling dasar, gerakan itu berusaha
kritis terhadap sikap dualisme kaum Muslimin terhadap hubungan anatara
agama dan politik. Sejak kaum Muslim meraih
mereka dari tangan kolonialisme pada akhir paruh pertama abad ke-20,
persoalan hubungan agama dan negara menjadi persoalan besar sepertinya tak
pernah bisa diselesaikan. Islam Liberal, sebagaimana gerakan pembaharuan
lainnya, seperti di Mesir dan Turki berusaha menyelesaikan sikap dualisme
tersebut dengan memberikan satu teologi yang menjadi dasar buat negara modern.
Teologi ini menyatakan dengn tegas adanya pemisahan antara urusan agama dengan
politik. Islam Liberal meyakini bahwa urusan negara adalah semata-mata urusan
duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara
spesifik tetang bentuk pemerintahan manusia.”
“inti
dari sistem p[emerintahan menurut ajaran Islam dan bahkan menurut filsafat
politik apa pun adalah adanya keadilan dan kesetaraan. Tak ada gunanya sebuah
negara mengklaim sebagai negara Islam kalau praktek politiknya ternyata
bertentangan dengan ajaran Islam yang paling mendasar tentang keadilan dan
kesetaraan. Nabi tak pernah mengumumkan pemerintahannya sebagai negara Islam,
karena apa yang yang dijalankan Nabi sesungguhnya telah mengandung inti ajaran
Islam, yakni keadilan dan kesetaraan. Formulisme Islam yang diusulkan oelh
beberapa kelompok kaum Muslim adalah fenomena belakangan yang tak memiliki
landasan kuat dalam sejarah Islam. Bahkan Istilah negara Islam adalah konsep
baru yang tak pernah dikenal pada zaman Nabi, sahabat, dan bahkan pada
masa-masa kerajaan Islam.”
“Islam
Liberal percaya bahwa urusan pemerintahan dan politik adalah persoalan ijtihad
manusia, dan bukan sesuatu yang baku datang dari masa silam dan dipaksaterapkan
begitu saja kepada orang modern. Begitu juga menyangkut persoalan-persoalan
lain, seperti masalah hak-hak perempuan, pluralitas agama, dan kebebasan
berpendapat, Islam liberal menyisipkannya secara tegas berdasarkan semangat
dasar Islam tentang keadilan dan persamaan. Islam Liberal menganggap berbagai
penafsiran pemahaman Islam yang dilakukan oleh sebagian ulama klasik benyak
bertentangan dengan semangat dasar Islam
tersebut. Dalam persoalan hak-hak perempuan misalnya, ada banyak sekali
persoalan yang harus disikapi dan dimaknai ulang, seperti soal warisan,
kesaksian, pakaia, perlindungan, perkawinan, dan lain-lain.”
“Islam
Liberal merasa wajib meninjau kembali seluruh doktrin klasik yang tak sejalan
denga semangat dasar Islam itu. Sebagai agama yang mengklaim dirinya sah untuk setiap zaman dan keadaan, Islam
harus bisa berjalan dengan logika dan psikologi setiap masa dan kondisi.”
Tekejutkah anda? Tapi ini memang
nyata-nyatanya tercantum dalam buku Lutfi Assyaukani tersebut dalam
pengantarnya oleh Daniel S. Lev, Melbourne, 12 maret 2002. Dalam pengantar
tersebut jelas tercantum bahwa paham liberal ingin memisahkan antara pengaturan
negara dengan syariat agama? ingin
mengubah syariat Islam yang tercantum tegas dalam al Qur’an dan Sunnah yang
kemudian diperjelas oleh ulama Islam terdahulu ? yang kemudian diperlukannya
usaha peninjauan kembali syariat Islam yang otentik dalam nash dengan mengganti
atau memperbaharui dengan hukum baru yang sesuai dengan zaman dan keadaan yang
relatif menurut pandangan manusia? Silahkan simpulkan pemhaman anda
masing-masing.
Dengan dua contoh tokoh liberal tersebut sekiranya
penulis ingin menampilkan kesimpulan
Imron AM, yang mengatakan bahwa “Dalam mencapai kebebasan dan
penmbebasan tersebut, penganut Islam Liberal lebih condong pada logika
rasionalitas (akal sehat) sebagai ideologinya. Mereka berusaha membongkar nilai-nilai
keislaman, menafsirkan berbagai ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan kepentingan
mereka guna mencapai tujuan yang mereka inginkan. Tentu saja kebenaran menurut
‘akal pikiran’ mereka. Bukan kebenaran yang bersandar pada kemutlakan-Nya.”[15]
Lutfi
Syaukani dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia menyatakan” Islam Liberal yang berlandaskan
jiwa Intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan rela beresiko, serta memiliki
akar yang kokoh.”
Untuk
memaknai Islam liberal lebih dalam lagi, maka penulis memandang perlu mengutip
tulisan Budi handrianto. Di sana dinyatakan “untuk mencermati perkembangan faham liberal di kalangan Umat Islam,
setidaknya ada tiga aspek yang penting dalam Islam yang sedang gencar
diliberalkan, yaitu: 1) Syariat Islam,
dilakukan dengan perubahan metodelogi ijtihad; 2) Al Qur’an dan tafsir al
Qur’an, dengan melakukan dekonstruksi konsep wahyu dalam Islam dan penggunaan
metode hermeneutika dalam penafsiran Al Qur’an,
dan; 3) akidah Islam, dengan penyebaran paham Pluralisme Agama.[16]
Sehubungan
dengan Pandangan liberalisme yang mengusung kebabasan akal dan individualisme,
penulis jadi kembali teringat dengan pendapat Ignazio Silone, yang penulis baca
melalui karya ilmiah seminar diUniversitas Paramadina, Dia menyebutkan “Apakah
kebebasan?” Kebebasan adalah kemungkinan untuk meragukan, kemungkinan untuk
membuat kekeliruan, kemungkinan untuk mencari dan bereksperimen, kemungkinan
untuk mengatakan tidak pada otoritas apapun. Sastra, artistik, philosopis, religious,
sosial bahkan politik. Jadi orang kembali kepada dirinya, dan dia bisa
mengatakan tidak terhadap semua otoritas, itulah kebebasan.[17]
Lalu kalau lebiralisme Islam ini terus di diamkan bagaimana dengan otoritas al
Qur’an, tentu mereka akan menghapus keotoritasannya, Naudzubillah hi min
Dzalik.
B.
Asal Muasal
Pandangan Islam Liberal
Sebelum kita membahas asal muasal
liberalisme maka alangkah baiknya kita mengkaji lebih dahulu gagasan penting
kelompok Islam liberal
1.
Menelusuri
Gagasan Sekularisasi
Sekularisasi merupakan gagasan
penting yang berasal dari kelompok Islam Liberal. Jika kita mencermati
tulisan-tulisan mereka, kita akan mengetahui bahwa gagasan ini terus- menerus
di perjuangkan secara konsisten, bahkan seringkali dalam bentuk yang lebih radikal
daripada yang pernah diungkapkan Nurcholis Madjid.
Tidak diragukan lagi bahwa
sekularisasi adalah gagasan yang berasal dari warisan sejarah perkembangan
peradaban Barat. Hal ini ditelusuri mulai dari abad pertengahan (middle ages)
Barat ketika peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang
menghambat kemajuan penelitian ilmiah. Penyebabnya dalah Bible mengandung
hal-hal yang kontradiktif dengan akal. Revolusi Ilmiah (scientivicrevolution)
yang dirintis Copernicus dengan teori heliosentrisnya dianggap bertentangan
dengan ajaran Bible. Dalam Bible disebutkan bahwa matahari dan bulan diciptakan
setelah bumi. Fakta ini bertentangan dengan ide-ide mendasar tentang sistem
solar.[18]
Pertentangan anatara akal dan Bible
mulai mengkristal pada zaman modern. Orang Barat menyebut sejarah zaman pertengahan
itu sebagai zaman kegelapan (dark ages). Saat itru akal disubordinasikan
di bawah Bible. Karena itulah, mereka menanamkan sejarah peradaban Eropa pada
abad XV dan XVI sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance) karena
saat itu akal terbebas dari Bible. Mereka juga kemudian menyebut abad XVII hingga abad XIX sebagai zaman
pencerahan Eropa (european enlightenment) yang sebenarnya adalah
kelanjutan dari renaisance. Periode ini ditandai dengan semaraknya
semangat rasionalisme oleh Barat. Para filsof, teolog, sosiolog, psikolog,
sejarawan, politikus, dan lain-lainnya menulis berbagai karya yang
menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan dan keadilan.[19]
Karena arus modernisasi yang kuat
dan tak dapat dibendung, maka para teolog Barat menafsirkan Bible dengan
tafsiran baru. Oleh karena itu maka bergulirlah gagasan sekularisasi.[20]
Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan adanya alam lain yang
lebih hebat dan lebih agamis daripada alam ini. Penafsiran ini sekaligus
membantah peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja memiliki
keistimewaan sosial, kekuatan dan properti khusus.[21]
Penafsiran teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekuler
yang mengkritik posisi gerja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal, lebih
khusus lagi pada saat institusi gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral
pada abad pertengahan Eropa.
Kesimpulannya, gagasan sekularisasi
muncul karena ketidaksanggupan doktrin dan dogma agama kristen untuk berhadapan
dengan peradaban Barat yang terbentuk dari beragam unsur. Hasilnya para teolog
Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurback, Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer,
Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanin, William Hamilton, Woolwich,
Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi
radikal. Cox menggelari mereka sebagai para “teolog kematian Tuhan” (death
of God theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi,
ajaran kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern.[22]
Ludwig Feurbach menegaskan bahwa
prinsip filsafat bukanlah substansi-nya Spinoza, atau egonya Kant dan Ficht,
bukan pula identitas absolut-nya Hegel, dan bukan pula konsep wujud yang
abstrak, melainkan realitas wujud yang benar, yaitu manusia.
Oleh
karena itu manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi, sekalipun
agama dan teolog menyangkal, namun pada hakikatnya agamalah yang menyembah
manusia (relegian that worship man). Agama sendiri yang menyatakan bahwa
Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God).
Jadi, agama kan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari
teologi adalah antropologi (the true sense of theology is antropology).
Agama adalah mimpi akal manusia (relegion is the dream of human mind).[23]
Pemikiran Feurbach kemudian sangat
mewarnai para sosialog dan teologi seperti Karl Barth, misalnya menegaskan
bahwa agama sebagai ketidakpercayaan (relegion as unbilef). Gagasan ini
kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer mendesak
para teolog Kristen agar menyampaikan risalah Kristiani kepada manusia sekuler
sekarang dengan ungkapan, “Kita sedang menuju ke suatu masa yang tiada agama
sama sekali....Bagaimana agar kita berbicara mengenai Tuhan tanpa
agama....Bagaimana agar kita berbicara dengan gaya sekuler yang baru tentang
Tuhan?”
Bagi Benhoeffer, seorang pastor
Jerman yang dieksekusi oleh Nazi, agama harus dipisahkan dari kepercayaan (faith).
Ia selanjutnya mengatakan dengan frase yang paradoks, “Sudah tiba saatnya bagi
Kristen tanpa agama (a relegionsless christianity).”
Seirama dengan Barth dan Bonhoeffer,
Gabriel Vahanian, seorang teolog Neo-Calvinis juga mengatakan, “Sekuler adalah
keharusan Kristiani.” Bagi Vahanian, kematian Tuhan adalah peristiwa agama
sekaligus budaya. Dalam masyarakat yang modern dan saintifis,
peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggapm sebagai mitos, dianggap sudah lapuk,
dan tidak terpaki lagi. Warner and Lotte Pela juga mengumandangkan, “Tuhan
tiada lagi (God Is no more).” Woolwich dengan nada yang sama juga.
Mengeluarkan pendapat, “ Tuhan tanpa Tuhan (God without God).”
Dengan pendapat-pendapat seperti
ini, tidak berarti para teolog tersebut menjadi ateis karena mereka masih
mempercayai wujud Tuhan. Hanya saja, menurut mereka, pada zaman moder ini,
Tuhan sudah tidak berperan lagi dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang terjadi
di masyarakat Kristen Barat. Tuhan diposisikan di luar urusan kehidupan
manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia
harus mengatur hidupnya sendiri dengan hukum-hukum yang mereka buat sendiri. God
is no more!
Namun ada sebagian teolog konservatif, seperti EL. Mascal
yang setia dan berpegang teguh pada “tradisi” Kristen. Menurut Mascal,
sians dan teknologi yang merebak dengan
sangat gencar telah mempengaruhi kehidupan orang Kristen. Hal itu mengakibatkan munculnya gagasan
sekularisasi sehingga dunia ini tidak lagi dipandang memiliki kaitan lagi
dengan Tuhan.[24]
2.
Liberalisme
Berasal Dari Renaissance
Untuk mengungkap dari manakah asal
liberalisme, maka kita perlu memulai telaah kajian kita dari zaman renaissance
yang menjadi cikal-bakal dari liberalisme.
Istilah renaisance mula-mula diperkenalkan
oleh Michelet (1798-1874) dan kemudian dikembangkan dan dipopulerkan oleh J.
Burchardht (1818-1879).[25]
Secara harfiah, renaissance berasal
dari dua kata yakni re yang berarti kembali dan nasci yang
berarti lahir, jadi arti seluruhnya “kelahiran kembali dunia dan manusia”,
sedangkan Walter Peter mengartikannya
sebagai rangsangan pada umumnya dan kecerahan akal manusia”.[26]
Renaissance adalah merupakan reaksi
atas kungkungan gereja di abad pertengahan. Seperti diketahui, pada abad
pertengahan kedudukan individu dianggap tidak berarti dan secara hirarkis
sangat tergantung dan terbelenggu oleh
gereja, sebagai akaibat diterimanya filsafat
Augustinus yang menyatakan bahwa manusia itu hidup di dunia ini
dikodratkan sebagai korban yang harus
menanggung dosa yang dilakukan oleh manusia pertama.
Oleh karena itulah pandangan manusia
pada abad pertengahan tentang kedudukan diri dan dunianya terikat sekali oleh
penafsiran teologis. Sebaliknya di zaman renaissance mereka meninggalkan
penafsiran yang berbau teologis itu dan menggantinya dengan penafsiran ilmuan.
Yang menjadi sumber ilham dari
gerakan renaissance ini adalah perpustakaanperpustakaan klasik yang berisis
buah pikiran-pikiran dari para filsuf Yunani Kuno yang berpangkal pada filsafat
Individualisme
Ada di anatara ahli sejarah Barat
yang mendalilkan bahwa minat untuk mempelajari filsafat Yunani Kuno itu timbul
di kalangan orang Erope Barat sebagai akibat ditaklukannya Konstatinopel oleh
Turki (1453).mmereka mengatakan bahwa penaklukan itu menyebabkan banyaknya
orang-orang Yunani yang mengungsi sambil membawa hasil karya-karya para filsuf
Yunani Kuno ke Eropa Barat, khususnya ke Venetia dan Genoa yang kemudian
menjadi pusat gerakan renaissance.
Hal ini merupakan korupsi-historis
yang hendak menggelapkan peranan sarjana-sarjana Islam sebagai pembawa buah
fikiran Yunani Kuno ke Eropa Barat. Sejarah telah membuktikan, bahwa walaupun
renaissance baru timbul ada pertengahan abad ke-14, tetapi seperti yang dikatakan
oleh Vergilius Ferm,[27]
akarnya telah tumbuh jauh sebelum itu, yakni sebagai akibat dari meluasnya
perang salib, dan sebagai pengaruh dari sarjana-sarjana Arab (baca:Islam) dan
Yahudi yang secara langsung atau tidak langsung menggrogoti sendi-sendi
kehidupan di abad pertengahan.
Dari uraian-uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa renaissance itu adalah suatu gerakan pembaharuan dalam
pemikiran, sebagai rekasi atas kungkungan dan belenggu gerja, yang dialami oleh
buah pikiran filsuf-filsuf Yunani, yang pada pokoknya merupakan kebangkitan
kembali filsafat individualisme. Individualisme adalah salah satu aliran
filsafat yang menempatkan individu sebagai pusat dan titik berat dari segala
macam kehidupan politik, agama, ekonomi dan sosial.
Jika dalam abad-abad sebelumnya
individualisme hanya merupakan pembaharuan dalam pemikiran, dalam permulaan
abad 19 (akhir abad ke-18) ditingkatkan menjadi suatu ideologi. Ideologi yang
berdasarkan individualisme ini disebut ‘Liberalisme’.[28]
Lalu
dari manakah datangnya Islam Liberal itu? Sebenarnya, latar
belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa
keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang
dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis
perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina
dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter
yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi
al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai
ensiklopedi sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam
yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini,
sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn
Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan,
yaitu kekhalifahan yang ideal yang pada masanya sudah tidak ada lagi dan
pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana
Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua
sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan
pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).
Menghadapi masalah
tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi
Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan
ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap
moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara
intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan
terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang
dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum
setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis
suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah
sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga
revivalis dan neo-fundamentalis.
Usaha Ibn Taymiyah pun
dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam.
Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn
Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam
waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik
Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan
hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian
diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah)
dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi
politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan
sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu
keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.
Sebenarnya, liberalisme
Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan
Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan
sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara
tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di
Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa'
Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan
Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan,
yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa
mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang
sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus
dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan
Barat, apakah tidak ada pertentangan?
Menurut mereka, 'ulama
harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih
dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat
situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu,
dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya
tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah
juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan
hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak
perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu
keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.
Demikianlah, sampai
sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd
Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman
kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau
"dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim.
Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai
"gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh
kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan
penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!
Memang, mereka pun
menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini.
Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu,
juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan
munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.
Selanjutnya, masalah
menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang
dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun
1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki
Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada
tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme
Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka
melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui
mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat.
Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu
ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan
kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran
bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu
pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya
gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna,
Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai
akar fundamentalisme Islam kontemporer.
Pada masa-masa ini,
gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan.
Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di
dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus
menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah
dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia
Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat
relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang
menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir
Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati,
Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian
pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.
Sampai di sini, menarik
sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini,
yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam,
khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka
perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua,
keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga,
pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat
tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan
argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan
keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.[29]
Islam Liberal yang
dimaksudkan intelektual Barat, pada akhirnya lebih merupakan penarikan
kesimpulan yang dihasilkan melalui kajian/telaah pemikiran para pemikir atau
tokoh-tokoh Muslim dari Dunia Islam tersebut daripada mencoba menggali dan
menelusuri sendiri pemikiran tersebut.[30]
C.
Hubungan atau
Keterkaitan Antara Islam Liberal Dengan Kaum Orientalis Kristen (Yahudi)
D.
Sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam Liberal ke Indonesia [31]
Tak syak lagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Barat telah membuat sebagian kalangan
umat Islam terkagum-kagum dan mengalami shock culture. Untuk mengapreasiasi
kemajuan Barat itu, sejumlah tokoh Islam menganjurkan dan menyerukan adanya pembaharuan
Islam dengan mencontoh Barat.
Pembaharuan pemikiran
di dunia Islam dimulai ketika Khilafah ‘Utsmaniyah di Turki diambang
kehancuran. Selanjutnya, Islam Turki di bawah komando Mustafa al-Tatruk
didekontruksi sedemikian rupa seperti Barat. Setelah berhasil mendelegitimasi
kewenangan khalifah dan Pengadilan Khusus Agama (Islam), al-Tatruk dengan penuh
kepongahan merombak total tatanan prinsip-prinip Islam.
Tak hanya itu. Ia juga
mengganti Hukum Syari’at tentang perkawinan Islam dengan diganti hukum Swiss,
di mana perempuan punya hak cerai sama dengan laki-laki. Selanjutnya,
sekolah-sekolah agama (madrasah) dan perguruan tinggi agama dibubarkan, dan
diganti dengan sekolah ala Barat.
Yang lebih parah lagi
adalah adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa lokal (Turki), jilbab dilarang,
dan penggunaan bahasa Arab pun diganti dengan bahasa Barat. Pendek kata, semua
identitas, idiom-idiom keIslaman dan kearaban dihapuskan diganti dengan simbol,
identitas dan tradisi Barat. Setelah itu semua, sempurnalah bekas khilafah
‘Utsmaniyah itu menjadi Republik Turki yang sekular. (Harun Nasution, Islam
Rasional, , 1995)
Selain Turki, dunia
Islam yang kecipratan dengan pembaharuan Islam adalah Mesir. Pembaharuan di
negeri Kinanah ini mulai terjadi ketika utusan Perancis Napoleon Bonaparte dan
sejumlah ilmuan yang ikut rombongannya datang ke negeri itu. Dari situ
terjadilah kontak masyarakat Mesir dengan budaya Barat.
Seperti yang dialami
Turki, sebagian ulama Mesir mendukung program pembaharuan model Barat itu.
Untuk kepentingan ini, maka diutuslah pelajar-pelajar Mesir untuk belajar di
Paris dengan pengawasan imam. Adalah Rifa’ al-Thahthawi (1803-1873) dari
imam-imam yang diutus untuk belajar ke sana. Sekembalinya dari pengembaraan
dari negeri Barat, pemikiran al-Thahthawi cukup berpengaruh dalam masyarakat
Mesir saat itu. Di antara pembaharuan yang digaungkan al-Thahthawi adalah
penyesuaian penafsiran/interpretasi syari’at dengan kondisi zaman modern.
Setelah ia wafat,
barulah Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir, dan menyuarakan hal yang serupa.
Pembaharuan yang dibawa al-Afghani selanjutnya dilanjutkan oleh Muhammad ‘Abduh
dan muridnya Rasyid Ridla.
Menurut Harun,
pembaharuan yang digerakkan oleh mereka itu memakai pendekatan teologi atau
pemikiran Mu’tazilah (rasionalisme). Dari sini pula muncul tokoh-tokoh sekular-
liberal, sebut saja misalnya, Musthafa A. Raziq, Sa’ad Zaghlul, Ahmad Amin,
Thaha Husein, ‘Ali Abdul Raziq, dan lain-lainnya yang senada.
Bagaimana dengan
Perkembangan Islam Liberal di Indonesia?[32]
KH. Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyahnyah, pembaharuan Islam dimulai. Gagasan pembaharuan Kyai Dahlan
sendiri merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir. Ketika pendiri Muhammadiyah
itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di sana, di tengah perjalanan
ia membaca karya ‘Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar.
Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah
menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia.
Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan dari penjajah
(Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul, khurafat serta bid’ah di
masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad Dahlan prihatin sekaligus protes
keras. Faktor-faktor inilah yang mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai. Dahlan
bersama Muhammadiyahnya.
Kendati begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan
Muhammadiyah bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut hal-hal dasar
(ushul), tapi pada masalah cabang (furu’). Misalnya, soal ru’yah al-Hilal,
patung, gambar, musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya. Pembaharuan
demikian berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Turki.
Sebagai orang yang pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun
sendirilah yang dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui
lembaga pendidikan tinggi. Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah, dalam hal
ini Menteri Agama (Menag) A.Mukti ‘Ali menunjuk dia sebagai Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah, program liberalisasi pemikiran Islam segera ditabuh dan
digulirkan. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi, 2006)
Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan mensosialisasikan
paham Mu’tazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya mewajibakan para mahasiswa
membaca buku-buku karyanya, antara lain, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Teologi Islam, Filsafat Agama.
Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga menjadi
bacaan dan referensi ”wajib” di kalangan dosen dan mahasiswa IAIN. Kewajiban
memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai kini di semua jurusan atau
program studi, kendati nama IAIN sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mu’tazilah-kan.
Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran di
lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari pemerintah Orde
Baru.
Harun memang dikenal
gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia punya dedikasi tinggi untuk
mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya
para pemikir liberal sekular di Mesir.
Menurut mantan muridnya
di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad Dardiri, Harun sangat perhatian dengan
mahasiswanya dalam berbagai hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul
ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia
pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan
bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di
luar IAIN, ” ujarnya.
Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan hasilnya.
Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah menjadi gerbong
terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam. Bila di masa Harun,
liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu Kalam, maka saat ini
fokusnya adalah pada studi Al-Qur’an.
Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah
umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga, liberalisasi
Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi Studi Al-Qur’an
diperkuat dan dikurikulumkan.
Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan
dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah Kajian
Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Referensi dan sumber
dua mata kuliah ini adalah para pengibar liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari
kalangan Muslim maupun Kristen. Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid
Essack, Hans G. Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah
Hermeneutika dan Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan
ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.” Sedangkan
untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan
kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits.”
Atas pengajaran mata
kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham tentang bahaya penerapan
hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau karena alasan lain, seorang dosen ilmu
Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan
hal itu. “Tidak apa-apa. Itu bagus-bagus saja, ” katanya.
Pengajaran Studi Al-Qur’an
dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan banyak mahasiswa/i dan sarjana
UIN/IAIN/STAIN yang meragukan, menghujat, bahkan melecehkan Al-Qur’an. Laporan
majalah pekanan GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN
Surabaya di depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah
dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang tak
beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam.(baca: http://haroqi.multiply.com/journal/item/50).
E.
Tokoh-Tokoh
Penganut dan Penyebar Paham Islam Liberal
Para tokoh pembela panji-panji
liberal bukan hanya menentang fatwa MUI tentang haramnya paham liberal dan
pluralisme agama. namun, tak jarang mereka juga “mengobrak abrik” umat dengan
berbagai statementnya yang menabrak nash-nash sharih dan Al Qur’an, Sunnah
Shahihah, dan Ijma Ulama. Tentu, ini sangat
menyakiti hati setiap insan beriman
yang mencintai agamanya.
Ibarat berada dalam satu sekolah
yang sama, tidak mungkin semua siswanya mempunyai tingkat kecerdasan yang sama
atau memiliki kesamaan dalam segala hal.
Mereka juga tidak mungkin berada dalam di satu kelas yang sama. Begitulah
dengan liberalisme ini. Mereka pun berbeda-beda tingkatannya, beda usianya,
beda masanya, dan berbeda semangatnya. Meski tentu saja ada kesamaannya,
sama-sama liberal. Diantara mereka ada yanag memang tergabung dalam Jaringan
Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulii Absar Abdallah. Dan ada yang di luar
JIL: ada yang di NU, di Muhammadiyah, di
Kampus, di luar Kampus, di Jawa, di luar Jawa, dan sebagainya.[33] Adapun menurut klasifikasi Budi Hadrianto ada
50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, diantaranya sebagi berikut :[34]
Para pelopor : Abdul
Mukti Ali, Abdurrahmana Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution, M. Dawam Raharjo, Munawir
Sjadzali, Nurchalis Madjid,
Para Senior : Abdul Munir
Mulkhan, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Alwi Abdurrahman Shihab, Azyumardi Azra,
Goenawan Mohammad, Jalaludin Rahmat, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, M.
Amin Abdullah, M. Syafi’i Anwar, Masdar Farid Mas’udi, Moeslim Abdurrahman,
Nasarudin Umar, Said Aqiel Siradj, Zainul Kamal.
Para Perintis : Abd
A’la, Abdul Moqsith Ghazali, Ahmad Fuad
Fanani, Ahmad Gauss AF, Ahmad Sahal, Bahtiar Effendy, Budhy Munawar Rahman,
Denny J.A, Fathimah Usman, Hamid Basyaib, Husain Muhammad, Ihsan Ali Fauzi, M.
Jadul Maula, M. Luthfi Asy-Syaukani, Muhammad Ali, Mun’im A. Sirry, Nong Darol
Mahmada, Rizal Malarangerng, Saiful
Mujani, Siti Musdah Mulia, Sukidi, Sumanto Al Qurthuby, Syamsu Rizal
Panggabean, Taufik Adnan Amal, Ulil Absar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir.
F.
Pandangan Para
Tokoh Islam Liberal
Diantara
pandangan dan latar belakang tokoh sebagai bnerikut:
1.
Nama :Prof. DR. H.Abdul Mukti Ali
Lahir : Cepu,
23 Agustus 1923
Meninggal : Yogyakarta,
5 Mei 2004 (81 tahun)
Pendidikan :
§ Pondok Pesantern Tremas, Pacitan Jawa Timur
§ Pendidikan Belanda di HIS
§ Universitas Islam Indonesia (dulu sekolah tinggi Islam)
§ Gelar MA dari faculty Of Devinity & Isalamic Studies, MicGill
University, Mantreal, Kanada
§ Gelar Doktor dari Universitas Karachi, Pakistan
Karir :
§ Karyawan Jawatan Pendidikan Agama
§ Staf di Sekjen Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga
§ Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta
§ Menteri Agama RI
§ Anggota DPA RI
§ Guru besar IAIN Yogyakarta
Prof
. DR. H. Abdul Mukti Ali (1923-2004) dikenal sebagai cendikiawan Islam yang
pluralis. Menurut webset tokoh Indonesia, Mukti Ali adalah tokoh pembaharu
Islam yang mempelopori Liberalisme pemikiran Islam di era Indonesia modern.
Selain sebagai penggagas liberalisme Islam Indonesia, Prof. DR. H. Mukti Ali
terkenal sebagi moderat dan pluralis, baik internal masyarakat Islam maupun
eksternal di luar Islam.
Sejak
ia menuntut ilmu di McGill University, Montreal, Kanada gagasan pembaharuan
Mukti Ali sebenarnya telah terlihat jelas. Mukti Ali mislanyakerap kali menulis
soal-soal gagasan pembaharuan keislaman Muhammad Abduh dan Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah.
Meskipun
saat itu, Mukti Ali masih tahap membandingkan gagasan pembaharu tersebut, namun
benih-benih pembaharuan Ali itu menjadi entry point penting kelak dalam
perkembangannya.
Pesan-pesan pembaruan Islam yang
disampaikannya memiliki cara dan gayanya yang khas. Berbeda dengan kebanyakan
pemikir dan pembaru Islam lainnya, Mukti Ali cukup lihai dan cenderung
mengintrodusir gagasan liberal Islam sedemikian rupa sehingga relatif tidak
menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tidak sepaham dengannya.
Mukti Ali termasuk pendunkung eksisitensi
Negara Israel. Setelah melepaskan jabatan menteri, ia kembali menekuni dunia
pendidikan di Yogyakarta, sejak 1983. Tahun itu juga, seminar Palemologi di
Yogya, ia berbicara tentang penyelesaian masalah Palestina. “Jika masalah ini
berlarut-larut, negara-negara Arab dan Islam akan rugi,” tuturnya. Lantas ia
menyarankan agar eksisistensi Israel diakui, sebagaimana Israel mengakui
berdirinya negara Palestina dalam batas-batas yang disetujui bersama.
Selain itu ia menganggap perlunya
para ahli agama, yang bukan politikus, mengadakan dialog, “sepuluh orang Islam,
dan sepuluh lagi orang Yahudi,” ujarnya. “penyelenggaraan konsultasi itu, harsu
pihak ketiga, yakni Dewan gereja-gereja sedunia.” Hal ini menurutnya, untuk
menciptakan suatu perjanjian konsistensi damai, dan tidak saling menyerang.
Dalam hal ini, ia memang bersikap
liberal, mengizinkan lahirnya berbagai pikirtan tentang agama yang aneh sekalipun.
“asal bisa didebat,” kaatanya, “Kan lebih baik berkreasi, walaupun salah,
ketimbang mematuhi kesimpulan-kesimpulan yang jumud (beku).” Semasa kecil ia
bernama Soedjono. Ketika ia belajar di Pondok Pesamntren Tremas, Pacitan, Jawa
Timur, salah seorang ustadznya mengatakan, “Soedjono termasuk santri yang
cerdas.” Di situ ia bukan saja mendapat
ilmu tetapi juga nama baru: Mukti Ali.
Mukti Ali termasuk orang yang mempunayai andil
besar terhadap subur dan maraknya liberalisasi Islam di Indonesia sekarang ini.
Sebab dalam masa kepemimpinannya di Departemen Agama, ia mengirim para sarjana
IAIN untuk sekolah atau melanjutkan studi, belajar ilmu-ilmu Islam di Barat.
Beberapa intelektual Islam sekembalinya dari Barat menyebarkan paham
sekularisme, liberalisme dan pluralisme.
Menggeluti dunia perguruan tinggi,
ayah tiga anak ini mengemukakan, pembangunan tanpa perguruan tinggi akan
lumpuh. Sebaliknya, perguruan tinggi bisa gulung tikar jika tidak ditanamkan
cita-cita pembangunan. Karena itu ia mengharap para mahasiswa mampu menjawab
tuntutan dan kesertaan dalam setiap
program pembangunan.
Laki-laki
berperawakan kecil, rambut mulai memutih, sehari-hari di kalangan mahasiswa
dikenal sebagai perokok berantai, rokoknya merek Dunhill.[35]
1. Ahmad Wahib
adalah penggagas “ Lingkaran Diskusi Limited Group.”
Forum jum’atan di rumah Mukti Ali, kompleks IAIN Sunan Kalijaga, Demangan.
Wahib Juga aktivis HMI. DI kelompok mahasiswa Islam ia juga menonjol. Ia
dilahirkan 9 November 1942 di Sampang Madura. Lingkungan bergaulnya di masa
kanak-kanak adalah iklim beragama yang ketat. Ayahnya, Sulaiman tergolong
pemuka agama. Ia wafat 31 Maret 1973.
Wahib termasuk orang
pertama yang mencuatkan ide pluralisme agama di Indonesia. Meskipun hidupnya
tidak lama, namun bukunya yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: catatan
Harian Ahmad Wahib, disunting oleh rekan seperjuangannya Djohan Effendi dan
Ismet Natsir dan diterbitkan LP3ES, telah membuat gegar kalangan Islam waktu
itu, karena isinya sangat sekuler, liberal, dan pluralis.
Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib menulis, “Sejauh yang aku
amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam
masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampukita sekulerkan.
Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak
ingin sekularistik.”
Tentang pluralisme pada
9 Oktober 1969, ia menulis, “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan
sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan Westernis. Aku bukan komunis.
Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut
Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolut
etenty) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya dan aliran apa
saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.
“Menurut saya sumber-sumber
pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam,
bukanlah Al Quran dan Al Hadits melainkan sejarah Muhammad. Bunyi Al Qur’an dan
Al Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa
kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu
sendiri. Sumber sejarah yang lain dari sejarah Muhammad ialah struktur
masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya,
iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lain.” (Catatan
Harian tanggal 17 April 1970).[36]
2. Nurcholish Madjid
Lahir di Jombang, 17
Maret 1939, dan wafat 29 Agustus 2005. Ia biasa disapa dengan Cak Nur, lahir
dan dibesarkan di lingkungan Kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.
Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati
pendidikan diberbagai pesantren termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi
keagamaannya di IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi
doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan
disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiyah.
Ditulis dalam buku “Islam Liberal,” Cak Nur merupakan
tokoh Islam liberal atau liberalisasi Islam paling terkemuka di Indonesia.
Doktor dari Chicago University ini mempelopori gerakan sekularisasi di
Indonesia sejak tahun 1970. Dalam acara halal bi halal di Jakarta pada tanggal
3 Januari 1970 yang dihadiri para aktifis penerus Masyumi, yaitu HMI, PII, GPI,
dan Persami, Cak Nur menyampaikan makalahnya yanag berjudul “Keharusan
Pembaruan Pemikiran dan Masalah Integrasi Umat.”
Makalah tersebut sempat
menggegerkan aktivis Islam saat itu. Karena di situ ia mengajak ke arah
sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam. Ia juga memperkenalkan ide
sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme. “sekularisasi tidaklah
dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi
sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah
semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrowikannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan
menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan materuial, moral,
ataupun historis menjadi sifat kaum muslimin.” Selain itu ia juga
memperkenalkan konsep Islam Yes, Partai Islam No.
Beberapa statement nya
yang sekuler, liberalis, pluralis diantaranya sebagai berikut:
“sebagai sebuah
pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat Inklusif dan merentangkan
tafsirnya ke arah yang makin pluralis. Sebagai contoh filsafat prenial yang
belakangan ini dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandanagan pluralis
dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan
jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi
agama pada level esoterik (batin) dan eksooterik (lahir). Satu agama berbeda
dengan agama lain dalam level eksoterik tetapi relatif sama dalam level
eksoteriknya. Oleh karena itu ada istilah ‘Satu Tuhan Banyak Jalan.” (Buku Tiga
Agama Satu Tuhan,Miza, Bandung, 1999, hal. xix).
“Jadi Pluralisme
sesungguhnya adalah Aturan Tuhan Sunnatullah, yang tidak akan berubah sehingga
juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” (Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta , 1995, hal: lxxvii).
“Apologi bahwa Islam
adalah al-Din, bukan semata-semata, melainkan juga meliputi bidang lain,
yang akhirnya melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter, itu tidak benar
ditinjau dari berbagai segi. Pertama ialah dari segi bahasa. Disitu terjadi
inkonsistensi yang nyata, yaitu perkataan al-din dipakai juga untuk
menyatakan agama-agama yang lain, termasuk agama syirik-nya orang-orang Quraisy
Makkah. Jadi arti kata itu memang agama, karena itu, Islam adaah agama.”
(Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, hal. 502).
Demikianlah pandangan-pandangan beberapa tokoh liberal
tersebut. Masih ada banyak lagi pandangan-pandangan lain, yang mungkin akan
lebih mengejutkan bagi pembaca.
G.
Pembeda antara
Islam dengan Akidah Seutuhnya Dengan Islam Liberal[37]
1. Islam
Islam adalah Agama (Ad
Dien) yang diturunkan oleh Allah swt, sang Pencipta, kepada utusan terakhirNya
Muhammad SAW. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan panduan hidup manusia di
dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan Penciptanya, yaitu Allah swt.
Panduan, bagaimana manusia harus berhubungan dengan manusia lainnya, serta
panduan bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri.
Seluruh panduan dalam
Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak kebenarannya. Berisi perintah dan
anjuran, begitu pula larangan dan cegahan, serta pilihan yang diserahkan kepada
manusia untuk bebas memilihnya.
Secara garis besar,
Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah merupakan panduan berupa
keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia. Sedangkan Syariat adalah
panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
Beberapa hal tentang
aqidah serta Syar’iat bisa dijelaskan dalam pembahasan ini adalah sebagai
berikut:
1. Inti aqidah Islam adalah Laa ilaaha illallah, muhammadun rasuulullaah.
Artinya, tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah swt, dan Muhammad saw,
adalah utusan Allah.
2. Aqidah Islam meyakini bahwa pencipta alam seisinya adalah Allah swt.
Manusia hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan perintah Allah swt. Setelah
mati, manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di Akhirat,
di hadapan Allah swt. Untuk kemudian diganjar ataupun disiksa sesuai dengan
perbuatannya di dunia.
3. Aqidah Islam adalah aqidah yang membawa konsekuensi kepada manusia untuk
terikat dengan Syariat Allah swt. Syari’at tersebut melingkupi segenap aspek
kehidupan manusia. Jadi di dalan Islam, tidak ada satu pun aspek dalam
kehidupan manusia ini yang lepas dari aturan Syari’at Allah. Oleh karena itu,
Islam mempunyai kekhasan hukum tersendiri dibandingkan dengan syari’at lain
manapun. Syari’at Islam (syari’at Allah swt) meliputi hukum-hukum yang
menyangkut antara lain : Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah (politik, ekonomi,
peradilan, pendidikan dll)
4. Dari Aqidah Islam inilah terpancarkan satu sistem kehidupan yang meliputi
sistem politik Islami, sistem ekonomi Islami, sistem pergaulan yang Islami ,
sistem pendidikan Islami, sistem peradilan Islami dan sistem-sistem lainnya
yang Islami.
5. Aqidah Islam bukanlah aqidah sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan.
Aqidah Islam adalah Aqidah ruhiyah sekaligus aqidah siyasiyyah. Aqidah ruhiyyah
adalah aqidah yang terpancar darinya keyakinana-keyakinan tentang akhirat,
sedang aqidah siyasiyyah adalah aqidah yang terpancar darinya aturan-aturan
kehidupan di dunia.
2. Liberalisme.
Liberalisme adalah
sebuah ajaran tentang kebebasan. Isme ini lahir seiring dengan lahirnya aqidah
sekularisme. Jadi Liberalisme adalah anak kandung Sekularisme.Ia bersaudara
dengan Kapitalisme dan Demokrasi. Ia mengajarkan akan kebebasan manusia dalam
hal apa saja. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku
dan kebebasan kepemilikan. Dari liberalisme ini muncullah gerakan-gerakan baru
yang mengatas namakan gerakan memperjuangkan HAM, Hak Asasi Manusia.
Liberalisme, yang
sekarang ini dianut oleh negara-negara Barat dan seluruh pengikutnya, berawal
dari adanya kompromi yang terjadi antara pihak agamawan (gereja Eropa) dan
golongan Ilmuwan (scientist) Eropa yang tidak puas dengan adanya aturan-aturan
yang diberlakukan pihak gereja dalam masyarakat.. Kesepakatan itu isinya adalah
pemisahan antara urusan akhirat yang diberikan wewenangnya kepada pihak
agamawan, sedangkan urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada pihak masyarakat
pada umumnya. Pemisahan agama dari kehidupan inilah yang menjadi awal lahirnya
sekularisme.
Beberapa hal tentang
Aqidah sekuler yang bisa dijelaskan secara singkat dalam pembahasan sini adalah
sebagai berikut :
1. Urusan agama adalah wewenang pihak gereja, sedangkan urusan kehidupan dunia
adalah wewenang masyarakat pada umumnya. Agama adalah urusan individu yang
tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan publik dan kenegaraan.
2. Tuhan telah menciptakan manusia, adapun hukum-hukum yang mengatur kehidupan
manusia diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membuatnya.
3. Dari aqidah sekular ini terpancarlah aturan-aturan dan system kehidupan.
Terpancarlah darinya sistem ekonomi (Kapitalis), sistem Pergaulan Kehidupan
yang bebas dan permissive (Liberalis) dan sistem politik pemerintahan
(Demokrasi)
Liberalisme, lebih
lanjut mengajarkan adanya kebebasan dalam hal :
a.Beragama
b.Berpendapat
c.Berperilaku
d.Kepemilikan
a.Beragama
b.Berpendapat
c.Berperilaku
d.Kepemilikan
Perbandingan antara
islam dan liberalisme :
Mari kita simak
perbandingan singkat berikut ini:
1. Aqidah:
Liberalisme beraqidah sekular, sedangkan Islam tidak beraqidah sekular
Liberalisme beraqidah sekular, sedangkan Islam tidak beraqidah sekular
2. Sistem kehidupan yang terpancar darinya:
Islam menuntun
kehidupan dengan sistem-sistem yang lahir dari Agama Islam itu sendiri. Aturan
Islam datang dari Allah swt. Liberalisme melahirkan aturan-aturan yang tidak
berlandaskan agama sama sekali.
3. Tentang kebebasan beragama:
Islam mengajarkan bahwa
agama di sisi Allah hanyalah Islam. Liberalisme mengajarkan bahwa agama tidak
perlu dipersoalkan. Agama adalah urusan individu. Setiap Individu bebas memilih
agama apapun.
4. Tentang kebebasan berpendapat:
Tidak ada kebebasan
berpendapat dalam Islam, kecuali dalam hal-hal yang mubah. Oleh karena itu
Musyawarah dalam Islam hanya dalam persoalan mubah. Hal ini berbeda sama sekali
dengan Liberalisme. Liberalisme membebaskan berpendapat apa saja dalam seluruh
persoalan, karena setiap individu dijamin bebas berpendapat.
5. Tentang kebebasan berperilaku
Syari’at Islam mengikat setiap perbuatan manusia. Setiap perbuatan manusia
harus terikat dengan hukum Syari’at. Hal ini beda sama sekali dengan
Liberalisme, dimana ia membebaskan setiap Individu untuk berbuat apa saja
asalkan tidak merugikan hak individu lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan ide dasar
baik Islam maupun Liberalisme tersebut di atas, jelas sekali bahwa antara Islam
dan Liberalisme, tidak ada kaitannya sama sekali, dan tidak perlu
dikait-kaitkan. Mengaitkan dua hal yang bertentangan adalah tindakan yang
bodoh. Apalagi hasil kaitan yang di reka-reka tersebut disebar luaskan untuk
bisa diikuti umat. Jelas ini merupakan aktivitas yang membodohi umat. Perlu
diwaspadai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, pembaharuan Islam, akan
tetapi sesungguhnya adalah penghancuran terhadap Islam dari dalam.
Jika kita telusuri
lebih jauh maka kita akan temukan banyak sekali pandanagan yang memang
sangatlah bertentangan dengan Islam. Para tokoh Islam Liberal pun berusaha
keras untuk mengoyahkan Iman Umat Islam, karena memang itulah tujuan
orang-orang kafir sejak zaman dahulu. Kita tahu bagaimana
pertentangan-pertentangan kaumnya Musa denga nabinya, kaum kafir Mekkah
terhadap Muhammad. Mereka enggan meyakini bahwa Inna AL-Dina Inda Allah hi
al-Islam, mereka enggan menyembah Allah, mereka tidak percaya dengan diutusnya
Nabi-nabi oleh Allah, mereka enggan beriman kepada al-Qur’an dan kitabp-kitab
yang diturunkan. Itu karena mereka menuruti hawa nafsunya yang dibisikkan oleh
Iblis yang tak pernah senang jika bani Adam selamat dan taat pada Allah.
Lalu, apakah kita masih
mau mengulang sejarah dizabnya kaum-kaum ingkar tersebut, sebagaimana yang
diceritakan dalam al Qur’an. Islam memang tak melarang manusia untuk berpikir,
namun pikirkanlah apa yang bermanfaat, bukan untuk memikirkan hal yang dapat
menentang keAbsolutan yang haq, baik itu zat Allah, Al-Qur’an, kenabian,
syariat, sunnah, dan begitu banyak pemikiran mereka yang menentang apa yang
telah nyata kebenarannya. Akankah kita tidak bisa mengambil pelajaran dari
firman-firman Allah, bahwa Islam adalah agama yang haq, al Qur’an adalah kitab
dan sumber hukum yang haq, nabi Muhammad adalah utusan-Nya yang seharusnya
dijadikan panutan, alam ini adalah bukti kekuasaan Allah, serta berbagai
pelajaran kisah-kisah umat terdahulu yang sesat dan yang taat? Begitu banyak
firmanNya yang belum kita amalkan, lalu mengapa kebanyakan manusia tidak
memikirkan hal itu? Mengapa justru mementingkan akal mereka yang hasilnya
hanyalah keraguan pada Zat Allah yang Esa, al Quran yang Otentik lagi
Kalamullah, dan lain sebagainya? Hingga diantara mereka ada yang menyatakan
bahwa “semua agama adalah benar, al Quran Kalam Muhammad, Al Quran sudah tidak
asli karena sistem penulisannya tidak terpantau, syariat harus disesuaikan
zaman, serta berbagai paham penyimpangan lainnya. Mereka mencoba mengatasnamakan
kebebasan, kebahagiaan dengan menjunjung tinggi akal.
Marilah kita renungkan
dalam-dalam, fikirkanlah apakah tujuan dari hidup ini? Mau dibawa ke mana jiwa
dan raga ini, sudah cukupkah amal kita setelah dikurangi begitu banyak mak’siat
yang kita lakukan? Sudahkah saya mengamalkan syariat Islam yang bersumber pada
Al qur’an dan Sunnah dengan benar? Akankah kita ingin menyia-nyiakan waktu ini
untuk memikirkan hal-hal yang justru membawa kita pada keragu-raguan dari jalan
yang lurus lagi benar?
Dalam hati kecil saya
terbersit, sayang sekali jika energi dan hidup di dubia yang sebentar ini
digunakan untuk hal-hal yang mubadzir, yaitu dengan membongkar kembali hal-hal
yang telah dipastikan benar dan telah dibahas dalam ratusan tahun oleh para
pakar yang snagt kompeten di bidangnya. Apalagi, dengan sadar atau tanpa sadar,
cara-cara dekonstruksi ini telah
menikuti arah yang dikembangkan oleh kalangan Misionaris Kristen atau kalangan
orientalis yang bermaksud jahat terhadap Islam.
Dalam waktu yang singkat,
waktu harus digunakan dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah swt.
dengan menambahi ilmu yang bermanfaat dan berbuat sekuat tenaga untuk
kemaslahatan umat, sebagaimana Syamsudi Arif sering menggunakan istilah “al-waktu
Qasir wal ‘amal Katsir” (waktu singkat, tetapi pekerjaan banyak).
Rasullullah saw. bersabda:
“man ta’allama al-ilma li yubaa hiya bihi al-‘ulamaa a wa yu jaa ri ya
bihi al-sufaha a wa yasyrifa bihi wujuuhu al-nasa ilaihi idkhalahu allahu
jahannama.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Yang artinya:
“Barang siapa yang mempelajari ilmu agama untuk berbangga-bangga
dihadapan ulama, untuk bersilat lidah dihadapan orang-orang bodoh, dan agar
muka berpaling kepadanya; maka Allah akan memasukannya ke dalam neraka jahannam.”
(HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
[1] "'Liberalisme'
didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan
kesetaraan secara umum." - Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion
to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit,
Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: "Kebebasan itu sendiri
bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri
adalah tujuan politik yang tertinggi."- Lord Acton
[2] http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16, Kamis,
05 April 2007, Henri Shalahuddin, Dosen STID
M Natsir.
[3] http://www.dudung.net/artikel-islami/islam-dan-liberalisme-adakah-korelasinya.html, 1 November 2002 - 10:50
Islam Dan Liberalisme, Adakah Korelasinya…?*), Oleh : Drs. Muhammad
Taufiq NIQ.
[4] K.H.R.
Syarifuddin, dkk, Islam Marxisme Liberalisme Nasionalisme, (Bandung:
Lembaga Pengarang & Penerbit Yayasan Universitas Islam Nusantara) hlm. 74, yang mengutip dari Ruth C. Hunt “The American Encyclopedia” hal.
12-305.
[5] Ibid, hlm. 73
[6] Ibid, hlm. 73
[7] Karya
tulis seminar “Pro dan Kontra Liberalisme di
Indonesia” yang diadakan pada 06 Desember 2006 di Aula Universitas
Paramadina Penyelenggara : Universitas Paramadina, Freedom Institute dan
Freidrich Naumann Stiftung (FNS), hlm. 7
[9] Charles
Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, Diterjemahkan sebagai wacana
Islam Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina,
2001), hlm. Xiii.
[10] Adnan, Armas, Pengaruh
Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press,
2003) hlm. XiV
[11]
Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms),
Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984, hlm. 148.
[12] Audi,
Robert, Agama
dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII
Press, 2002), hlm. 47
[13] Said,
Busthami Muhammad, Gerakan Pembatuan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din),
Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : PT Wacaralazuardi Amanah,
1995), hlm. 101.
[14] Imran AM,
Islam Liberal Mengikis Akidah Islam, (Jakarta: INSIDA, 2004), hlm. Xii.
Dikutip dari www. Islamlib.com
[15] Ibid, hlm. xii
[16] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia,
[17] Karya
tulis seminar “Pro dan Kontra Liberalisme di
Indonesia”, op. Cit, hlm. 17
[18] Maurice
Bucaille, The Bible The Qur’an and Science, hlm. 34, dikutip oleh Adnan,
Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (jakarta: Gema
Insani Press, 2003) hlm.4
[19] Ibid, hlm. 4
[20] S.M. N.
Al-Attas, Islam dan Secularicm, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 20
[21] Harvey Cox,
“Why Cristianity Must be Secularized”, dalam “The Great Ideas Today, 1967, Hlm.
9-10.
[22] Harvey Cox,
op, cit. Hlm. 11-12
[23] Ludwig
Furbach, The Essence Of Christianity, penerjemahan George Eliot, xiii-xix.
Dikutip dari Adnin Armas, op cit. Hlm. 5.
[24] E.L Mascal,
“Why Christianity Should be Secularized” dalam GIT HLM. 27 Yang dikutip oleh
Adnin Armas, op.cit. hlm. 6.
[25] Lihat Dagobert D. Runes “Dictionery of
Philosophy” hal. 270.
[27] Vergilius Ferm
“Encyclopedia of Relegiaon” hal. 656. Dikutip oleh K.H.R Syarifuddin, op.cit.
hal. 72
[28] K.h.r
Syarifudiin, op.cit, hal. 74.
[31] Mohamad Zaki Hussein
<zaki@centrin.net.id>
[33] Budi
Handrianto, op.cit, hlm: x
[34] Budi
Handrianto, op.cit, hlm:liii-lv
[35] Budi
Hadrianto, op.cit. hlm. 11-15.
[36] Budi
Handrianto, op.cit. hlm: 27-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar