Sabtu, 15 Oktober 2011

Makalah Mekanisme Pasar Perspektif Ekonomi Islam

MEKANISME PASAR PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
(Makalah ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan UAS Semester Ganjil )
Dosen Mata kuliah
I










Disusun Oleh :
PGMI III C
IRVANI MUFIDAH  (109018300083)





PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDYATULLAH
 JAKARTA
2010






KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.Juga tidak lupa pula shalawat dan salam atas pemimpin umat islam yakni baginda besar Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikunya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah  berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang singkat ini dengan judul “Mekanisme Pasar perspektif Ekonomi Islam”. Makalah ini terdiri dari pokok-pokok bahasan materi yang membahas tentang tuntutan profesionalisme guru, sertifikasi dan profesionalisme guru, serta manfaat dan tujuan sertifikasi guru . Materi ini disajikan secara ringkas yang kami ambil dari beberapa sumber referensi terpilih.
Terima kasih kepada Bpk. . selaku dosen pembimbing mata kuliah Profesi Keguruan  yang telah membimbing kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Selain itu kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman, yang telah bersedia membaca dan mempelajarinya. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi kita semua selaku calon generasi pendidik masa depan bangsa.


Jakarta, 30 Desember  2010

Penyusun
Irvani Mufidah (PGMI III C)




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….........................    i
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I  PENDAHULUAN..................................................................................................
BAB II  PEMBAHASAN....................................................................................................
I.        Pengertian Pasar dan Mekanisme Pasar......................................................................
II.     Pasar Pada Masa Rasulullah........................................................................................
III.   Pasar Pada Masa Khulafaurrasyidin............................................................................
IV.  Pasar dalam Pandangan Sarjana Muslim.....................................................................
1.      Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798 M).............................................
2.      Evolusi Pasar Menurut Al-Ghazali (1058-1111 M)................................................
3.      Pemikiran Thomas Aquinas Vs Ibnu Taimiah........................................................
4.      Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Khaldun (1332-1383 M).....................................
V.     Islam Dan Sistem Pasar...............................................................................................
VI. Harga dan persaingan sempurna pada pasar Islami.....................................................
VII. Rekayasa Permintaan dan Penawaran........................................................................
BAB III  PENUTUP......................................................................................................... ..
Kesimpulan........................................................................................................................  
DAFTAR PUSTAKA


















BAB I
PENDAHULUAN

          Islam adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah (dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang mengatur tentang pasar dan mekanismenya.
Pasar adalah tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa. Pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas dari fungsi pasar sebagai wadah bagi berlangsungnya kegiatan jual beli. Jual beli sendiri memiliki fungsi penting mengingat, jual beli merupakan salah satu aktifitas perekonomian yang “terakreditasi” dalam Islam. Attensi Islam terhadap jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat dilihat dalam surat Al Baqarah 275 bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Pentingnya pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena peran pasar penting dan juga rentan dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas dengan sejumlah aturan syariat, yang antara lain terkait dengan pembentukan harga dan terjadinya transaksi di pasar. Dalam istilah lain dapat disebut sebagai mekanisme pasar menurut Islam dan intervensi pemerintah dalam pengendalian harga.
Melihat pentingnya pasar dalam Islam bahkan menjadi kegiatan yang terakreditasi serta berbagai problem yang terjadi seputar berjalannya mekanisme pasar dan pengendalian harga, maka pembahasan tentang tema ini menjadi sangat menarik dan urgen.




BAB II
PEMBAHASAN
Mekanisme Pasar Perspektif Ekonomi Islam
I.              Pengertian Pasar dan Mekanisme Pasar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1988: 651) disebutkan bahwa pasar adalah tempat orang berjual beli. Sedangkan menurut istilah, Pasar adalah sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia.[1] Sedangkan menurut pendapat lain dalam kajian ekonomi, pasar adalah suatu tempat atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari suatu barang/jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang diperdagangkan. Jadi setiap proses yang mempertemukan antara penjual dan pembeli, maka akan membentuk harga yang akan disepakati oleh keduanya.[2]
Menurut penjelasan lain Pasar adalah suatu tempat di mana pembeli dan penjual bertemu untuk membeli atau menjual barang dan jasa atau faktor- faktor produksi. Di dalam bahasa sehari-hari pasar pada umumnya diartikan sebagai suatu lokasi dalam artian geografis. Tetapi dalam pengertian teori ilmu ekonomi mikro cakupannya adalah lebih luas lagi. Dalam teori ekonomi mikro pasar meliputi juga pertemuan antara pembeli dan penjual di mana antara keduanya tidak saling melihat satu sama lain (misalnya antara importer karet yang bertempat tinggal di Amerika dan importer karet di Indonesia) yang melakukan transaksi jual beli melalui telex (Ari Sudarman, 1980: 6).[3]
Dari beberapa pengertian tersebut, maka pasar dapat diartikan sebagai suatu tempat terjadinya mekanisme pertukaran barang atau jasa oleh penjual dan pembeli untuk menetapkan harga keseimbangan serta jumlah yang diperdagangkan.
Mekanisme pasar adalah terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan tingkat harga tertentu. Adanya interaksi tersebut akan mengakibatkan terjadinya proses transfer barang dan jasa yang dimilki oleh setiap objek ekonomi (konsumen, produsen, pemerintah). Dengan kata lain, adanya transaksi pertukaran yang kemudian disebut sebagai perdagangan adalah satu syarat utama dari berjalannya mekanisme pasar.[4]
Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian. Praktik ekonomi pada masa rasulullah dan khulafaurrasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang besar. Rasullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil. Beliau menolak adanya price intervention seandainya perubahan harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun, pasar disini mengahruskan adanya moralitas (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak harga pasar.[5]
II.                Pasar Pada Masa Rasulullah
Pasar memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat Muslim pada masa Rasulullah, saw. dan Khulafaurrasyidin. Bahkan Muhammad saw. sendiri pada awalnya adalah seorang pebisnis, demikian pula Khulafaurrasyidin dan kebanyakan sahabat lainnya. Pada usia 7 tahun, Muhammad diajak oleh pamannya Abu Thalib berdagang ke negeri Syam. Kemudian sejalan dengan usianya yang semakin dewasa, Muhammad semakin giat berdagang, baik dengan modal sendiri ataupun bermitra dengan orang lain. Dan salah satu mitra bisnisnya ialah Khadijah yang akhirnya menjadi istri beliau.
Muhammad adalah seorang pedagang profesional dan selau menjunjung tinggi kejujuran, sehingga ia diberi julukan al-Amin (yang terpercaya). Setelah menjadi Rasul, Muhammad tidak lagi menjadi pebisnis secara aktif, karena situasi dan kondisi perkembangan islam di Mekah yang tidak memungkinkan. Sehingga perjuangan dakwah menjadi prioritas beliau. Ketika beliau dan kaum muhajirin berhijrah ke Madinah, peran Rasulullah bergeser menjadi pengawas pasar  atau al-Muhtasib. Beliau mengawasi jalannya mekanisme pasar  di Madinah dan sekitarnya agar tetap berlangsung secara islami.
Pada saat itu mekanisme pasar sangat dihargai, beliau menolak untuk menetapkan harga manakala tingkat harga di Madinah pada saat itu tiba-tiba naik. Sepanjang kegiatan permintaan dan penawaran  yang murni, yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolistik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghargai pasar. Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan bebas (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus oleh frame syari’ah. Dalam Islam, Transaksi terjadi secara sukarela (antaradim minkum/mutual goodwill), Sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat An Nisa’ ayat 29[6], yang artinya :
.............................................................................
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…”(An-Nisa: 29)
 Didukung pula oleh hadits riwayat Abu dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah dan as Syaukani sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَقَتَادَةُ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ غَلَا السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ[7]
 “Wahai Rasulullah tentukanlah harga untuk kita!”. Beliau menjawab, “Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rizki. Aku menharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam hal darah dan harta.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan asy-Syaukani).
Dalam hadis di atas jelas dinyatakan bahwa pasar merupakan hukum alam (sunatullah) yang harus dijunjung tinggi. Tak seorang pun secara individual dapat mempengaruhi pasar, sebab pasar adalah kekuatan kolektif yang telah menjadi ketentuan Allah swt. Pelanggaran terhadap harga pasar, misalnya penetapan harga dengan cara dan karena alasan yang tidak tepat, merupakan suatu ketidakadilan (zulm/injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya dihadapan Allah[8]. Dalam penjelasan lain Dr, A.A Islabi mengutip dari Ahmad Nu’man             mengenai hadis tersebut dan menyimpulkan bahwa pada waktu terjadinya kenaikan harga Rasulullah meyakini adanya penyebab tertentu yang sifatnya darurat. Oleh sebab itu sesuatu yang bersifat darurat  akan hilang seiring dengan hilangnya penyebab dari keadaan itu. Di lain pihak rasul juga myakini bahwa harga akan kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama (sifat darurat). Penetapan harga menurut rasul merupakan suatu tindakan yang menzhalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang tentunya tidak sesuai dengan keridhaannya. (Ahmad Nu’man: 1985).[9]
 Sebaliknya dinyatakan bahwa penjual yang menjual dagangannya dengan harga pasar ialah laksana orang yang berjuang di jalan Allah (jihad fii sabilillah), sementara yang menetapkan sendiri termasuk sebuah perbuatan ingkar kepada Allah. Dari Ibnu Mughirah terdapat sebuah riwayat ketika Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki menjual makanan dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pasar. Rasulullah bersabda, “Orang-orang yang datang membawa barang ke pasar laksana orang berjihad fiisabilillah, sementara orang yang menaikkan harga (melebihi harga pasar) seperti orang yang ingkar kepada Allah.”[10]
Nabi menghendaki terjadinya persaingan pasar yang adil di Madinah. Untuk itu beliau menerapkan sejumlah aturan agar keadilan itu bisa berlangsung. Diantara aturan itu adalah:[11]
1.      Melarang Tallaqi Rukban, yakni menyongsong khalifah di luar kota. Dengan demikian pedagang mendapat keuntungan dari ketidaktahuan khalifah yang baru datang dari luar kota terhadap situasi pasar.
2.      Mengurangi timbangan dilarang,  karena itu berarti barang dijual dengan harga sama tetapi jumlah sedikit.
3.      Menyembunyikan cacat barang dilarang, karena itu berarti penjual mendapat harga baik dari barang yang buruk.
4.      Dan sejumlah larangan lain agar terciptanya pasar yang adil di lapangan.
Di masa Rasulullah kepemilikan pribadi diakui (Karim, 2002). Mencari nafkah bebas dilaukakan setiap warga negara bahkan wajib, asalkan tidak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar syariah dan moral islam. Kewajiban mencari nafkah itu tidak dibatasi dalam produk barang ataupun jasa yang dihasilkan. Islam juga sangat tidak menyukai perbuatan menimbun kekayaan atau mengambil keuntungan atas kesulitan orang lain. Dalam kerangka mekanisme pasar bebas ini islam sejak masa Rasulullah sudah melarang segala bentuk penimbunan bahan pokok atau komoditas yang esensial. Perbuatan tersebut akan menimbulkan distorsi pada kebebasan itu sendiri dan akhirnya akan menciptakan harga semu.
Dalam islam setiap orang berhak untuk dapat memiliki secara legal suatu pendapatan, kepemilikan, dan kemakmuran selama hidupnya, untuk membantunya dalam melaksanakan kewajiban agamanya. Kepada mereka yang memiliki kelebihan rezeki dari hasil kerjanya, yang sudah melampaui suatu ukuran tertentu (nisab), maka kepadanya diwajibkan zakat.[12]
III.             Pasar Pada Masa Khulafaurrasyidin
Kebijakan ekonomi di masa Khulafaurrasyidin secara prinsip sesungguhnya meneruskan kebijakan yang dilaksanakan Rasulullah. Penyempurnaan dilakukan di sana sini sebagai bagian dari proses kemajuan dan mengantisipasi keadaan. Pada masa Abu Bakar mislanya, tidak ada hal yang terlalu menonjol kecuali sikap Abu Bakar yang sangat tegas terhadap satu kaum yang tidak bersedia membayar zakat. Kebijakan Abu Bakar ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme pasar.
Di masa Umar bin Khattab pernah terjadi kenaikan harga gandum di pasar Madinah. Ini terjadi karena pasokan melemah, bisa jadi karena gagal panen di sejumlah wilayah pemasok gandum. Untuk mengembalikan harga pada keseimbangan normal, Umar mengimpor gandum dari Mesir, dan memasoknya ke pasar. Intervensi pasokan ini dikuti dengan aktifnya lembaga hisbah yang sudah dibentuk ketika itu untuk mengawasi pihak-pihak yang bermain di pasar agar tidak berlaku curang. Intervensi permintaan pun dilakukan dengan menanamkan sikap sederhana dan menjauhkan sikap boros dalam berbelanja (Karim, 2001). Umar bisa melakukan langkah antisipasi yang cepat dan tepat karena ia selalu berusaha mendapatkan informasi harga, termasuk harga barang-barang yang sulit dijangkau.
Utsman bin Affan dikenal sebagai seorang yang jujur dan saleh dan lemah lembut, meskipun saat menjabat ia telah berusia tua. Pada awalnya ia mengikuti kebijakan Umar, namun lambat laun ketika menghadapi sejumlah hadangan, ia mulai menyimpang dari garis kebijakan Umar. Penyimpangan itu membawa pengaruh yang kurang baik  pada dirinya sendiri dan islam pada umumnya. Berbeda dengan Umar yang gigih memperoleh harga pasar, Ustman memantau situasi pasar melalui diskusi dengan sejumlah sahabat di masjid. Pada masa Ali bin Abi Thalib tidak ada kisah khusus yang terkait dengan mekanisme pasar. Tampaknya ia melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh pendahulunya.[13]
IV.             Pasar dalam Pandangan Sarjana Muslim
Pasar telah mendapat perhatian memadai dari para ulama klasik seperti Abu Yusuf, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiah. Pemikiran-pemikiran mereka tentang pasar tidak saja mampu meberikan analisis yang tajam tentang apa yang terjadi pada masa itu, tetapi tergolong ‘futuristik’. Banyak dari pandangan-pandangan mereka baru dibahas oleh ilmuan-ilmuan barat beratus-ratus tahun kemudian. Berikut akan disajikan sebagian dari pemikiran mereka yang tentunya akan  memperkaya khasanah intelektual guna perkembangan kebijakan masa kini dan mendatang.
1.      Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798 M)
Pemikiran Abu Yusuf tentang pasar dapat dijumpai  dalam bukunya al-Kharaj.  Di dalam bukunya tersebut ia menjelaskan beberapa prinsip mekanisme pasar. Ia telah menyimpulkan bekerjanya hukum permintaan dan penawaran pasar dalam menentukan tingkat harga, meskipun kata permintaan dan penawaran ini tidak ia katakan secra eksplisit.
Masyarakat luas pada saat itu memahami bahwa harga suatu barang hanya ditentukan oleh jumlah penawarannya saja. Dengan kata lain, bila hanya tersedia sedikit barang, maka harga akan murah. Mengenai hal ini Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj (1997) mengatakan, “Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah (sunnatullah). Kadang-kadang makanan sangat sedikit tapi harganya murah.”  [14]
Pernyataan di atas secara implisit menyatakan bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh penawaran saja, tetapi juga permintaan terhadap barang tersebut. Dengan kata lain, mengindikasikan, mahal atau murahnya suatu komoditas tidak bisa ditentukan secara pasti, di mana  murah bukan hanya melimpahnya barang tersebut dan mahal bukan hanya karena kelangkaannya.[15] Bahkan, Abu Yusuf mengindikasikan adanya variabel-variabel lain yang juga turut mempengarui harga, misalnya jumlah uang yang beredar di negara itu, penimbunan dan penahanan suatu barang, atau lainnya. Jelasnya, peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berkaitan dengan penurunan dan peningkatan produksi.  Bisa jadi  hal itu terjadi karena adanya distorsi pada distribusi yang disengaja untuk merusak daya beli masyarakat pada kondisi pasar normal dan terbuka. Pada dasarnya pemikiran Abu Yusuf ini merupakan hasil observasinya saat itu, di mana sering kali terjadi melimpahnya barang ternyata diikuti dengan tingginya tingkat harga, sementara kelangkaan barang diikuti dengan harga yang rendah.[16]
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.
Dengan kata lain pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva dimand.
Dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf yang dapat dijelaskan dengan teori permintaan. Teori ini mejelaskan hubungan antara harga dengan banyaknya quantity yang diminta. Hubungan harga dan kuantitas dapat diformulasikan sebagai berikut:
D = Q = f (P)
                       -
Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan dan komoditi adalah negatif, apabila P naik maka Q turun. Begitu pula sebaliknya, apabila P turun maka Q naik. Dari formulasi ini kita dapat simpulkan bahwa hukum permintaan mengatakan bahwa bila harga komoditi naik maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang dibeli. Begitu juga apabila harga komoditi naik maka akan direspon oleh konsumen dengan meningkatnya jumlah komoditi yang dibeli.
 Akan tetapi Abu Yusuf membantah pemahaman  tersebut, karena pada kenyataannya tidak selalu terjadi bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga akan mahal, dan bila perseediaan barang melimpah maka harga akan murah. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pandangan umum mengenai hubungan terbalik antara persediaan barang (supplay) dan harga, karena pada kenyataannya harga tidak bergantung pada permintaan saja tetapi juga pada kekuatan penawaran.
Dalam hukum penawaran terhadap barang dikatakan bahwa hubungan antar harga dengan banyaknya komoditi yang ditawarkan mempunyai kemiringan positif. Dalam sebuah formalasi yang sederhana, hubungan anatar harga dan jumlah komoditi dapat dilihat di bawah ini:
S º Q = f (P)
                 +
Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah positif, apabila P naik mak Q naik pula. Demikan juga sebaliknya, apabila P turun maka Q turun pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum penawaran mengatakan bahwa bila harga komoditi naik, maka akan direspon oleh penambahan jumlah komuditi yang ditawarkan. Begitu juga apabila harga komoditi turun, maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang ditawarkan.[17]

2.      Evolusi Pasar Menurut Al-Ghazali (1058-1111 M)
Al-Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali juga banyak membahas topik-topik ekonomi, termasuk pasar. Dalam magnum opusnya itu ia telah membicarakan barter dan permasalahannya, pentingnya aktivitas perdagangan dan evolusi terjadinya pasar, termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran dalam pengaruh harga[18]. Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”[19].
Dalam panjelasannya tentang proses terbentuknya suatu pasar ia menyatakan, “Dapat saja petani hidup di mana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup di mana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat  di penyimpanan alat-alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, maka ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatif murah, untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.”[20]
Dari pernyataan tersebut Al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat sistem barter yang dalam istilah ekonomi barat disebut double coincidence, dan karena itu dibutuhkan suatu pasar. Ia juga memperkirakan kejadian ini akan berlanjut dalam skala yang lebih luas, mencakup banyak daerah atau negara. Kemudian masing-masing daerah atau negara akan berspesialisasi menurut keunggulannya masing-masing, serta melakukan pembagian kerja diantara mereka. Kesimpulannya ini jelas tersirat dalam pernyatannya:
Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menda patkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada akhirnya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras  memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan orang lain juga.” [21]
Al-Ghazali tidak menolak kenyatan bahwa mencari keuntungan merupakan motif utama dalam perdagangan. Namun, ia membarikan banyak penekanan kepada etika dan bisnis, di mana etika diturunkan dari nilai-nilai islam. Keuntungan yang sesungguhnya ialah keuntungan yang akan diperoleh di akhirat kelak. Ia juga menyarankan adanya peran pemerintah dalam menjaga keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Al-Ghazali memang tidak bicara kurva permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, namun ia menjelaskan dengan kalimat yang cukup jelas. Ia menjelaskan bahwa kurva penawaran bergerak dari kiri bawah ke kanan atas, ia mengatakan, “ jika petani tidak mendapatkan pembeli untuk barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah.”
Gambar grafis dari pernyataan Al-Ghazali ini adalah sebagai berikut:[22]
Sedangkan untuk kurva permintaan yang bergerak dari kiri atas ke kanan bawah, Ghazali menyebutnya sebagai “Harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.”Secara grafis hal ini dapt digabarkan sebagai berikut [23]:

Yang lebih mengagumkan lagi adalah, Ghazali rupanya telah paham konsep elastisitas permintaan. Ia bilang “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih  murah akan meningkatkan volume penjualan, dan akhirnya meningkatkan keuntungan pula.” Ia juga sudah mengidentifikasi bahwa bahan makanan pokok adalah komoditas yang tidak elastis.” Ia mengatakan, “Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangannya harus sedikit mungkin didorong oleh motif keuntungan. Keuntungan sebaiknya dambil dari komoditas yang bukan kebutuhan pokok.”[24]

3.      Pemikiran Thomas Aquinas Vs Ibnu Taimiah
Permasalahan yang dibahas Aquinas berhubungan dengan perniagaan, harga yang adil, kepemilikan dan riba. Ide-ide ini diwarisi oleh Aristoteles yang kemudian diadopsi sepenuh hati oleh Aquinas, walaupun dalam beberapa kasus ia memodifikasi serta memperbaiki sesuai dengan kebutuhan yang ada pada masa itu dalm rangka mensintesis dengan ajaran Nasrani. Ibnu Taimiah juga mngenal pemikiran-pemikiran dari Aristoteles, tetapi tidak seperti Aquinas, ia tidak menganggap Aristoteles sebagai filsuf dan guru universal. Sebaliknya ia berpikir bahwa Aristoteles salah atau keluar jalur, dan mengkritik Aristoteles dalam tulisan-tulisannya, serta menolak untuk mengikuti pendapat-pendapatnya. Thomas Aquinas sangat mengenal tulisan-tulisan ilmuan dan pemikir Muslim seperti Ibnu Rusd (Averroes), Ibnu Sina (Avicenna) dan yang lainnya. Tampaknya ia memanfaatkan pemikiran-pemikiran ilmuan islam tersebut.
 Salah satu topik penting yang dibahas Aquinas adalah harga pasar (just price). Asal muasal ide ini ditemukan dalam tulisan Aristoteles. Arbertus Magnus memasukkan analisa biaya tenaga kerja ke dalam pembahasan mengenai harga pasar, di mana dengan beberapa  dan penyempurnaan, Aquinas meneruskannya. Jika kita telaah, perlakuan Ibnu Taimiah terhadap permasalahan ini adalah jauh lebih komprehensif daripada Aquinas.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Ibnu Taimiah tidak mengambil dasar pemikirannya dari filsuf Yunani. Ia menemukan tentang hal tersebut di dalam riwayat-riwayat (hadis) dari nabi saw. yang banyak terdapat dalam literatur fiqh islam. Walaupun demikian terdapat banyak kemiripan antara konsep dari harga pasar dari Ibnu Taimiah dengan konsep  Aquinas. Bagi keduanya, harga pasar haruslah terjadi dalam pasar yang kompetitif dan tidak boleh ada penipuan. Keduanya membela penetapan pagu harga pada waktu terjadi perbedaan pengenaan harga dari harga pasar. Akan tetapi dalm penetapan pagu harga, Aquinas hanya mempertimbangkan nilai subjektif dari sebuah objek dari sisi penjual saja, sementara Ibnu Taimiah selain itu juga mempertimbangkan nilai subjektif objek dari sisi pembeli sehingga menjadikan analisisnya lebih baik dari Aquinas.[25]
Ibnu Taimiah
Pemikiran Ibnu Taimiah mengenai mekanisme pasar banyak dicurahkan melalui bukunya yang sangat terkenal, yaitu Al-Hisbah fi’l Al-Islam dan Majmu’ Fatawa. Pandangan Ibnu Taimiah mengenai hal ini sebenarnya terfokus pada masalah pergerakan harga yang terjadi pada waktu itu, tetapi ia letakkan dalam kerangka mekanisme pasar. Secara umum beliau telah menunjukkan the beauty of market (keindahan mekanisme pasar sebagai mekanisme ekonomi).
Dalam Al-Hisbahnya ia mengatakan, “Naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan (Zulm/injustice) dari beberapa bagian pelaku transaksi. Terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap harga yang diminta, atau tekanan pasar. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang tersebut menaik sementara ketersediaanya/penawarannya menurun, maka harganya akan naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang-barang menaik dan permintaan terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga. Kelangkaan (scarcity) dan keberlimpahan (abudance) barang mungkin bukan disebabkan oleh tindakan sebagian orang kadang-kadang disebabkan karena tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Hal ini adalah kehendak Allah yang telah menciptakan keinginan dalam hati manusia.”[26]
Dalam kitab Fatawa-nya Ibnu Taimiah juga menjelaskan secara lebih rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan kemudian tingkat harga. Beberapa faktor ini yaitu :[27]
a.       Keinginan orang (al-raghabah) terhadap barang barang sering kali berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh berlimpah atau langkanya barang yang diminta (al-matlub). Suatu barang akan lebih disukai ketika langka daripada jumlah yang berlebihan
b.      Jumlah orang yang meminta (demender/tullab) juga mempengaruhi harga. Jika jumlah orang yang meminta suatu barang besar, maka harga akan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang meminta jumlahnya sedikit.
c.       Kuat atau lemahnya kebutuhan terhadap barang itu, selain juga besar atau kecilnya permintaan juga akan mempengaruhi harga. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan yang lebih sedikit.
d.      Kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’waid), juga akan memvariasikan suatu harga. Jika pembeli merupakan orang kaya lagi terpercaya dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih dibandingkan orang yang suka menunda kewajiban (kredibel).
e.       Jenis (uang) pembayaran yang digunakan dalam transaksi jual beli juga akan mempengaruhi harga. Jika uang yang digunakan adalah uang yang diterima luas (naqd ra’ij), maka kemungkinan harga akan lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan uang yang kurang diterima luas. Misalnya dinar ddan dirham, saat merupakan alat pembayaran yang lazim di Damaskus.
f.       Hal di atas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi harus menguntungkan penjual dan pembeli. Jika  pembeli mempunyai kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah/lancar dibandingkan dengan  pembeli yang tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat harga barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak nyata. Seperti harga bagi pembeli kontan akan lebih murah dari pada yang membeli kredit.
g.      Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat tanpa (tambahan) biaya apa pun. Namun, kadang-kadang penyewa dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, misalnya seperti yang terjadi di desa-desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat yang diganggu oleh binatang-binatang pemangsa. Sebenarnya harga sewa tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak membutuhkan biaya-biaya  tambahan ini.
 Pernyataan-pernyataan di atas sesungguhnya mencerminkan kompleksitas penentu harga di pasar, yang tercermin dari makna poin a-g.
Ibnu Taimiah mengatakan, “Jika masyarakat melakukan transaksi jual-beli dalam konidisi normal tanpa ada bentuk distorsi atau penganiayaan apapun dan terjadi perubahan harga karena sedikitnya penawaran atau banyaknya permintaan, maka ini merupakan kehendak Allah swt. (Atiyah As-Sayyid Fayyadh: 1997). Dengan demikian pemerintah tidak memiliki wewenag untuk melakukan intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal.[28]
Harus diyakini nilai konsep islam tidak memberikan ruang intervensi dari pihak mana pun untuk menentukan harga, kecuali dan hanya kecuali adanya kondisi darurat yang kemudian menuntut pihak-pihak tertentu untuk ambil bagian menetapkan harga.
Pengertian darurat di sini adalah pada dasarnya peranan pemerintah ditekan seminimal mungkin. Namun intervensi pemerintah sebagai pelaku pasar dapat dibenarkan hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan sempurna, dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi (market failure). Sejumlah contoh klasik dari kodisi market failure antara lain: barang publik, eksternalitas (termasuk pencemaran dan kerusakan lingkungan), informasi yang tidak simetris, biaya transaksi, dan kepastian institusional serta masalah dalam distribusi. Atau dalam bahasa lain yang lebih sederhana, intervensi pemerintah adalah untuk menjamin fairness dan ‘keadilan’, bagaimanapun dua hal itu didefinisikan [29]
Lebih jauh lagi Ibnu Taimiah membatasi keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi pada empat situasi dan kondisi berikut:
1.      Kebutuhan masyarakat atau hajat orang banyak akan sebuah komoditas (barang maupun jasa); para fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang menjadi hajat orang banyak tidak dapat diperjualbelikan kecuali dengan harga yang sesuai. Sebagai contoh, jika seseorang membutuhkan makanan yang menjadi milik orang lain, maka orang tersebut dapat membeli ddengan harga yang ‘sesuai’, tidak dibenarkan si pemilik makanan menentukan harga harga yang tinggi secara sepihak.
2.      Terjadi kasus monopoli (penimbunan); para fukaha sepakat untuk memberlakukan hak hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atau kepemilikan barang) oleh pemerintah. Hal ini untuk mengantisipasi adanya tindakan negatif (berbahaya) yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak  yang melakukan kegiatan monopolistik ataupun penimbunan barang.
3.      Terjadinya keadaan al-Hasr (pemboikotan), di mana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga di sini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
4.      Terjadinya koalisi dan kolusi antar para penjual; di mana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi di antara mereka sendiri, dengan harga penjualan yang tentunya di bawah harga pasar. Ketetapan intervensi di sini untuk menghindari kemungkinan terjadi fluktuasi harga barang yang ekstrem dan dramatis.[30]
4.      Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Khaldun (1332-1383 M)[31]
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pasar termuat dalam buku monumental, Al-Muqaddimah, terutama dalam bab harga-harga di kota-kota.” (Price in Town). Ia membagi barang-barang menjadi dua katagori, yaitu barang pokok dan barang mewah. Menurutnya jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, maka harga barang-barang pokok akan semakin menurun sementara harga barang mewah akan naik. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaran barang pangan dan barang pokok lainnya sebab barang ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap orang, sehingga pengadaannya akan diprioritaskan. Sementara itu, harga barang mewah akan naik sejalan dengan meningkatnya gaya hidup yang mengakibatkan peningkatan permintaan barang mewah ini. Di sini, Ibnu Khaldun sebenarnya menjelaskan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap tingkat harga. Secara lebih rinci ia menjelaskan pengaruh persaingan antara para konsumen dan meningkatnya biaya-biaya akibat perpajakan dan pungutan-pungutan lain terhadap tingkat harga.
Dalam buku tersebut, Ibnu Khaldun juga mendeskripsikan pengaruh kenaikan dan penurunan penawaran terhadap tingkat harga. Ia menyatakan, “Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang-barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.”
Pengaruh tinggi rendahnya tingkat keuntungan terhadap perilaku pasar, khususnya produsen, juga mendapat perhatian dari Ibnu Khaldun. Menurutnya tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sementara tingkat keuntungan yang terlalu rendah akan membuat lesu perdagangan. Para pedagang dan produsen lainnya akan kehilangan motivasi bertransaksi. Sebaliknya jika tingkat keuntungan terlalu tinggi perdagangan juga akan melemah sebab akan menurunkan tingkat permintaan konsumen.
Ibnu Khladun sangat menghargai harga yang terjadi dalam pasar bebas, namun ia tidak mengajukan saran-saran kebijakan pemerintah untuk mengelola harga. Ia lebih banyak memfokuskan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi harga.
V.                Islam Dan Sistem Pasar[32]
Dewasa ini, secara umum dapat disampaikan bahwa kemunculan pesan moral Islam dan pencerahan teori pasar, dapat dikaitkan sebagai bagian dari reaksi penolakan atas sistem sosialisme dan sekularisme. Meskipun tidak secara keseluruhan dari kedua sistem itu bertentangan dengan Islam. Namun Islam hendak menempatkan segala sesuatu sesuai pada porsinya, tidak ada yang dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian dari the holistic live kehidupan duniawi dan ukhrowi manusia.
Oleh sebab itu, sangat utama bagi umat Islam untuk secara kumulatif mencurahkan semua dukungannya kepada ide keberdayaan, kemajuan dan kecerahan peradaban bisnis dan perdagangan. Islam secara ketat memacu umatnya untuk bergiat dalam aktivitas keuangan dan usaha-usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan social.
Berdagang adalah aktivitas yang paling umum dilakukan di pasar. Untuk itu teks-teks Al Qur’an selain memberikan stimulasi imperative untuk berdagang, di lain pihak juga mencerahkan aktivitas tersebut dengan sejumlah rambu atau aturan main yang bisa diterapkan di pasar dalam upaya menegakkan kepentingan semua pihak, baik individu maupun kelompok.
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan bebas (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus oleh frame syari’ah. Dalam Islam, Transaksi terjadi secara sukarela (antaradim minkum/mutual goodwill, Sebagaimana disebutkn dalam Qur’an surat An Nisa’ ayat 29. Didukung pula oleh hadits riwayat Abu dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah dan as Syaukani sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَقَتَادَةُ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ غَلَا السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
Orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami!” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan yang melapangkan rizki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezhaliman-pun dalam darah dan harta”. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan asy-Syaukani).
Selanjutnya pasar yang adil akan melahirkan harga yang wajar dan juga tingkat laba yang tidak berlebihan, sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah SWT. sebagaimana ayat berikut;
..........
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah: 275)
Dalam pada itu, transaksi yang dilakukan secara benar dan tidak masuk dalam riba dalam mencari keutamaan Allah bahkan mendapat dukungan yang kuat dalam agama.
.......
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah … (QS. Al Qoshos: 77)

VI.             Prinsip-prinsip Mekanisme Pasar Islami[33]
1.      Konsep mekanisme pasar dalam Islam dibangun atas prinsip-prinsip sebagai berikut: 1.  Ar-Ridha, yakni segala transaksi yang dilakukan haruslah atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak (freedom contract). Hal ini sesuai dengan Qur’an Surat an Nisa’ ayat 29:
...................................................
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Qs: Annisa’ 29)
2.      Berdasarkan persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar akan terhambat bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli. Monopoli dapat diartikan, setiap barang yang penahanannya akan membahayakan konsumen atau orang banyak.
3.      Kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam, sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu sendiri. Islam melarang tegas melakukan kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Sebab, nilai kebenaran ini akan berdampak langsung kepada para pihak yang melakukan transaksi dalam perdagangan dan masyarakat secara luas.
4.      Keterbukaan (transparancy) serta keadilan (justice). Pelaksanaan prinsip ini adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan yang sesungguhnya.
VII.           Harga dan persaingan sempurna pada pasar Islami[34]
Konsep Islam memahami bahwa pasar dapat berperan aktif dalam kehidupan ekonomi apabila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun termasuk Negara dalam hal intervensi harga atau private sector dengan kegiatan monopolistic dan lainya. Karena pada dasarnya pasar tidak membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa yang harus dikonsumsi dan diproduksi. Sebaliknya, biarkan tiap individu dibebaskan untuk memilih sendiri apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya. Pasar yang efisien akan tercapai apabila termasuk investor (jika dalam pasar modal) dan seluruh pelaku pasar lainnya memperoleh akses dan kecepatan yang sama atas keseluruhan informasi yang tersedia. Dengan kata lain, tidak ada insider information.
Inilah pola normal dari pasar yang dalam istilah Al Ghozali berkait dengan ilustrasi dari evolusi pasar. Selanjutnya C. Adam Smith menyatakan serahkan saja pada Invisible hand dan dunia akan teratur dengan sendirinya. Prinsip invisible hand yaitu, di mana pasar cenderung akan mengarahkan setiap individu untuk mengejar dan mengerjakan yang terbaik untuk kepentingannya sendiri, yang pada akhirnya juga akan menghasilkan yang terbaik untuk seluruh individu.
Dari pemahaman itu, harga dari sebuah komoditas baik barang maupun jasa ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penawaran dan permintaan. Hal ini sesuai dengan hadith yang diriwayatkan dari Anas Bahwasannya suatu hari terjadi kenaikan harga yang luar biasa di masa Rosulullah SAW, maka sahabat meminta nabi untuk menentukan harga pada saat itu, lalu nabi bersabda: Artinya, “Bahwa Allah adalah Dzat yang mencbut dan memberi sesuatu, Dzat yang memberi rezeki dan penentu harga..” (HR. Abu Daud).
Dari hadith itu, dapat disimpulkan bahwa pada waktu terjadi kenaikan harga, Rosulullah SAW meyakini adanya penyebab tertentu yang sifatnya darurat. Oleh karena itu, sesuatu yang bersifat darurat akan hilang seiring dengan hilangnya penyebab dari keadaan itu. Di lain pihak, Rosulullah juga meyakini bahwa harga akan kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penetapan harga menurut Rosul merupakan suatu tindakan yang menzalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang tentunya tidak sesuai dengan keridloannya.
Dengan demikian, pemerintah tidak mewakili wewenang untuk melakukan intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal. Ibnu Taimiyah mengatakan, jika masyarakat melakukan transaksi jual beli dalam kondisi normal tanpa ada distorsi atau penganiayaan apapun dan terjadi perubahan harga karena sedikitnya penawaran atau banyaknya permintaan, maka ini merupakan kehendak Allah.
Harus diyakini bahwa intervensi terhadap pasar hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang darurat. Keadaan darurat disini dapat diartikan jika pasar tidak terjadi dalam keadaan sempurna, yaitu terdapat kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi secara fair (market failure). Beberapa contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: informasi yang tidak simetris, biaya transaksi, kepastian institusional, masalah eksternalitas (termasuk pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan) serta masalah dalam distribusi. Jika kondisi demikian ini terjadi, maka akan terjadi pasar tidak sempurna atau disebut dengan istilah Market Imperfection.
VIII. Rekayasa Permintaan dan Rekayasa Penawaran[35]
Rekayasa permintaan (false demand) berbentuk bai’ najasyi, sedangkan rekayasa penawaran (false supply) dapat berbentuk ihtikar maupun talaqqi rukban.
a.       Bai’ Najasyi
Bai’ najasyi adalah menciptakan permintaan palsu atau merekayasa permintaan dengan tujuan untuk menaikkan atau menurunkan harga dari harga yang sedang berlaku di pasar. Contoh bai’ najasyi adalah ada pihak tertentu yang merupakan sekutu pihak penjual yang berpura-pura menjadi calon pembeli. Ia kemudian menawar harga lebih rendah dari yang ditawarkan oleh penjual akan tetapi sebenarnya harga yang diajukannya masih lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar.
b.       Ihtikar
Mengenai ihtikar, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tidaklah orang yang melakukan ihtikar itu kecuali ia berdosa” (Bersumber dari Said bin al-Musyyab dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi). Ihtikar ini sering kali diterjemahkan sebagai monopoli dan atau penimbunan. Padahal ihtikar tidak identik dengan monopoli dan atau penimbunan. Dalam Islam siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain.menyimpan stok barang untuk persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja.demikian pula menyimpan persediaan. Monopoli dan menyimpan stok yang dilarang dalam Islam adalah yang dilakukan dengan maksud untuk mengambil keuntungan diatas keuntungan normal yang dengannya merusak mekanisme pasar. Istilah ekonominya ihtikar adalah monopoly’s rent-seeking.
c.       Talaqqi Rukban
Tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota (atau pihak yang memiliki informasi yang lebih lengkap) membeli barang petani (atau produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar) yang masih diluar kota, untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga pasar yang sesungguhnya. Rasulullah melarang ini dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, hal ini dalam fiqih disebut tallaqi rukban.
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam.  Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008.
Supriyatno. Ekonomi Mikro Perspektif  Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIT Indonesia, 2003
Islabi A. A, Dr. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset. 1997.
Kahf, Monzer, Ph.D. Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1978.
www. Google, http://pemikiran-ibnu-taimiyyah-tentang-mekanisme-pasar-dalam-ekonomi-islam/
http://suud83.wordpress.com/2009/03/27/mekanisme-pasar-islami-dan-pengendalian-harga/
www. Google, http://pemikiran-ibnu-taimiyyah-tentang-mekanisme-pasar-dalam-ekonomi-islam/





[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.) hlm. 301.
[2] Supriyatno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008.) hlm.  205.
[3] www. Google, http://pemikiran-ibnu-taimiyyah-tentang-mekanisme-pasar-dalam-ekonomi-islam/
[4] Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIT Indonesia, 2003) hlm.20
[5] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.) hlm. 301.
[6] www. Google, http://pemikiran-ibnu-taimiyyah-tentang-mekanisme-pasar-dalam-ekonomi-islam/

[7] http://suud83.wordpress.com/2009/03/27/mekanisme-pasar-islami-dan-pengendalian-harga/
[9]  Islabi, A. A, Dr. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997) hlm, 161.
[10] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hlm. 302-303.
[11]     Ekonomi Islam hlm, 183
[12]  Ekonomi islam hlm.184

[13]      Ibid,...
[14]  Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hlm. 304
[15] Ekonomi Islam hlm, 167.
[16] Ibid,..1. hlm. 304.

[17] Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: ITT Indonesia, 2003). Hlm,  27-30.
[18] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.) hlm. 305
[19] Karim, op.cit. halm,  31.
[20] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.) hlm. 305
[21] Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: ITT Indonesia, 2003). Hlm,  32
[22] Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: ITT Indonesia, 2003). Hlm,  33
[23] Karim, op.cit. hlm,  34
[24] Islabi, A. A, Dr. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997) hlm, 187.
[25] Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: ITT Indonesia, 2003). Hlm,  223
[26] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.) hlm. 307
[27] P3EI. Op.cit, hlm 308.
[28] Islabi, A. A, Dr. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997) hlm. 161.
[29] Islabi, op.cit. hlm. 161.
[30] Islabi A. A, Dr. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997) hlm, 162
[31] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.) hlm. 310-311.

[32] http://suud83.wordpress.com/2009/03/27/mekanisme-pasar-islami-dan-pengendalian-harga/

[33] http://suud83.wordpress.com/2009/03/27/mekanisme-pasar-islami-dan-pengendalian-harga/

[34] Ibid,..

[35] http://farisah-amanda.blogspot.com/2010/03/distorsi-pasar-dalam-perspektif-islam.html

Tidak ada komentar: