|
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia
adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif,
karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik
maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri
manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan.
Selanjutnya
manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk
tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar
dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan
dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam membantu
perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan sejalan dengan kebutuhan
manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena itu
bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak
negative bagi perkembangan manusia.
Perkembangan
yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang
menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya
dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik
maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan
jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih dahulu
kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan
yang kurang seimbang antara kebutuhan
jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Para
ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan manusia berdasarkan usia
menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara garis besarnya
periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1) masa prenatal; 2) masa bayi; 3)
masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa pubertas; 6) masa dewasa; 7)
masa usia lanjut, yang pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri-ciri
tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
1
|
Dalam
makalah ini penulis akan membahas perkembangan psikologi agama pada masa lansia
(usia lanjut), dalam makalah ini kami selaku pemakalah menyadari masih banyak
terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca sebagai masukan dalam penulisan selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.
Apakah makna dari usia lanjut ?
2. Bagaimanakah
Perkembangan Agama Pada masa Usia Lanjut?
3.
Apa sajakah cirri-ciri keagamaan pada usia
lanjut?
4.
Bagaimanakah keadaan kematangan keagamaan pada
masa usia lanjut?
5.
Bagaimanah perlakuan terhadap manusia usia
lanjut menurut Islam?
6.
Bagaimanakah cara bersikap kepada manusia usia
lanjut?
C.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pengertian
dari usia lanjut
2.
Perkembangan Agama Pada
masa Usia Lanjut
3.
Ciri-ciri
keagamaan pada usia lanjut
4.
Keadaan
kematangan keagamaan pada masa usia lanjut
5.
Perlakuan
terhadap manusia usia lanjut menurut Islam
6.
Cara
bersikap kepada manusia usia lanjut
D.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini adalah jenis penelitian literer, yakni penelitian yang menjadikan literatur
(buku-buku) sebagai bahan rujukannya. Adapun metode yang dipakai adalah :
1.
Metode
Induktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang
sifatnya khusus menuju hal-hal yang bersifat umum.
2.
Metode
deduktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang
sifatnya umum menuju ke hal-hal yang khusus.
3.
Metode
Korelasi
Metode ini menggunaka cara-cara berpikir dengan mencari korelasi
(hubungan) antara sesuatu hal dengan hal yang lain.
|
BAB II
Perkembangan Jiwa
Keagamaan Pada Masa Usia Lanjut
Periode
selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan
dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua.
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu
periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode terdahulu.[1]
Didalam
“gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia dibagi menjadi
dua golongan, yaitu “young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75 tahun). Dari
kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “well old” (mereka
yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka yang menderita
penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan
kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga didunia
kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari aspek medis
(fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).[2]
Erik
Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada tahapan
terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai
konflik antara integritas (yaitu rasa puas) yang tercermin selama hidup yang
tidak berarti.
Lanjut
usia sebenarnya merupakan masa dimana
seseorang merasakan kepuasan dari hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup
bersama anak dan cucu, merasa bahagia karena telah memberi sesuatu bagi
generasi berikutnya. Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera
“narcissism”(kecintaan pada diri sendiri), terlebih-lebih manakala mereka
kehilangan dukungan atau perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada
manula tidak mampu memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul
rasa tegang, cemas, takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi
konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta
penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh
sebelumnya.Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
3
|
B.
Perkembangan
Agama Pada Usia Lanjut
Proses
perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi
lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi
tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini
biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan
menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan awal
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada usia lanjut
terjadi penurunan kemampuan fisik à
aktivitas menurun à
sering mengalami gangguan kesehatan à mereka cenderung
kehilangan semangat.[3]
Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata
meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara
60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan yang semakin meningkat.
Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru
muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang
menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai
berikut:
1. Seringkali
kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan
dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut
mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan
fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya factor yang membentuk
sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa
pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan
2. Menurut
William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada
usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut
diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut
yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal
hidup di akhirat kelak.
3. Dalam
penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut
diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh
M. Argyle dan Elle A. Cohen.[4]
C.
Ciri-ciri
Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara
garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:
1. Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai
muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4. Sikap
keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama
manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul
rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia
lanjutnya.
6. Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).[5]
D.
Kematangan
Beragama Pada Usia Lanjut
Kematangan atau kedewasaan seseorang
dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh
karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama
dalam hidupnya.[6]
Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang teguh paham keagamaan
yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung
jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang
cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala
perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul
dan dibina atas rasa tanggung jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar
ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan
beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga
merupakan suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab
perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada
dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan:[7]
1. Faktor
diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi
menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah
(rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang
yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima
dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama
tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang
harus dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat
mereka.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin
luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan
stabil dalam mengerjakan aktivitas keaagamaan. Namun, bagi mereka yang
mempunyai pengalamanan sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam
kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat
mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2. Faktor
luar
Yang
dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang
tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak
perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut
antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang
dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun temurun dari satu generasi
ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui
dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana
ceritanya.
Memang
untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan dilestarikan.
Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu penjelasan, sehingga tidak menimbulkan
anggapan kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak
dengan kenyataan yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak
kecil telah dicekam oleh tradisi yang
kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap
perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu,
pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam
kehidupan beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan
ke arah yang lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang
dari jenjang lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan kearah yang
lebih baik dan sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan
dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali
oleh William james, mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap
keagamaan seseorang, yaitu :
1. Faktor
intern, terdiri dari :
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada
temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang
berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal
demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b. Gangguan
Jiwa
Orang
yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah
lakunya.Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan seseorang yang
ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c. Konflik
dan Keraguan
Konflik
dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseoarng terhadap agama, seperti
taat, fanatic, agnotis, maupun ateis.
d. Jauh
dari Tuhan
Orang
yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan
hidup, terutama saat menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri
orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
a. Pesimis
b. Introvert
c. Menyenangi
paham yang ortodoks
d. Mengalami
proses keagamaan secara graduasi
2. Faktor
Ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a. Musibah
Seringkali
musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang,dan kegoncangan
tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya.
Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b. Kejahatan
Orang
yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa
berdosa.Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti
meluapakan dengan berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula orang tersebut
melampiaskannya dengan tindakan brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula
perasaan yang fitri menghantui dirinya,yang kemudian membuka kesadarannya untuk
bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan
agama antara lain:
1. Optimisme
dan gembira
2. Ekstrovert
dan tidak mendalam
3. Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal
Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka
cenderung:
a. Menyenangi
teologi yang luwes dan tidak kaku.
b. Menunjukkan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c. Menekankan
ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d. Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara soial.
e. Tidak
menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f. Bersifat
liberal dalammenafsirkan pengertian ajaran agama.
g. Selalu
berpandangan positif.
h. Berkembang
secara graduasi.
E.
Perlakuan
terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut
Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79th)
menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang
positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam
terapi psikologi.
Kajian
psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah
perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian
diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini,
perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan
dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya
disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan fisik pada usia lanjut
sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah
pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang
tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah.
Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat
dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti stress, putus asa,
ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam
kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai
penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa
memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti
ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai dalam memberi perlakuan
yang baik pada kedua orang tua Allah menyatakan dalam surat (QS 17-23) yang
artinya: jika seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut
dalam pemiliharaanmu, maka jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya
perkataan ah dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. [8]
F.
Cara
Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
Dalam
lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para
manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti
ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya,
di lingkungan keluarga, umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta
sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan
kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi
keluarga Barat umumnya menilai penempatan
orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari kasih saying
anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut
tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.
Lain
halnya dengan konsep yang dianjurkan
oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan
terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan
kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang
tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia
dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.
Adapun
dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua
diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai
pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan perlakuan
terhadap kedua orang tua:
Dan rendahkan dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan
mendidikku waktu kecil” (QS. 17:24).
3. Selain
itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang
tua, dalam pernyataan Aisyah r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada
seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah
yang bersamamu? Orang itu menjawab: “ayahku”.
Beliau berkata: “jangan berjalan di
depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan
jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha
Abdullah Al-Afifi: 1987:51)
4. Perlakuan
kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut
Ibnu Abbas, Rasulullah pernah mengatakan:
“Barang siapa membuat ridha kedua orang
tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu syurga yang
terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu diantaranya maka akan terbuka satu
pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang
tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah
salah-satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka”. (Thoha
Abdullah Al-Afifi, 1987:53).[9]
Bahkan ketika mendengar seorang tua
mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati mengadukan bahwa ayahnya
mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”. (Thoha Abdullah Al-Afifi,
1987, 54-55).
Dari penjelasan di atas tergambar
bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam. Manusia usia
lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan
perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang
demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi
tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai
kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini
menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam
merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo
merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.
|
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
makalah yang dijabarkan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa usia
lanjut adalah usia dimana seseorang akan mengalami kemunduran fisik dan mental yang
terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu
masa proses menjadi tua. Adapun secara umum mengatakan bahwa usia lanjut ini
dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan usia lanjut ini akan terjadi penurunan kemampuan fisik yang
menyebabkan aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan hingga mereka akan cenderung kehilangan semangat.
Adapun
ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada usia
lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk
menerima pendapat keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang
kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung
mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat
luhur, Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada
peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya
kehidupan abadi (akhirat).
Kematangan
atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran
dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya
dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang
menyebabkan adanya hambatan dalam menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni
factor intern (dalam diri), dan ekstern (dari lingkungan).
Di
dalam Islam Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan
terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan
kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang
tua dalam usia lanjut merupakan
kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara yang
diajarkan di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.
12
|
Daftar
Pustaka
Heni, Narendrany Hidayati. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Hafi
Anshari. 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya,
Jalaluddin.
2010. PsikologI Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Images.polres.multiplycontent.com/…/makalah%20b%yusuf%20y%20k
http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa.html diunduh 10-05-2011, 19.00 WIB
[6] Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional,
Surabaya, 1991, hlm 94.
[8] http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa.html
diunduh 10-05-2011, 19.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar