Sabtu, 15 Oktober 2011

Akar dari Pemikiran Islam Liberal



A.    Latar Belakang Masalah
Dalam diri manusia terdapat dua  potensi yakni kebaikan dan keburukan yang selalu berperang untuk menjadi yang terdepan. Allah Swt berfirman, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Syams: 8-19). Tinggal bagaimana kita memanage dua potensi tersebut. Akankah kita kalah oleh jiwa yang kotor. Atau apakah kita berhasil menang dengan ketakwaan yang telah Allah ilhamkan.
Ketika ide kebebasan berpendapat menggelinding dan liberalisme merajalela di segala bidang, seakan-akan semuanya hendak diliberalkan. Bahkan atas nama kebebasan HAM, kesucian Al Qur’an diinjak-injak, dan kehormatan wahyu Ilahi pun sudah menjadi objek keliberalan mereka. Keotentikan Al Qur’an mereka ragukan, kisah-kisah di dalamnya mereka anggap saduran dari kitab lain, dan ayat-ayatnya mereka pelintir. Tak heran, jika kemudian Al Qur’an pun dianggap produk manusia (baca: Muhammad).
Islam liberal sebagai sebuah fenomena kehidupan Islam memang sudah tidak asing lagi. Namun pandangan-pandangan mereka yang menunjukkan adanya pengaruh atau kepanjangan tangan pemikiran misionaris Kristen dan Orientalis Barat begitu kuat, belum banyak terungkap. Sebutlah Harvey Cox, Robert N. Beellah, Michel Faucault, atau Charles Kurzman yang menafikan adanya kebenaran tunggal. Pandangan hidup Islam yang mendasar seperti konsep Tuhan, kenabian, ilmu, dan agama di posisikan sebagai objek yang rancu, membingungkan dan perlu dipedebatkan.
Pemikiran-pemikiran yang digulirkan oleh kaum orientalis Barat dan misionaris Kristen telah memberi pengaruh yang besar kepada gagasan sekularisme dan liberalisme Islam yang diusung oleh golongan Islam liberal. Namun ternyata banyak ketidak jelasan dan kekeliruan dalam pendapat-pendapat yang disampaikan oleh mereka. Sangat jelas, beberarapa diantaranya bersikap spekulatif dan eksperimental. Mereka bahkan tidak dengan tegas memberikan batasan “liberal”, padahal konsep batas itu akan merumuskan kriteria, distingsi, dan katagorisasi liberal. Akibatnya, paham liberal cenderung dibangun atas paham relativisme, skeptisme dan anogtisme.(baca: Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, 2003: V).
Ketika kita membicarakan liberalisme maka tidak akan terlepas dari kaitannya dengan sekularisme, kapitalisme dan isme-isme lain, yang merupakan bentuk modernitas dari pemikiran peradaban. Sekularisme merupakan gagasan penting yang berasal dari kelompok Islam liberal. Tidak diragukan lagi bahwa sekularisasi adalah gagasan yang berasala dari warisan sejarah perkembangan peradaban Barat. Hal ini dapat ditelusuri mulai abad pertengahan (middle ages)  Barat ketika peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian ilmiah. Hal ini sebagai reaksi atas pertentangan antara akal mereka dengan Bible yang mulai timbul di zaman modern. Hingga kemudian mereka. Sehingga mereka mengupayakan jalan rasionalitas sebagai bagian dari pembebasan akal dari Bible.(kitab yang ditulis oleh pengarang bible yang dikatakan sebagai inspirasi roh Kudus), ( baca: Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, 2003: 3-4).
Selain itu ternyata paham liberal kaum orientalis Yahudi kini mulai merambah ke Indonesia. Kelompok cendekiawan Muslim yang tergabung dalam Islam Liberal yang kemudian membentuk jaringan yang mereka sebut dengan Jaringan  Islam Liberal (JIL), yang dalam rilisannya di berbagai artikel di media cetak, mencoba menawarkan “paham baru” yang mereka sebut “new theology” yang pada hakikatnya merupakan “new religion” sebab ajaran theologi yang mereka perkenalkan ternyata tidak dikenal dalam Islam, sedang agama-agama di luar Islam juga tampak tidak ada yang menyambutnya.
Mereka telah mengklaim diri mereka sebagai Islam, sedangkan apa yang mereka ajarkan berbeda dengan Islam itu sendiri. Mereka melebelkan diri dengan nama Islam sedang mereka memaknai bahwa “Semua agama adalah sama, karena sama-sama menyembah pada Zat Yang Maha Satu, yaitu Tuhan”. Sebutan Tuhan menurut mereka memang macam-macam, tapi sebutan itu adalah produk ciptaan manusia. Karenanya semua pemeluk agama, apapun a agama dan nama Tuhannya, dijamin akan “selamat” diakhirat nanti. Amalan-amalan ibadah menurut mereka hanyalah “simbol” belaka, boleh bermacam-macam karena yang penting adalah “tujuannya” sama, yaitu sama-sama menuju kepada Tuhan yanga “Maha Satu”. Lalu dari segi mananya paham yang berlebel Islam itu mencirikan aqidah keislamannya? (baca: Imron AM, Islam Liberal Mengikis Aqidah Islam, 2004: X).
Selain itu para tokoh-tokoh pembawa dan penyebar paham Islam Liberal ini kini telah meluas di tanah air, yang mungkin jumlahnya akan terus bertambah, seiring  banyak para generasi cendikia atau para generasi muda yang mulai terbawa ajakan pemikiran paham tersebut, hingga berakibat mulai terkikisnya akidah keislaman mereka. Atau mungkin memang mereka memang sudah pada dasarnya pemikirannya menyimpang. (baca:  Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, 2007).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.       Apakah Islam Liberal itu ?
2.       Dari mana datangnya pandangan Islam Liberal itu?
3.       Adakah kaitannya Islam Liberal dengan kaum Orientalis Kristen?
4.       Bagaimana paham Islam Leberal bisa maluas ke tanah air (Indonesia)?
5.       Siapa sajakah tokoh yang menganut serta menyebarkan paham Islam Liberal ini?
6.       Bagaimanakah pandangan para tokoh Islam Liberal terhadap Islam?
7.       Apakah yang membedakan Islam dengan akidah sebenarnya dengan Islam Liberal?


C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.      Pengertian Islam Liberal.
2.      Asal muasal pandangan Islam Liberal.
3.      Hubungan atau keterkaitan antara Islam Liberal dengan kaum Orientalis Kristen (Yahudi).
4.      Sejarah masuk dan berkembangnya Islam Liberal ke Indonesia.
5.      Tokoh-tokoh penganut dan Penyebar paham Islam Liberal.
6.      Pandangan para tokoh Isl;am Liberal.
7.      Pembeda antara Islam dengan akidah seutuhnya dengan Islam Liberal
D.    Metode Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian literer, yakni penelitian yang menjadikan literatur (buku-buku) sebagai bahan rujukannya. Adapun metode yang dipakai adalah :
1.      Metode Induktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya khusus menuju hal-hal yang bersifat umum.
2.      Metode deduktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum menuju ke hal-hal yang khusus.
3.      Metode Korelasi
Metode ini menggunaka cara-cara berpikir dengan mencari korelasi (hubungan) antara sesuatu hal dengan hal yang lain.
E.     Kerangka Berpikir
Islam adalah Agama (Ad Dien) yang diturunkan oleh Allah swt, sang Pencipta, kepada utusan terakhirNya Muhammad SAW. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan panduan hidup manusia di dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk kesejahteraan seluruh manusia. Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan Penciptanya, yaitu Allah swt. Panduan, bagaimana manusia harus berhubungan dengan manusia lainnya, serta panduan bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri.
Seluruh panduan dalam Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak kebenarannya. Berisi perintah dan anjuran, begitu pula larangan dan cegahan, serta pilihan yang diserahkan kepada manusia untuk bebas memilihnya.
Secara garis besar, Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah merupakan panduan berupa keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia. Sedangkan Syariat adalah panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
Islam tidak melarang manusia untuk berfikir dan mengembangkan potensi dirinya, tetapi bukan untuk memikirkan hal-hal yang benar-benar telah pasti kebenarannya (kalam Allah) serta mengubah syariat di dalamnya untuk disesuaikan dengan kebebasan akal yang lemah. Hingga mungkin segelintir orang yang menamakn dengan Islam Liberal, banyak yang terpelosok dan beranggapan bahwa “Semua agama adalah sama, karena sama-sama menyembah pada Zat Yang Maha Satu, yaitu Tuhan”. Juga ada banyak pandangan-pandangan lain yang bertentangan dengan akidah Islam yang haq.
Sehingga dari situlah diperlukan suatu penambah informasi tentang Islam Liberal dan Islam yang sesungguhnya.

Pengaruh Orientalis Kristen Akar dari Pemikiran Islam Liberal
A.    Pengertian Islam Liberal
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.[1] Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat dalam Wikipedia.[2]  Liberalisme adalah sebuah ajaran tentang kebebasan. Isme ini lahir seiring dengan lahirnya aqidah sekularisme. Jadi Liberalisme adalah anak kandung Sekularisme. Ia bersaudara dengan Kapitalisme dan Demokrasi. Ia mengajarkan akan kebebasan manusia dalam hal apa saja. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan.[3]
Liberalisme adalah ideologi yang berdasarkan individualisme, yang oleh Hunt dirumuskan sebagai ideologi “that emphasizes the right of all men to individual freedom”.[4]
Individualisme adalah salah satu aliran filsafat yang menempatkan individu sebagai pusat dan titik berat dari segala macam kehidupan politik, agama, ekonomi dan sosial.[5] Dagobert D Runes “Dictionary of Philosophy” (hal. 145), menjelaskan individualisme  hendaknya dibedakan dari individualistis. Individualisme adalah salah satu faham filsafat yang menempatkan kemerdekaan individu di atas  segala-galanya. Sedangkan individualistis adalah satu kata sifat yang dikenakan kepada seseorang yang mementingkan diri sendiri.[6]
Jadi menurut faham individualisme semua orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama, dan mempunyai kesempatan yang sama pula dalam mengejar kebahagiaan.
            Dalam karya tulis  seminar  “Pro dan Kontra Liberalisme di Indonesia” yang diadakan pada 06 Desember 2006 di Aula Universitas Paramadina Penyelenggara : Universitas Paramadina, Freedom Institute dan Freidrich Naumann Stiftung (FNS)  Rizal Malarangeng mengemukakan bahwa “manusia yang optimis, manusia yang rasional, manusia yang bebas yang tidak dibatasi kebebasan oleh orang lain, dan manusia yang memiliki kepentingan dirinya sendiri”. Ketiga paham dasar inilah sebenarnya yang menjadi fundamennya liberalisme.[7]
Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi yang disebut sebagai Islam Liberal ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.[8]
Ketidak jelasan definisi dan deskripsi makna liberal terungkap secara implisit dalam kutipan pemikiran Charles Kurzman yang membagi lima makna liberal, yaitu pertama, para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap mereka sebagai kaum liberal; kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi liberal, sekalipun mereka menganut beberapa diantaranya; ketiga, bahwa istilah “liberal” mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia Islam; keempat, konsep “Islam Liberal” harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan katagori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun mengenai “kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak memiliki kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian. Saya ingin mendeskripsikannya saja.[9]
 Kurzman menggambarkan konsep Islam Liberal dengan sesuka hatinya. Karena tidak adanya batasan yang jelas. Batasan makna liberal tidak dieksplorasi secara mendalam, padahal konsep “batas” dapat merumuskan kriteria, distingsi, dan katagorisasi liberal. Akibat ketidak jelasan tersebut, paham liberal cenderung dibangun di atas paham relativisme, skeptisisme, dan agnotisme.[10]
Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit).[11] Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu.[12] Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat.[13]
Lalu bagaimana dengan makna Islam Liberal? Kita bisa melihat makna Islam Liberal itu dari seorang tokoh yang memang mengatasnamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Yakni yang diusung oleh Ulil Absar Abdallah, yang sangat profokatif, tendensus, dan vulgar dengan  mengusung kebebasan dalam tafsir dan nilai-nilai Islam. Lihat dan rasakan, bagaimana alasan mereka memakai nama Islam Liberal, betapa kemudian kita akan dibuat terhentak olehnya:
“Nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam menekankan kebebasan pribadi dan pembebeasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirannya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan demikian satu kata sifat terhadap  Islam, yaitu “Liberal.” Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami membentuk jaringan Islam Liberal (JIL).”[14]
            Selain itu kita juga dapat merasakan keterkejutan yang tak kalah hebatnya, ketika melihat mendengar pandangan Lutfi Assyaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia, yang juga merupakan penganut Islam Liberal dengan JIL nya diantaranya:

“Hadirnya gerakan Islam Liberal di Indonesia dalam beberapa tahun terakhi, saya kira merupakan upaya menyikapi berbagai persoalan yang saya sebutkan di atas. Pada level yang paling dasar, gerakan itu berusaha  kritis terhadap sikap dualisme kaum Muslimin terhadap hubungan anatara agama dan politik. Sejak kaum Muslim meraih  mereka dari tangan kolonialisme pada akhir paruh pertama abad ke-20, persoalan hubungan agama dan negara menjadi persoalan besar sepertinya tak pernah bisa diselesaikan. Islam Liberal, sebagaimana gerakan pembaharuan lainnya, seperti di Mesir dan Turki berusaha menyelesaikan sikap dualisme tersebut dengan memberikan satu teologi yang menjadi dasar buat negara modern. Teologi ini menyatakan dengn tegas adanya pemisahan antara urusan agama dengan politik. Islam Liberal meyakini bahwa urusan negara adalah semata-mata urusan duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tetang bentuk pemerintahan manusia.”
“inti dari sistem p[emerintahan menurut ajaran Islam dan bahkan menurut filsafat politik apa pun adalah adanya keadilan dan kesetaraan. Tak ada gunanya sebuah negara mengklaim sebagai negara Islam kalau praktek politiknya ternyata bertentangan dengan ajaran Islam yang paling mendasar tentang keadilan dan kesetaraan. Nabi tak pernah mengumumkan pemerintahannya sebagai negara Islam, karena apa yang yang dijalankan Nabi sesungguhnya telah mengandung inti ajaran Islam, yakni keadilan dan kesetaraan. Formulisme Islam yang diusulkan oelh beberapa kelompok kaum Muslim adalah fenomena belakangan yang tak memiliki landasan kuat dalam sejarah Islam. Bahkan Istilah negara Islam adalah konsep baru yang tak pernah dikenal pada zaman Nabi, sahabat, dan bahkan pada masa-masa kerajaan Islam.”
“Islam Liberal percaya bahwa urusan pemerintahan dan politik adalah persoalan ijtihad manusia, dan bukan sesuatu yang baku datang dari masa silam dan dipaksaterapkan begitu saja kepada orang modern. Begitu juga menyangkut persoalan-persoalan lain, seperti masalah hak-hak perempuan, pluralitas agama, dan kebebasan berpendapat, Islam liberal menyisipkannya secara tegas berdasarkan semangat dasar Islam tentang keadilan dan persamaan. Islam Liberal menganggap berbagai penafsiran pemahaman Islam yang dilakukan oleh sebagian ulama klasik benyak bertentangan dengan semangat dasar  Islam tersebut. Dalam persoalan hak-hak perempuan misalnya, ada banyak sekali persoalan yang harus disikapi dan dimaknai ulang, seperti soal warisan, kesaksian, pakaia, perlindungan, perkawinan, dan lain-lain.”
“Islam Liberal merasa wajib meninjau kembali seluruh doktrin klasik yang tak sejalan denga semangat dasar Islam itu. Sebagai agama yang mengklaim dirinya  sah untuk setiap zaman dan keadaan, Islam harus bisa berjalan dengan logika dan psikologi setiap masa dan kondisi.”
            Tekejutkah anda? Tapi ini memang nyata-nyatanya tercantum dalam buku Lutfi Assyaukani tersebut dalam pengantarnya oleh Daniel S. Lev, Melbourne, 12 maret 2002. Dalam pengantar tersebut jelas tercantum bahwa paham liberal ingin memisahkan antara pengaturan negara dengan syariat agama?  ingin mengubah syariat Islam yang tercantum tegas dalam al Qur’an dan Sunnah yang kemudian diperjelas oleh ulama Islam terdahulu ? yang kemudian diperlukannya usaha peninjauan kembali syariat Islam yang otentik dalam nash dengan mengganti atau memperbaharui dengan hukum baru yang sesuai dengan zaman dan keadaan yang relatif menurut pandangan manusia? Silahkan simpulkan pemhaman anda masing-masing.
Dengan dua contoh tokoh liberal tersebut sekiranya penulis ingin menampilkan kesimpulan  Imron AM, yang mengatakan bahwa “Dalam mencapai kebebasan dan penmbebasan tersebut, penganut Islam Liberal lebih condong pada logika rasionalitas (akal sehat) sebagai ideologinya. Mereka berusaha membongkar nilai-nilai keislaman, menafsirkan berbagai ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan kepentingan mereka guna mencapai tujuan yang mereka inginkan. Tentu saja kebenaran menurut ‘akal pikiran’ mereka. Bukan kebenaran yang bersandar pada kemutlakan-Nya.”[15]
Lutfi Syaukani dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia  menyatakan” Islam Liberal yang berlandaskan jiwa Intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan rela beresiko, serta memiliki akar yang kokoh.”
Untuk memaknai Islam liberal lebih dalam lagi, maka penulis memandang perlu mengutip tulisan Budi handrianto. Di sana dinyatakan “untuk mencermati perkembangan  faham liberal di kalangan Umat Islam, setidaknya ada tiga aspek yang penting dalam Islam yang sedang gencar diliberalkan, yaitu:  1) Syariat Islam, dilakukan dengan perubahan metodelogi ijtihad; 2) Al Qur’an dan tafsir al Qur’an, dengan melakukan dekonstruksi konsep wahyu dalam Islam dan penggunaan metode hermeneutika dalam penafsiran Al Qur’an,  dan; 3) akidah Islam, dengan penyebaran paham Pluralisme Agama.[16]

Sehubungan dengan Pandangan liberalisme yang mengusung kebabasan akal dan individualisme, penulis jadi kembali teringat dengan pendapat Ignazio Silone, yang penulis baca melalui karya ilmiah seminar diUniversitas Paramadina, Dia menyebutkan “Apakah kebebasan?” Kebebasan adalah kemungkinan untuk meragukan, kemungkinan untuk membuat kekeliruan, kemungkinan untuk mencari dan bereksperimen, kemungkinan untuk mengatakan tidak pada otoritas apapun. Sastra, artistik, philosopis, religious, sosial bahkan politik. Jadi orang kembali kepada dirinya, dan dia bisa mengatakan tidak terhadap semua otoritas, itulah kebebasan.[17] Lalu kalau lebiralisme Islam ini terus di diamkan bagaimana dengan otoritas al Qur’an, tentu mereka akan menghapus keotoritasannya, Naudzubillah hi min Dzalik.

B.     Asal Muasal Pandangan Islam Liberal
          Sebelum kita membahas asal muasal liberalisme maka alangkah baiknya kita mengkaji lebih dahulu gagasan penting kelompok Islam liberal
1.      Menelusuri Gagasan Sekularisasi
Sekularisasi merupakan gagasan penting yang berasal dari kelompok Islam Liberal. Jika kita mencermati tulisan-tulisan mereka, kita akan mengetahui bahwa gagasan ini terus- menerus di perjuangkan secara konsisten, bahkan seringkali dalam bentuk yang lebih radikal daripada yang pernah diungkapkan Nurcholis Madjid.
          Tidak diragukan lagi bahwa sekularisasi adalah gagasan yang berasal dari warisan sejarah perkembangan peradaban Barat. Hal ini ditelusuri mulai dari abad pertengahan (middle ages) Barat ketika peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian ilmiah. Penyebabnya dalah Bible mengandung hal-hal yang kontradiktif dengan akal. Revolusi Ilmiah (scientivicrevolution) yang dirintis Copernicus dengan teori heliosentrisnya dianggap bertentangan dengan ajaran Bible. Dalam Bible disebutkan bahwa matahari dan bulan diciptakan setelah bumi. Fakta ini bertentangan dengan ide-ide mendasar tentang sistem solar.[18]
          Pertentangan anatara akal dan Bible mulai mengkristal pada zaman modern. Orang Barat menyebut sejarah zaman pertengahan itu sebagai zaman kegelapan (dark ages). Saat itru akal disubordinasikan di bawah Bible. Karena itulah, mereka menanamkan sejarah peradaban Eropa pada abad XV dan XVI sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance) karena saat itu akal terbebas dari Bible. Mereka juga kemudian menyebut  abad XVII hingga abad XIX sebagai zaman pencerahan Eropa (european enlightenment) yang sebenarnya adalah kelanjutan dari renaisance. Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisme oleh Barat. Para filsof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus, dan lain-lainnya menulis berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan dan keadilan.[19]
            Karena arus modernisasi yang kuat dan tak dapat dibendung, maka para teolog Barat menafsirkan Bible dengan tafsiran baru. Oleh karena itu maka bergulirlah gagasan sekularisasi.[20] Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan adanya alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis daripada alam ini. Penafsiran ini sekaligus membantah peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan dan properti khusus.[21] Penafsiran teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekuler yang mengkritik posisi gerja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal, lebih khusus lagi pada saat institusi gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa.
            Kesimpulannya, gagasan sekularisasi muncul karena ketidaksanggupan doktrin dan dogma agama kristen untuk berhadapan dengan peradaban Barat yang terbentuk dari beragam unsur. Hasilnya para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurback, Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanin, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi radikal. Cox menggelari mereka sebagai para “teolog kematian Tuhan” (death of God theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi, ajaran kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern.[22]
            Ludwig Feurbach menegaskan bahwa prinsip filsafat bukanlah substansi-nya Spinoza, atau egonya Kant dan Ficht, bukan pula identitas absolut-nya Hegel, dan bukan pula konsep wujud yang abstrak, melainkan realitas wujud yang benar, yaitu manusia.
            Oleh karena itu manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi, sekalipun agama dan teolog menyangkal, namun pada hakikatnya agamalah yang menyembah manusia (relegian that worship man). Agama sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama kan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (the true sense of theology is antropology). Agama adalah mimpi akal manusia (relegion is the dream of human mind).[23]
            Pemikiran Feurbach kemudian sangat mewarnai para sosialog dan teologi seperti Karl Barth, misalnya menegaskan bahwa agama sebagai ketidakpercayaan (relegion as unbilef). Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer mendesak para teolog Kristen agar menyampaikan risalah Kristiani kepada manusia sekuler sekarang dengan ungkapan, “Kita sedang menuju ke suatu masa yang tiada agama sama sekali....Bagaimana agar kita berbicara mengenai Tuhan tanpa agama....Bagaimana agar kita berbicara dengan gaya sekuler yang baru tentang Tuhan?”
            Bagi Benhoeffer, seorang pastor Jerman yang dieksekusi oleh Nazi, agama harus dipisahkan dari kepercayaan (faith). Ia selanjutnya mengatakan dengan frase yang paradoks, “Sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama (a relegionsless christianity).”
            Seirama dengan Barth dan Bonhoeffer, Gabriel Vahanian, seorang teolog Neo-Calvinis juga mengatakan, “Sekuler adalah keharusan Kristiani.” Bagi Vahanian, kematian Tuhan adalah peristiwa agama sekaligus budaya. Dalam masyarakat yang modern dan saintifis, peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggapm sebagai mitos, dianggap sudah lapuk, dan tidak terpaki lagi. Warner and Lotte Pela juga mengumandangkan, “Tuhan tiada lagi (God Is no more).” Woolwich dengan nada yang sama juga. Mengeluarkan pendapat, “ Tuhan tanpa Tuhan (God without God).”
            Dengan pendapat-pendapat seperti ini, tidak berarti para teolog tersebut menjadi ateis karena mereka masih mempercayai wujud Tuhan. Hanya saja, menurut mereka, pada zaman moder ini, Tuhan sudah tidak berperan lagi dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang terjadi di masyarakat Kristen Barat. Tuhan diposisikan di luar urusan kehidupan manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia harus mengatur hidupnya sendiri dengan hukum-hukum yang mereka buat sendiri. God is no more!
            Namun ada sebagian teolog  konservatif, seperti  EL. Mascal  yang setia dan berpegang teguh pada “tradisi” Kristen. Menurut Mascal, sians dan teknologi yang merebak dengan  sangat gencar telah mempengaruhi kehidupan orang Kristen.  Hal itu mengakibatkan munculnya gagasan sekularisasi sehingga dunia ini tidak lagi dipandang memiliki kaitan lagi dengan Tuhan.[24]
2.      Liberalisme Berasal Dari Renaissance
            Untuk mengungkap dari manakah asal liberalisme, maka kita perlu memulai telaah kajian kita dari zaman renaissance yang menjadi cikal-bakal dari liberalisme.
             Istilah renaisance mula-mula diperkenalkan oleh Michelet (1798-1874) dan kemudian dikembangkan dan dipopulerkan oleh J. Burchardht (1818-1879).[25]
            Secara harfiah, renaissance berasal dari dua kata yakni re yang berarti kembali dan nasci yang berarti lahir, jadi arti seluruhnya “kelahiran kembali dunia dan manusia”, sedangkan Walter  Peter mengartikannya sebagai rangsangan pada umumnya dan kecerahan akal manusia”.[26]
            Renaissance adalah merupakan reaksi atas kungkungan gereja di abad pertengahan. Seperti diketahui, pada abad pertengahan kedudukan individu dianggap tidak berarti dan secara hirarkis sangat tergantung  dan terbelenggu oleh gereja, sebagai akaibat diterimanya filsafat  Augustinus yang menyatakan bahwa manusia itu hidup di dunia ini dikodratkan  sebagai korban yang harus menanggung dosa yang dilakukan oleh manusia pertama.
            Oleh karena itulah pandangan manusia pada abad pertengahan tentang kedudukan diri dan dunianya terikat sekali oleh penafsiran teologis. Sebaliknya di zaman renaissance mereka meninggalkan penafsiran yang berbau teologis itu dan menggantinya dengan penafsiran ilmuan.
            Yang menjadi sumber ilham dari gerakan renaissance ini adalah perpustakaanperpustakaan klasik yang berisis buah pikiran-pikiran dari para filsuf Yunani Kuno yang berpangkal pada filsafat Individualisme
            Ada di anatara ahli sejarah Barat yang mendalilkan bahwa minat untuk mempelajari filsafat Yunani Kuno itu timbul di kalangan orang Erope Barat sebagai akibat ditaklukannya Konstatinopel oleh Turki (1453).mmereka mengatakan bahwa penaklukan itu menyebabkan banyaknya orang-orang Yunani yang mengungsi sambil membawa hasil karya-karya para filsuf Yunani Kuno ke Eropa Barat, khususnya ke Venetia dan Genoa yang kemudian menjadi pusat gerakan renaissance.
            Hal ini merupakan korupsi-historis yang hendak menggelapkan peranan sarjana-sarjana Islam sebagai pembawa buah fikiran Yunani Kuno ke Eropa Barat. Sejarah telah membuktikan, bahwa walaupun renaissance baru timbul ada pertengahan abad ke-14, tetapi seperti yang dikatakan oleh Vergilius Ferm,[27] akarnya telah tumbuh jauh sebelum itu, yakni sebagai akibat dari meluasnya perang salib, dan sebagai pengaruh dari sarjana-sarjana Arab (baca:Islam) dan Yahudi yang secara langsung atau tidak langsung menggrogoti sendi-sendi kehidupan di abad pertengahan.
            Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa renaissance itu adalah suatu gerakan pembaharuan dalam pemikiran, sebagai rekasi atas kungkungan dan belenggu gerja, yang dialami oleh buah pikiran filsuf-filsuf Yunani, yang pada pokoknya merupakan kebangkitan kembali filsafat individualisme. Individualisme adalah salah satu aliran filsafat yang menempatkan individu sebagai pusat dan titik berat dari segala macam kehidupan politik, agama, ekonomi dan sosial.
            Jika dalam abad-abad sebelumnya individualisme hanya merupakan pembaharuan dalam pemikiran, dalam permulaan abad 19 (akhir abad ke-18) ditingkatkan menjadi suatu ideologi. Ideologi yang berdasarkan individualisme ini disebut ‘Liberalisme’.[28]
Lalu dari manakah datangnya Islam Liberal itu? Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal yang pada masanya sudah tidak ada lagi dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).
Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.
Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.
Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?
Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.
Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!
Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.
Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.
Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.
Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.[29]
Islam Liberal yang dimaksudkan intelektual Barat, pada akhirnya lebih merupakan penarikan kesimpulan yang dihasilkan melalui kajian/telaah pemikiran para pemikir atau tokoh-tokoh Muslim dari Dunia Islam tersebut daripada mencoba menggali dan menelusuri sendiri pemikiran tersebut.[30]
C.      Hubungan atau Keterkaitan Antara Islam Liberal Dengan Kaum Orientalis Kristen (Yahudi)
D.      Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam Liberal ke Indonesia [31]
Tak syak lagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Barat telah membuat sebagian kalangan umat Islam terkagum-kagum dan mengalami shock culture. Untuk mengapreasiasi kemajuan Barat itu, sejumlah tokoh Islam menganjurkan dan menyerukan adanya pembaharuan Islam dengan mencontoh Barat.
Pembaharuan pemikiran di dunia Islam dimulai ketika Khilafah ‘Utsmaniyah di Turki diambang kehancuran. Selanjutnya, Islam Turki di bawah komando Mustafa al-Tatruk didekontruksi sedemikian rupa seperti Barat. Setelah berhasil mendelegitimasi kewenangan khalifah dan Pengadilan Khusus Agama (Islam), al-Tatruk dengan penuh kepongahan merombak total tatanan prinsip-prinip Islam.
Tak hanya itu. Ia juga mengganti Hukum Syari’at tentang perkawinan Islam dengan diganti hukum Swiss, di mana perempuan punya hak cerai sama dengan laki-laki. Selanjutnya, sekolah-sekolah agama (madrasah) dan perguruan tinggi agama dibubarkan, dan diganti dengan sekolah ala Barat.
Yang lebih parah lagi adalah adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa lokal (Turki), jilbab dilarang, dan penggunaan bahasa Arab pun diganti dengan bahasa Barat. Pendek kata, semua identitas, idiom-idiom keIslaman dan kearaban dihapuskan diganti dengan simbol, identitas dan tradisi Barat. Setelah itu semua, sempurnalah bekas khilafah ‘Utsmaniyah itu menjadi Republik Turki yang sekular. (Harun Nasution, Islam Rasional, , 1995)
Selain Turki, dunia Islam yang kecipratan dengan pembaharuan Islam adalah Mesir. Pembaharuan di negeri Kinanah ini mulai terjadi ketika utusan Perancis Napoleon Bonaparte dan sejumlah ilmuan yang ikut rombongannya datang ke negeri itu. Dari situ terjadilah kontak masyarakat Mesir dengan budaya Barat.
Seperti yang dialami Turki, sebagian ulama Mesir mendukung program pembaharuan model Barat itu. Untuk kepentingan ini, maka diutuslah pelajar-pelajar Mesir untuk belajar di Paris dengan pengawasan imam. Adalah Rifa’ al-Thahthawi (1803-1873) dari imam-imam yang diutus untuk belajar ke sana. Sekembalinya dari pengembaraan dari negeri Barat, pemikiran al-Thahthawi cukup berpengaruh dalam masyarakat Mesir saat itu. Di antara pembaharuan yang digaungkan al-Thahthawi adalah penyesuaian penafsiran/interpretasi syari’at dengan kondisi zaman modern.
Setelah ia wafat, barulah Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir, dan menyuarakan hal yang serupa. Pembaharuan yang dibawa al-Afghani selanjutnya dilanjutkan oleh Muhammad ‘Abduh dan muridnya Rasyid Ridla.
Menurut Harun, pembaharuan yang digerakkan oleh mereka itu memakai pendekatan teologi atau pemikiran Mu’tazilah (rasionalisme). Dari sini pula muncul tokoh-tokoh sekular- liberal, sebut saja misalnya, Musthafa A. Raziq, Sa’ad Zaghlul, Ahmad Amin, Thaha Husein, ‘Ali Abdul Raziq, dan lain-lainnya yang senada.
Bagaimana dengan Perkembangan Islam Liberal di Indonesia?[32]
KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnyah, pembaharuan Islam dimulai. Gagasan pembaharuan Kyai Dahlan sendiri merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir. Ketika pendiri Muhammadiyah itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di sana, di tengah perjalanan ia membaca karya ‘Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar.
Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia. Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan dari penjajah (Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul, khurafat serta bid’ah di masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad Dahlan prihatin sekaligus protes keras. Faktor-faktor inilah yang mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai. Dahlan bersama Muhammadiyahnya.
Kendati begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan Muhammadiyah bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut hal-hal dasar (ushul), tapi pada masalah cabang (furu’). Misalnya, soal ru’yah al-Hilal, patung, gambar, musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya. Pembaharuan demikian berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Turki.
Sebagai orang yang pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun sendirilah yang dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui lembaga pendidikan tinggi. Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama (Menag) A.Mukti ‘Ali menunjuk dia sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, program liberalisasi pemikiran Islam segera ditabuh dan digulirkan. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, 2006)
Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan mensosialisasikan paham Mu’tazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya mewajibakan para mahasiswa membaca buku-buku karyanya, antara lain, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, Filsafat Agama.
Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga menjadi bacaan dan referensi ”wajib” di kalangan dosen dan mahasiswa IAIN. Kewajiban memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai kini di semua jurusan atau program studi, kendati nama IAIN sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mu’tazilah-kan. Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran di lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari pemerintah Orde Baru.
Harun memang dikenal gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia punya dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal sekular di Mesir.
Menurut mantan muridnya di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad Dardiri, Harun sangat perhatian dengan mahasiswanya dalam berbagai hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di luar IAIN, ” ujarnya.
Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan hasilnya. Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah menjadi gerbong terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam. Bila di masa Harun, liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu Kalam, maka saat ini fokusnya adalah pada studi Al-Qur’an.
Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga, liberalisasi Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi Studi Al-Qur’an diperkuat dan dikurikulumkan.
Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Referensi dan sumber dua mata kuliah ini adalah para pengibar liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen. Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid Essack, Hans G. Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.” Sedangkan untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits.”
Atas pengajaran mata kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham tentang bahaya penerapan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau karena alasan lain, seorang dosen ilmu Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan hal itu. “Tidak apa-apa. Itu bagus-bagus saja, ” katanya.
Pengajaran Studi Al-Qur’an dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan, menghujat, bahkan melecehkan Al-Qur’an. Laporan majalah pekanan GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.(baca: http://haroqi.multiply.com/journal/item/50).
E.     Tokoh-Tokoh Penganut dan Penyebar Paham Islam Liberal
              Para tokoh pembela panji-panji liberal bukan hanya menentang fatwa MUI tentang haramnya paham liberal dan pluralisme agama. namun, tak jarang mereka juga “mengobrak abrik” umat dengan berbagai statementnya yang menabrak nash-nash sharih dan Al Qur’an, Sunnah Shahihah, dan Ijma Ulama. Tentu, ini sangat  menyakiti hati setiap insan beriman  yang mencintai agamanya.
              Ibarat berada dalam satu sekolah yang sama, tidak mungkin semua siswanya mempunyai tingkat kecerdasan yang sama atau memiliki  kesamaan dalam segala hal. Mereka juga tidak mungkin berada dalam di satu kelas yang sama. Begitulah dengan liberalisme ini. Mereka pun berbeda-beda tingkatannya, beda usianya, beda masanya, dan berbeda semangatnya. Meski tentu saja ada kesamaannya, sama-sama liberal. Diantara mereka ada yanag memang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulii Absar Abdallah. Dan ada yang di luar JIL: ada yang  di NU, di Muhammadiyah, di Kampus, di luar Kampus, di Jawa, di luar Jawa, dan sebagainya.[33]  Adapun menurut klasifikasi Budi Hadrianto ada 50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, diantaranya sebagi berikut :[34]
Para pelopor      : Abdul Mukti Ali, Abdurrahmana Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi,  Harun Nasution, M. Dawam Raharjo, Munawir Sjadzali, Nurchalis Madjid,
Para Senior        : Abdul Munir Mulkhan, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Alwi Abdurrahman Shihab, Azyumardi Azra, Goenawan Mohammad, Jalaludin Rahmat, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, M. Amin Abdullah, M. Syafi’i Anwar, Masdar Farid Mas’udi, Moeslim Abdurrahman, Nasarudin Umar, Said Aqiel Siradj, Zainul Kamal.
Para Perintis      : Abd A’la,  Abdul Moqsith Ghazali, Ahmad Fuad Fanani, Ahmad Gauss AF, Ahmad Sahal, Bahtiar Effendy, Budhy Munawar Rahman, Denny J.A, Fathimah Usman, Hamid Basyaib, Husain Muhammad, Ihsan Ali Fauzi, M. Jadul Maula, M. Luthfi Asy-Syaukani, Muhammad Ali, Mun’im A. Sirry, Nong Darol Mahmada, Rizal Malarangerng, Saiful  Mujani, Siti Musdah Mulia, Sukidi, Sumanto Al Qurthuby, Syamsu Rizal Panggabean, Taufik Adnan Amal, Ulil Absar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir.

F.     Pandangan Para Tokoh Islam Liberal
Diantara pandangan dan latar belakang tokoh sebagai bnerikut:
1.      Nama               :Prof. DR. H.Abdul Mukti Ali
Lahir                : Cepu, 23 Agustus 1923
Meninggal       : Yogyakarta, 5 Mei 2004 (81 tahun)
Pendidikan      :
§  Pondok Pesantern Tremas, Pacitan Jawa Timur
§  Pendidikan Belanda di HIS
§  Universitas Islam Indonesia (dulu sekolah tinggi Islam)
§  Gelar MA dari faculty Of Devinity & Isalamic Studies, MicGill University, Mantreal, Kanada
§  Gelar Doktor dari Universitas Karachi, Pakistan
              Karir              :
§  Karyawan Jawatan Pendidikan Agama
§  Staf di Sekjen Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga
§  Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta
§  Menteri Agama RI
§  Anggota DPA RI
§  Guru besar IAIN Yogyakarta
Prof . DR. H. Abdul Mukti Ali (1923-2004) dikenal sebagai cendikiawan Islam yang pluralis. Menurut webset tokoh Indonesia, Mukti Ali adalah tokoh pembaharu Islam yang mempelopori Liberalisme pemikiran Islam di era Indonesia modern. Selain sebagai penggagas liberalisme Islam Indonesia, Prof. DR. H. Mukti Ali terkenal sebagi moderat dan pluralis, baik internal masyarakat Islam maupun eksternal di luar Islam.
Sejak ia menuntut ilmu di McGill University, Montreal, Kanada gagasan pembaharuan Mukti Ali sebenarnya telah terlihat jelas. Mukti Ali mislanyakerap kali menulis soal-soal gagasan pembaharuan keislaman Muhammad Abduh dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Meskipun saat itu, Mukti Ali masih tahap membandingkan gagasan pembaharu tersebut, namun benih-benih pembaharuan Ali itu menjadi entry point penting kelak dalam perkembangannya.
              Pesan-pesan pembaruan Islam yang disampaikannya memiliki cara dan gayanya yang khas. Berbeda dengan kebanyakan pemikir dan pembaru Islam lainnya, Mukti Ali cukup lihai dan cenderung mengintrodusir gagasan liberal Islam sedemikian rupa sehingga relatif tidak menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tidak sepaham dengannya.
 Mukti Ali termasuk pendunkung eksisitensi Negara Israel. Setelah melepaskan jabatan menteri, ia kembali menekuni dunia pendidikan di Yogyakarta, sejak 1983. Tahun itu juga, seminar Palemologi di Yogya, ia berbicara tentang penyelesaian masalah Palestina. “Jika masalah ini berlarut-larut, negara-negara Arab dan Islam akan rugi,” tuturnya. Lantas ia menyarankan agar eksisistensi Israel diakui, sebagaimana Israel mengakui berdirinya negara Palestina dalam batas-batas yang disetujui bersama.
              Selain itu ia menganggap perlunya para ahli agama, yang bukan politikus, mengadakan dialog, “sepuluh orang Islam, dan sepuluh lagi orang Yahudi,” ujarnya. “penyelenggaraan konsultasi itu, harsu pihak ketiga, yakni Dewan gereja-gereja sedunia.” Hal ini menurutnya, untuk menciptakan suatu perjanjian konsistensi damai, dan tidak saling menyerang.
              Dalam hal ini, ia memang bersikap liberal, mengizinkan lahirnya berbagai pikirtan tentang agama yang aneh sekalipun. “asal bisa didebat,” kaatanya, “Kan lebih baik berkreasi, walaupun salah, ketimbang mematuhi kesimpulan-kesimpulan yang jumud (beku).” Semasa kecil ia bernama Soedjono. Ketika ia belajar di Pondok Pesamntren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, salah seorang ustadznya mengatakan, “Soedjono termasuk santri yang cerdas.”  Di situ ia bukan saja mendapat ilmu tetapi juga nama baru: Mukti Ali.
               Mukti Ali termasuk orang yang mempunayai andil besar terhadap subur dan maraknya liberalisasi Islam di Indonesia sekarang ini. Sebab dalam masa kepemimpinannya di Departemen Agama, ia mengirim para sarjana IAIN untuk sekolah atau melanjutkan studi, belajar ilmu-ilmu Islam di Barat. Beberapa intelektual Islam sekembalinya dari Barat menyebarkan paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme.
              Menggeluti dunia perguruan tinggi, ayah tiga anak ini mengemukakan, pembangunan tanpa perguruan tinggi akan lumpuh. Sebaliknya, perguruan tinggi bisa gulung tikar jika tidak ditanamkan cita-cita pembangunan. Karena itu ia mengharap para mahasiswa mampu menjawab tuntutan dan kesertaan  dalam setiap program pembangunan.
Laki-laki berperawakan kecil, rambut mulai memutih, sehari-hari di kalangan mahasiswa dikenal sebagai perokok berantai, rokoknya merek Dunhill.[35]
1.      Ahmad Wahib
adalah penggagas “           Lingkaran Diskusi Limited Group.” Forum jum’atan di rumah Mukti Ali, kompleks IAIN Sunan Kalijaga, Demangan. Wahib Juga aktivis HMI. DI kelompok mahasiswa Islam ia juga menonjol. Ia dilahirkan 9 November 1942 di Sampang Madura. Lingkungan bergaulnya di masa kanak-kanak adalah iklim beragama yang ketat. Ayahnya, Sulaiman tergolong pemuka agama.  Ia wafat 31 Maret 1973.
Wahib termasuk orang pertama yang mencuatkan ide pluralisme agama di Indonesia. Meskipun hidupnya tidak lama, namun bukunya yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: catatan Harian Ahmad Wahib, disunting oleh rekan seperjuangannya Djohan Effendi dan Ismet Natsir dan diterbitkan LP3ES, telah membuat gegar kalangan Islam waktu itu, karena isinya sangat sekuler, liberal, dan pluralis.
      Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib menulis, “Sejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampukita sekulerkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistik.”
Tentang pluralisme pada 9 Oktober 1969, ia menulis, “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan Westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolut etenty) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya dan aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.
“Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Al Quran dan Al Hadits melainkan sejarah Muhammad. Bunyi Al Qur’an dan Al Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan  Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari sejarah Muhammad ialah struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lain.” (Catatan Harian tanggal 17 April 1970).[36]
2.      Nurcholish Madjid
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939, dan wafat 29 Agustus 2005. Ia biasa disapa dengan Cak Nur, lahir dan dibesarkan di lingkungan Kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan diberbagai pesantren termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi keagamaannya di IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiyah.
            Ditulis dalam buku “Islam Liberal,” Cak Nur merupakan tokoh Islam liberal atau liberalisasi Islam paling terkemuka di Indonesia. Doktor dari Chicago University ini mempelopori gerakan sekularisasi di Indonesia sejak tahun 1970. Dalam acara halal bi halal di Jakarta pada tanggal 3 Januari 1970 yang dihadiri para aktifis penerus Masyumi, yaitu HMI, PII, GPI, dan Persami, Cak Nur menyampaikan makalahnya yanag berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah Integrasi Umat.”
Makalah tersebut sempat menggegerkan aktivis Islam saat itu. Karena di situ ia mengajak ke arah sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam. Ia juga memperkenalkan ide sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme. “sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan materuial, moral, ataupun historis menjadi sifat kaum muslimin.” Selain itu ia juga memperkenalkan konsep Islam Yes, Partai Islam No.
Beberapa statement nya yang sekuler, liberalis, pluralis diantaranya sebagai berikut:
“sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat Inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang makin pluralis. Sebagai contoh filsafat prenial yang belakangan ini dibicarakan dalam dialog antar agama  di Indonesia merentangkan pandanagan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksooterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik tetapi relatif sama dalam level eksoteriknya. Oleh karena itu ada istilah ‘Satu Tuhan Banyak Jalan.” (Buku Tiga Agama Satu Tuhan,Miza, Bandung, 1999, hal. xix).
“Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah Aturan Tuhan Sunnatullah, yang tidak akan berubah sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta , 1995, hal: lxxvii).
“Apologi bahwa Islam adalah al-Din, bukan semata-semata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter, itu tidak benar ditinjau dari berbagai segi. Pertama ialah dari segi bahasa. Disitu terjadi inkonsistensi yang nyata, yaitu perkataan al-din dipakai juga untuk menyatakan agama-agama yang lain, termasuk agama syirik-nya orang-orang Quraisy Makkah. Jadi arti kata itu memang agama, karena itu, Islam adaah agama.” (Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, hal. 502).
              Demikianlah pandangan-pandangan beberapa tokoh liberal tersebut. Masih ada banyak lagi pandangan-pandangan lain, yang mungkin akan lebih mengejutkan bagi pembaca.


G.           Pembeda antara Islam dengan Akidah Seutuhnya Dengan Islam Liberal[37]
1.      Islam
Islam adalah Agama (Ad Dien) yang diturunkan oleh Allah swt, sang Pencipta, kepada utusan terakhirNya Muhammad SAW. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan panduan hidup manusia di dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk kesejahteraan seluruh manusia. Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan Penciptanya, yaitu Allah swt. Panduan, bagaimana manusia harus berhubungan dengan manusia lainnya, serta panduan bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri.
Seluruh panduan dalam Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak kebenarannya. Berisi perintah dan anjuran, begitu pula larangan dan cegahan, serta pilihan yang diserahkan kepada manusia untuk bebas memilihnya.
Secara garis besar, Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah merupakan panduan berupa keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia. Sedangkan Syariat adalah panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
Beberapa hal tentang aqidah serta Syar’iat bisa dijelaskan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.      Inti aqidah Islam adalah Laa ilaaha illallah, muhammadun rasuulullaah. Artinya, tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah swt, dan Muhammad saw, adalah utusan Allah.
2.      Aqidah Islam meyakini bahwa pencipta alam seisinya adalah Allah swt. Manusia hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan perintah Allah swt. Setelah mati, manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di Akhirat, di hadapan Allah swt. Untuk kemudian diganjar ataupun disiksa sesuai dengan perbuatannya di dunia.
3.      Aqidah Islam adalah aqidah yang membawa konsekuensi kepada manusia untuk terikat dengan Syariat Allah swt. Syari’at tersebut melingkupi segenap aspek kehidupan manusia. Jadi di dalan Islam, tidak ada satu pun aspek dalam kehidupan manusia ini yang lepas dari aturan Syari’at Allah. Oleh karena itu, Islam mempunyai kekhasan hukum tersendiri dibandingkan dengan syari’at lain manapun. Syari’at Islam (syari’at Allah swt) meliputi hukum-hukum yang menyangkut antara lain : Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah (politik, ekonomi, peradilan, pendidikan dll)
4.      Dari Aqidah Islam inilah terpancarkan satu sistem kehidupan yang meliputi sistem politik Islami, sistem ekonomi Islami, sistem pergaulan yang Islami , sistem pendidikan Islami, sistem peradilan Islami dan sistem-sistem lainnya yang Islami.
5.      Aqidah Islam bukanlah aqidah sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan. Aqidah Islam adalah Aqidah ruhiyah sekaligus aqidah siyasiyyah. Aqidah ruhiyyah adalah aqidah yang terpancar darinya keyakinana-keyakinan tentang akhirat, sedang aqidah siyasiyyah adalah aqidah yang terpancar darinya aturan-aturan kehidupan di dunia.
2.      Liberalisme.
Liberalisme adalah sebuah ajaran tentang kebebasan. Isme ini lahir seiring dengan lahirnya aqidah sekularisme. Jadi Liberalisme adalah anak kandung Sekularisme.Ia bersaudara dengan Kapitalisme dan Demokrasi. Ia mengajarkan akan kebebasan manusia dalam hal apa saja. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan. Dari liberalisme ini muncullah gerakan-gerakan baru yang mengatas namakan gerakan memperjuangkan HAM, Hak Asasi Manusia.
Liberalisme, yang sekarang ini dianut oleh negara-negara Barat dan seluruh pengikutnya, berawal dari adanya kompromi yang terjadi antara pihak agamawan (gereja Eropa) dan golongan Ilmuwan (scientist) Eropa yang tidak puas dengan adanya aturan-aturan yang diberlakukan pihak gereja dalam masyarakat.. Kesepakatan itu isinya adalah pemisahan antara urusan akhirat yang diberikan wewenangnya kepada pihak agamawan, sedangkan urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada pihak masyarakat pada umumnya. Pemisahan agama dari kehidupan inilah yang menjadi awal lahirnya sekularisme.
Beberapa hal tentang Aqidah sekuler yang bisa dijelaskan secara singkat dalam pembahasan sini adalah sebagai berikut :
1.      Urusan agama adalah wewenang pihak gereja, sedangkan urusan kehidupan dunia adalah wewenang masyarakat pada umumnya. Agama adalah urusan individu yang tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan publik dan kenegaraan.
2.      Tuhan telah menciptakan manusia, adapun hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membuatnya.
3.      Dari aqidah sekular ini terpancarlah aturan-aturan dan system kehidupan. Terpancarlah darinya sistem ekonomi (Kapitalis), sistem Pergaulan Kehidupan yang bebas dan permissive (Liberalis) dan sistem politik pemerintahan (Demokrasi)
Liberalisme, lebih lanjut mengajarkan adanya kebebasan dalam hal :
a.Beragama
b.Berpendapat
c.Berperilaku
d.Kepemilikan
Perbandingan antara islam dan liberalisme :
Mari kita simak perbandingan singkat berikut ini:
1.      Aqidah:
Liberalisme beraqidah sekular, sedangkan Islam tidak beraqidah sekular
2.    Sistem kehidupan yang terpancar darinya:
Islam menuntun kehidupan dengan sistem-sistem yang lahir dari Agama Islam itu sendiri. Aturan Islam datang dari Allah swt. Liberalisme melahirkan aturan-aturan yang tidak berlandaskan agama sama sekali.
3.      Tentang kebebasan beragama:
Islam mengajarkan bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam. Liberalisme mengajarkan bahwa agama tidak perlu dipersoalkan. Agama adalah urusan individu. Setiap Individu bebas memilih agama apapun.
4.      Tentang kebebasan berpendapat:
Tidak ada kebebasan berpendapat dalam Islam, kecuali dalam hal-hal yang mubah. Oleh karena itu Musyawarah dalam Islam hanya dalam persoalan mubah. Hal ini berbeda sama sekali dengan Liberalisme. Liberalisme membebaskan berpendapat apa saja dalam seluruh persoalan, karena setiap individu dijamin bebas berpendapat.
5.      Tentang kebebasan berperilaku
Syari’at Islam mengikat setiap perbuatan manusia. Setiap perbuatan manusia harus terikat dengan hukum Syari’at. Hal ini beda sama sekali dengan Liberalisme, dimana ia membebaskan setiap Individu untuk berbuat apa saja asalkan tidak merugikan hak individu lain.

















BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Dari paparan ide dasar baik Islam maupun Liberalisme tersebut di atas, jelas sekali bahwa antara Islam dan Liberalisme, tidak ada kaitannya sama sekali, dan tidak perlu dikait-kaitkan. Mengaitkan dua hal yang bertentangan adalah tindakan yang bodoh. Apalagi hasil kaitan yang di reka-reka tersebut disebar luaskan untuk bisa diikuti umat. Jelas ini merupakan aktivitas yang membodohi umat. Perlu diwaspadai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, pembaharuan Islam, akan tetapi sesungguhnya adalah penghancuran terhadap Islam dari dalam.
Jika kita telusuri lebih jauh maka kita akan temukan banyak sekali pandanagan yang memang sangatlah bertentangan dengan Islam. Para tokoh Islam Liberal pun berusaha keras untuk mengoyahkan Iman Umat Islam, karena memang itulah tujuan orang-orang kafir sejak zaman dahulu. Kita tahu bagaimana pertentangan-pertentangan kaumnya Musa denga nabinya, kaum kafir Mekkah terhadap Muhammad. Mereka enggan meyakini bahwa Inna AL-Dina Inda Allah hi al-Islam, mereka enggan menyembah Allah, mereka tidak percaya dengan diutusnya Nabi-nabi oleh Allah, mereka enggan beriman kepada al-Qur’an dan kitabp-kitab yang diturunkan. Itu karena mereka menuruti hawa nafsunya yang dibisikkan oleh Iblis yang tak pernah senang jika bani Adam selamat dan taat pada Allah.
Lalu, apakah kita masih mau mengulang sejarah dizabnya kaum-kaum ingkar tersebut, sebagaimana yang diceritakan dalam al Qur’an. Islam memang tak melarang manusia untuk berpikir, namun pikirkanlah apa yang bermanfaat, bukan untuk memikirkan hal yang dapat menentang keAbsolutan yang haq, baik itu zat Allah, Al-Qur’an, kenabian, syariat, sunnah, dan begitu banyak pemikiran mereka yang menentang apa yang telah nyata kebenarannya. Akankah kita tidak bisa mengambil pelajaran dari firman-firman Allah, bahwa Islam adalah agama yang haq, al Qur’an adalah kitab dan sumber hukum yang haq, nabi Muhammad adalah utusan-Nya yang seharusnya dijadikan panutan, alam ini adalah bukti kekuasaan Allah, serta berbagai pelajaran kisah-kisah umat terdahulu yang sesat dan yang taat? Begitu banyak firmanNya yang belum kita amalkan, lalu mengapa kebanyakan manusia tidak memikirkan hal itu? Mengapa justru mementingkan akal mereka yang hasilnya hanyalah keraguan pada Zat Allah yang Esa, al Quran yang Otentik lagi Kalamullah, dan lain sebagainya? Hingga diantara mereka ada yang menyatakan bahwa “semua agama adalah benar, al Quran Kalam Muhammad, Al Quran sudah tidak asli karena sistem penulisannya tidak terpantau, syariat harus disesuaikan zaman, serta berbagai paham penyimpangan lainnya. Mereka mencoba mengatasnamakan kebebasan, kebahagiaan dengan menjunjung tinggi akal.
Marilah kita renungkan dalam-dalam, fikirkanlah apakah tujuan dari hidup ini? Mau dibawa ke mana jiwa dan raga ini, sudah cukupkah amal kita setelah dikurangi begitu banyak mak’siat yang kita lakukan? Sudahkah saya mengamalkan syariat Islam yang bersumber pada Al qur’an dan Sunnah dengan benar? Akankah kita ingin menyia-nyiakan waktu ini untuk memikirkan hal-hal yang justru membawa kita pada keragu-raguan dari jalan yang lurus lagi benar?
Dalam hati kecil saya terbersit, sayang sekali jika energi dan hidup di dubia yang sebentar ini digunakan untuk hal-hal yang mubadzir, yaitu dengan membongkar kembali hal-hal yang telah dipastikan benar dan telah dibahas dalam ratusan tahun oleh para pakar yang snagt kompeten di bidangnya. Apalagi, dengan sadar atau tanpa sadar, cara-cara dekonstruksi ini  telah menikuti arah yang dikembangkan oleh kalangan Misionaris Kristen atau kalangan orientalis yang bermaksud jahat terhadap Islam.
Dalam waktu yang singkat, waktu harus digunakan dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah swt. dengan menambahi ilmu yang bermanfaat dan berbuat sekuat tenaga untuk kemaslahatan umat, sebagaimana Syamsudi Arif sering menggunakan istilah “al-waktu Qasir wal ‘amal Katsir” (waktu singkat, tetapi pekerjaan banyak).
 Rasullullah saw. bersabda:
man ta’allama al-ilma li yubaa hiya bihi al-‘ulamaa a wa yu jaa ri ya bihi al-sufaha a wa yasyrifa bihi wujuuhu al-nasa ilaihi idkhalahu allahu jahannama.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Yang artinya:
Barang siapa yang mempelajari ilmu agama untuk berbangga-bangga dihadapan ulama, untuk bersilat lidah dihadapan orang-orang bodoh, dan agar muka berpaling kepadanya; maka Allah akan memasukannya ke dalam neraka jahannam.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)





[1] "'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum." - Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: "Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi."- Lord Acton
[2]  http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16, Kamis, 05 April 2007, Henri Shalahuddin, Dosen STID M  Natsir.
[3] http://www.dudung.net/artikel-islami/islam-dan-liberalisme-adakah-korelasinya.html, 1 November 2002 - 10:50 Islam Dan Liberalisme, Adakah Korelasinya…?*), Oleh : Drs. Muhammad Taufiq NIQ.  
[4] K.H.R. Syarifuddin, dkk, Islam Marxisme Liberalisme Nasionalisme, (Bandung: Lembaga Pengarang & Penerbit Yayasan Universitas Islam Nusantara) hlm.  74, yang mengutip dari Ruth C. Hunt  The American Encyclopedia” hal. 12-305.
[5] Ibid, hlm. 73
[6] Ibid, hlm. 73
[7] Karya tulis  seminar  Pro dan Kontra Liberalisme di Indonesia” yang diadakan pada 06 Desember 2006 di Aula Universitas Paramadina Penyelenggara : Universitas Paramadina, Freedom Institute dan Freidrich Naumann Stiftung (FNS), hlm. 7
[8] http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Etc/IslamLiberal.html
[9] Charles Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, Diterjemahkan sebagai wacana Islam Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. Xiii.
[10] Adnan, Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) hlm. XiV
[11] Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984, hlm. 148.

[12] Audi, Robert, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII Press, 2002), hlm. 47
[13] Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembatuan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : PT Wacaralazuardi Amanah, 1995), hlm. 101.
[14] Imran AM, Islam Liberal Mengikis Akidah Islam, (Jakarta: INSIDA, 2004), hlm. Xii. Dikutip dari www. Islamlib.com
[15] Ibid, hlm. xii
[16] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia,
[17] Karya tulis  seminar  Pro dan Kontra Liberalisme di Indonesia”, op. Cit, hlm. 17

[18] Maurice Bucaille, The Bible The Qur’an and Science, hlm. 34, dikutip oleh Adnan, Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (jakarta: Gema Insani Press, 2003) hlm.4
[19] Ibid, hlm. 4
[20] S.M. N. Al-Attas, Islam dan Secularicm, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 20
[21] Harvey Cox, “Why Cristianity Must be Secularized”, dalam “The Great Ideas Today, 1967, Hlm. 9-10.
[22] Harvey Cox, op, cit. Hlm. 11-12
[23] Ludwig Furbach, The Essence Of Christianity, penerjemahan George Eliot, xiii-xix. Dikutip dari Adnin Armas, op cit. Hlm. 5.

[24] E.L Mascal, “Why Christianity Should be Secularized” dalam GIT HLM. 27 Yang dikutip oleh Adnin Armas, op.cit. hlm. 6.
[25]  Lihat Dagobert D. Runes “Dictionery of Philosophy” hal. 270.
[27] Vergilius Ferm “Encyclopedia of Relegiaon” hal. 656. Dikutip oleh K.H.R Syarifuddin, op.cit. hal. 72
[28] K.h.r Syarifudiin, op.cit, hal. 74.
[29] http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Etc/IslamLiberal.html
[30] http://liberalisme.blogsome.com/2005/12/04/islam-liberal-anjuran-barat-bhg-1/        
[31] Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id>
[33] Budi Handrianto, op.cit, hlm: x
[34] Budi Handrianto, op.cit, hlm:liii-lv
[35] Budi Hadrianto, op.cit.  hlm. 11-15.
[36] Budi Handrianto, op.cit. hlm: 27-30
[37] http://www.dudung.net/artikel-islami/islam-dan-liberalisme-adakah-korelasinya.html

Tidak ada komentar: