ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam keseluruhan
aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung
terhadap perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia.
Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya
berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan
berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan menentukan model
manusia yang akan dihasilkan.
Landasan pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus
titik sampai. Titik tolak berarti pengembangan kurikulum dapat didorong oleh
pembaharuan tertentu seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan
tuntutan masyarakat terhadap fungsi sekolah. Titik sampai berarti urikulum
harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan
tertentu, seperti dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tuntutan-tuntutan sejarah masa lalu, perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai masyarakat, dan tuntutan
kultur terentu.
Adapun landasan-landasan utama dalam pengembangan kurikulum yaitu:
landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya dan landasan
perkembangan ilmu dan teknologi. Sedangkan pada makalah ini hanya dibahas
tentang landasan filosofis, landasan psikologis serta landasan sosial budaya.
BAB II
“Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum”
A.
Landasan
Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
sebagai rancangan pendidikan memunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluru
kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan.
Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan di dalam
perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan
sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dsan penelitian yang mendalam.
Ada beberapa
landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan filosofis,
landasan psikologis, landasan sosial-budaya, serta perkembangan ilmu dan
teknologi.
B.
Landasan
filosofis Pengembangan Kurikulum
a.
Pengertian
Istilah
filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris “phylosophy”yang berasal
dari perpaduan bahasa Yunani “philien” yang berarti cinta (love)
dan “sophia” (wisdom) yang berarti
kebijaksanaan. Jadi secara etimologi
filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom.
Secara operasional filsafat
mengandung dua pengertian,
yakni sebagai proses (berfilsafat)
dan sebagai hasil
berfilsafat (sistem teori atau pemikiran).
Filsafat
pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Filsafat pendidikan
menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata
lain, filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan
menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip belajar
serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan
dipengaruhi oleh dua hal yang pokok yakni:
1)
Cita-cita
nasional
2)
Kebutuhan
peserta didik yang hidup di masyarakat
Filsafat
pendidikan sebagai suatu pandangan hidup bukan menjadi hiasan lidah belaka,
melainkan harus meresapi tingkah laku semua anggota masyarakat. Nilai-nilai
filsafat pendidikan harus dilaksanakan dalam perilaku sehari-hari. Hal ini menunjukkan
pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan dalam rangka pengembangan
kurikulum.
Filsafat
pendidikan sebagai sumber tujuan. Secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa
filsafat pendidikan adalah hal yang diyakini dan diharapkan oleh seseorang.
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seseorang atau
masyarakat. Dalam filsafat pendidikan terkandung cita-cita tentang model manusia yang diharapkan, sesuai
dengan nilai-nilai yang disetujui oleh individu dan masyarakat. Karena itu, filsafat
pendidikan harus dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum dan
objektif.
Hopkin dalam bukunya interaction the Democratic process, mengemukakan
kriteria, antara lain:
1.
Kejelasan,
filsafat atau keyakinan harus jelas dan tidak boleh meragukan.
2.
Konsisten
dengan kenyataan, berdasarkan penyelididkan yang akurat.
3.
Konsisten
dengan pengalaman, yang sesuai dengan kehidupan individu.
b.
Cabang-cabang
Filsafat
Ada
tiga cabang besar filasafat, yaitu:
1.
Metafisika,
yang membahas segala yang ada dalam alam ini dan membahas hakikat
kenyataan atau realitas
yang meliputi (1) metafisika umum,
dan (2) metafisika khusus yang
meliputi kosmologi (hakikat alam semesta),
teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
2.
Epistemologi,
yang membahas kebenaran dan membahas
hakikat pengetahuan (sumber
pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan
batas-batas pengetahuan); dan
hakikat penalaran (induktif dan deduktif).
3.
Aksiologi, yang
membahas hakikat nilai
dengan cabang-cabangnya etika (hakikat
kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).
c.
Manfaat
Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan
pada dasarnya adalah
penerapan dari
pemikiran-pemikiran filsafat untuk
memecahkan permasalahan pendidikan. Dengan
demikian filsafat memiliki
manfaat dan memberikan kontribusi
yang besar terutama
dalam memberikan kajian
sistematis berkenaan dengan
kepentingan pendidikan.
Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa
manfaat filsafat pendidikan,
yaitu:
1.
Filsafat pendidikan
dapat menentukan arah
akan dibawa ke mana
anak-anak melalui pendidikan
di sekolah? Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan untuk
mendidik anak-anak ke arah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan
negara.
2.
Dengan adanya
tujuan pendidikan yang
diwarnai oleh filsafat yang
dianut, kita mendapat gambaran
yang jelas tentang
hasil yang harus dicapai. Manusia yang
bagaimanakah yang harus diwujudkan melalui usaha-usaha
pendidikan itu?
3.
Filsafat dan
tujuan pendidikan memberi
kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan.
4.
Tujuan
pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu
tercapai.
5.
Tujuan pendidikan
memberikan motivasi atau
dorongan bagi kegiatan-kegiatan
pendidikan.
d.
Hubungan Antara Filsafat Dengan Filsafat Pendidikan
Donald Butler (1957) mengatakan, filsafat memberikan arah & metodologi terhadap
praktek pendidikan; praktek pendidikan memberikan bahan bagi pertimbangan
filsafat
Brubacher (1950), mengemukakan 4 pandangan tentang
hubungan ini :
a.
Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat
pendidikan
b.
Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan
c.
Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin
yang mungkin memberi keuntungan dari kontak dengan filsafat, tetapi kontak
tersebut tidak penting
d.
Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu
John Dewey
menyatakan, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama
dengan kehidupan
C.
Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
a.
Pengertian
Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis
merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang
dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya.
Prilaku-prilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya,
baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan
faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula
bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara
individu-individu lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus
sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya.
b.
Bidang-Bidang
Psikologi yang Mendasari Kurikulum
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu
perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang
kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh
aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak tetap berkembang, tetapi
dengan pendidikna di sekolah tahap perkembangannya menjadi lebih tinggi dan
lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, perlu
disesuaikan dengan pola-pola perkembangan anak. Karakteristik perilaku individu
pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola perkembangan individu menjadi
kejian Psikologi Perkembangan.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
1.
Psikologi
Perkembangan
Psikologi
perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa
pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa. Psikologi perkembangan
merupakan cabang dari
psikologi yang mempelajari proses
perkembangan individu, baik
sebelum maupun setelah kelahiran
berikut kematangan perilaku" (J.P. Chaplin, 1979).
Sementara itu Ross
Vasta, dkk. (1992) mengemukakan bahwa
psikologi perkembangan adalah
"Cabang psikologi yang mempelajari
perubahan tingkah laku
dan kemampuan sepanjang proses
perkembangan individu dari mulai masa konsepsi
sampai mati".
a.
Metode dalam
psikologi perkembangan
Pengetahuan
tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat
longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi
kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu
melalui pengamatan dan pengkajian
perkembangan sepanjang masa perkembangan, sejak lahir sampai dengan dewasa,
seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional
pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari
berbagai tingkat usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola
perkemmbangan dan kemampuan, serta perilaku mereka. Studi Psikoanalitik
dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini ba nyak diarahkan mempelajari perkembangan
anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita).
Menurut mereka pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat
mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan
oleh Robert Huvighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan
akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode
lain yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus.
Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan
menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian
pernah dilakukan oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.
b.
Teori
perkembangan
Ada tiga teori
pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage
approach), pendekatan diferrensial (diferential approach), dan
pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan,
perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap
perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang
lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan
perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan
atas kelompok-kelompok yang berbeda.
Dalam
pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang
bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan. Kedua, pendekatan
yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan
saja.
Dalam
pendekatan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-pentahapan dari
piaget, kholberg, Erikson, dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap
perkembangan dari dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif
menurut piaget, yang terpenting adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep.
Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan
berbagai problemayang dihadapi dalam lingkungannya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu:
1.
Tahap
sensorimotor, usia 0-2 tahun
2.
Tahap
praoperasional, usia 2-4 tahun
3.
Tahap Konkret
Oprasional, usia 7-11 tahun
4.
Tahap Formal
Operasional, usia 11-15 tahun
2.
Psikologi
Belajar
Psikologi
Belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana
belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui
pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif,
maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikatagorikan
sebagai perilaku belajar.
Menurut
Morris L. Bigge dan Mourice P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau
rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive
Gestalt Field.
1.
Menurut rumpun
teori mental secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu.
Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
2.
Menurut rumpun
teori belajar behaviorisme, anak atau individu tidak memiliki atau membawa
potensin apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh
faktor-faktor yang berasal dari lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat atau
berupa lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya).
Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati.
3.
Rumpun ketiga
yakni kognitif gestalt field, menyatakan belajar adalah proses mengembangkan
insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi
apabila individu menemukan vcara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada
dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat
bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif
dan kreatif.
D.
Landasan
Sosiologis (Sosial Budaya) dalam Pengembangan Kurikulum
a.
Pengertian
Landasan
sosiologis pengembangan kurikulum
adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik
tolak dalam pengembangan kurikulum.
Mengapa pengembangan
kurikulum harus mengacu
pada landasan sosiologis?
Anak-anak berasal dari masyarakat,
mendapatkan pendidikan baik
informal, formal, maupun non
formal dalam lingkungan
masyarakat, dan diarahkan agar
mampu terjun dalam
kehidupan bermasyarakat. Karena itu
kehidupan masyarakat dan
budaya dengan segala karakteristiknya harus
menjadi landasan dan
titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.
Jika dipandang
dari sosiologi, pendidikan
adalah proses mempersiapkan individu
agar menjadi warga
masyarakat yang diharapkan,
pendidikan adalah proses sosialisasi,
dan berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan
adalah “enkulturasi” atau pembudayaan. “Dengan pendidikan,
kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang
lain dan asing
terhadap masyarakatnya, tetapi
manusia yang lebih bermutu, mengerti,
dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh
karena itu, tujuan,
isi, maupun proses pendidikan
harus disesuaikan dengan
kondisi, karakteristik
kekayaan, dan perkembangan
masyarakat tersebut”.
Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi
warga masyarakat yang
diharapkan maka pendidikan memiliki
peranan penting, karena
itu kurikulum harus mampu
memfasilitasi peserta didik
agar mereka mampu
bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan
diri dengan kehidupan
di masyarakat dan mampu
meningkatkan harkat dan
martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya.
Pendidikan adalah
proses sosialisasi melalui interaksi
insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan
budaya manusia, dibina
dan dikembangkan sesuai dengan
nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.
b.
Masyarakat dan
Kurikulum
Masyarakat adalah
suatu kelompok individu
yang diorganisasikan mereka sendiri
ke dalam kelompok-kelompok berbeda, atau
suatu kelompok individu
yang terorganisir yang berpikir
tentang dirinya sebagai
suatu yang berbeda
dengan kelompok atau masyarakat
lainnya. Tiap masyarakat
mempunyai kebudayaan
sendiri-sendiri. Dengan
demikian, yang membedakan masyarakat
satu dengan masyarakat
yang lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai
implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan
pemikiran seseorang, dan
reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat
tergantung kepada kebudayaan
dimana ia hidup.
Menurut Daud
Yusuf (1982), terdapat
tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat
untuk dikembangkan melalui
proses pendidikan, yaitu: logika,
estetika, dan etika.
Logika adalah aspek pengetahuan dan
penalaran, estetika berkaitan
dengan aspek emosi atau perasaan,
dan etika berkaitan dengan aspek nilai.
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan
adalah nilai-nilai yang
bersumber pada logika (pikiran).
Sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pada
hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia,
maka kehidupan manusia
semakin luas, semakin meningkat
sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi.
Pendidikan
harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik
untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan
harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan
masyarakat. Untuk dapat
menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi
kurikulumnya saja, melainkan juga
dari segi pendekatan
dan strategi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru sebagai pembina dan
pelaksana kurikulum dituntut lebih
peka mengantisipasi perkembangan
masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan siswa di
masyarakat.
Penerapan teori,
prinsip, hukum, dan
konsep-konsep yang terdapat dalam
semua ilmu pengetahuan
yang ada dalam kurikulum, harus
disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat,
sehingga hasil belajar
yang dicapai oleh siswa
lebih bermakna dalam
hidupnya. Pengembangan kurikulum
hendaknya memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan
masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanner dan Tanner (1984)
menyatakan bahwa tuntutan
masyarakat adalah salah satu
dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, Light, dan Keller
(1997) memaparkan tujuh
fungsi sosial pendidikan, yaitu:
1.
Mengajar
keterampilan.
2.
Mentransmisikan
budaya.
3.
Mendorong
adaptasi lingkungan.
4.
Membentuk
kedisiplinan.
5.
Mendorong
bekerja berkelompok.
6.
Meningkatkan
perilaku etik, dan
7.
Memilih bakat
dan memberi penghargaan prestasi.
Perubahan
sosial budaya, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam
suatu masyarakat baik
secara langsung maupun tidak
langsung akan mengubah
kebutuhan masyarakat. Kebutuhan
masyarakat juga dipengaruhi
oleh kondisi masyarakat itu sendiri.
Masyarakat kota berbeda
dengan masyarakat desa, masyarakat tradisional berbeda dengan
masyarakat modern. Adanya perbedaan
antara masyarakat satu
dengan masyarakat lainnya sebagian
besar disebabkan oleh
kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di
sisi lain, kebutuhan masyarakat
pada umumnya juga
berpengaruh terhadap
individu-individu sebagai anggota
masyarakat. Oleh karena itu
pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar
saja tidak akan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat
teknologis dan mengglobal. Akan tetapi
pengembangan kurikulum juga
harus ditekankan pada pengembangan individu
dan keterkaitannya dengan
lingkungan sosial setempat.
Berdasarkan
uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor karakterstik
masyarakat dalam pengembangan
kurikulum. Salah satu ciri
masyarakat adalah selalu
berkembang. Perkembangan masyarakat
dipengaruhi oleh falsafah
hidup, nilai-nilai, IPTEK,
dan kebutuhan yang
ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat
menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk
terciptanya proses pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat
diperlukan kurikulum yang landasan
pengembangannya
memperhatikan faktor perkembangan
masyarakat.
c.
Kebudayaan dan
Kurikulum
Kebudayaan dapat
diartikan sebagai keseluruhan
ide atau gagasan,
cita-cita, pengetahuan, kepercayaan,
cara berpikir, kesenian, dan
nilai yang telah disepakati oleh
masyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefinisikan kebudayaan
sebagai segenap perwujudan dan
keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika) serta perasaan
(estetika) manusia dalam
rangka perkembangan
kepribadian manusia, pekembangan
hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan
alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih
rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
a)
Ide, konsep,
gagasan, nilai, norma,
peraturan, dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak yang berada dalam alam
pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada.
b)
Kegiatan, yaitu
tindakan berpola dari
manusia dalam bermasyarakat.
Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas
manusia bersifat konkrit,
bisa dilihat, dan diobservasi. Tindakan
berpola manusia tentu
didasarkan oleh wujud kebudayaan
yang pertama. Artinya,
sistem sosial dalam bentuk
aktivitas manusia merupakan
refleksi dari ide,
konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya.
c)
Benda hasil
karya manusia. Wujud
kebudayaan yang ketiga
ini ialah seluruh fisik
perbuatan atau hasil
karya manusia di masyarakat. Oleh karena
itu wujud kebudayaan yang
ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Faktor kebudayaan merupakan
bagian yang penting
dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:
1)
Individu lahir
tidak berbudaya, baik
dalam hal kebiasaan,
cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu
dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga,
masyarakat sekitar, dan
sekolah/lembaga pendidikan. Oleh karena
itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas
khusus untuk memberikan
pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut
kurikulum.
2)
Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan
budaya. Aspek sosiologis
adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat
yang sangat beragam, seperti masyarakat
industri, pertanian, nelayan,
dan sebagainya. Pendidikan di
sekolah pada dasarnya
bertujuan mendidik anggota
masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi
dengan anggota masyarakat
lainnya serta meningkatkan
kualitas hidupnya sebagai mahluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa
kurikulum sebagai salah satu alat untuk
mencapai tujuan pendidikan
harus bermuatan kebudayaan yang
bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan
kecakapan.
BAB III
KESIMPULAN
Pada prinsipnya ada
empat landasan pokok
yang harus dijadikan dasar dalam
setiap pengembangan kurikulum, dan sesuai dengan inti pembahasan kami maka
dapat disimpulkan tiga landasan pengembangan kurikulum, yakni sebagai berikut :
1.
Landasan
Filosofis,
yaitu asumsi-asumsi tentang
hakikat realitas, hakikat manusia,
hakikat pengetahuan, dan
hakikat nilai yang menjadi
titik tolak dalam
mengembangkan kurikulum. Asumsi-asumsi
filosofis tersebut berimplikasi
pada permusan tujua pendidikan, pengembangan
isi atau materi
pendidikan, penentuan
strategi, serta pada
peranan peserta didik
dan peranan pendidik.
2.
Landasan psikologis
adalah asumsi-asumsi yang
bersumber dari psikologi yang
dijadikan titik tolak
dalam mengembangkan kurikulum.
Ada dua jenis
psikologi yang harus
menjadi acuan yaitu psikologi
perkembangan dan psikologi
belajar. Psikologi
perkembangan mempelajari proses
dan karaktersitik perkembangan
peserta didik sebagai
subjek pendidikan, sedangkan psikologi
belajar mempelajari tingkah
laku peserta didik dalam
situasi belajar. Ada
tiga jenis teori
belajar yang mempunyai pengaru
besar dalam pengembangan
kurikulum, yaitu teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistic.
3.
Landasan sosial
budaya
adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari sosiologi
dan antrofologi yang
dijadikan titik tolak
dalam mengembangkan kurikulum. Karakterstik sosial budaya di mana
peserta didik hidup berimplikasi pada
program pendidikan yang akan dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Soetopo,
Hendyat, Soemanto, Wasty. (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty, Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993). Hlm. 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar