Sabtu, 15 Oktober 2011

“Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum”



        1
 
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Masa Usia Lanjut
(Tugas Sebagai mata kuliah Psikologi Agama)

Dosen Mata Kuliah
Widia Winata





                                                  




Disusun Oleh :
1.       
1.      Irvani Mufidah            (109018300083)
2.      Nadia Nur Khalishoh  (109018300110)
3.      Dini Wulandari  P.      (109018300      )
4.      Agi Nurahmadana       (109018300      )



PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDYATULLAH
JAKARTA
2011

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.Juga tidak lupa pula shalawat dan salam atas pemimpin umat islam yakni baginda besar Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikunya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah  berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang singkat ini dengan judul “ Konseling Behavior”. Makalah ini terdiri dari pokok-pokok bahasan materi yang membahas tentang konsep dasar, karakteistik konseling behavior, tujuan konseling behavior, fungsi dan peran konselor behavior, tokoh-tokoh aliran behavior (Ivan Pavlov, Skinner dan Albert Bandura), prinsip kerja teknik konseling behavioral, teknik-teknik konseling behavior, dan keterbatasan pendekatan konseling behavior. Materi ini disajikan secara ringkas yang kami ambil dari beberapa sumber referensi terpilih.
Terima kasih kepada Ibu Widia Winata … selaku dosen mata kuliah Psikologi Agama yang telah membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini. Selain itu kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman PGMI IV C, yang telah membaca dan mempelajari makalah ini. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi kita semua selaku calon masa depan anak bangsa.






Jakarta, 10 Mei 2011
  Penyusun   
      Kelompok 6 PGMI 4 C




BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkan.
Landasan pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik tolak berarti pengembangan kurikulum dapat didorong oleh pembaharuan tertentu seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat terhadap fungsi sekolah. Titik sampai berarti urikulum harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu, seperti dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan-tuntutan sejarah masa lalu, perbedaan latar belakang  murid, nilai-nilai masyarakat, dan tuntutan kultur terentu.[1]
Adapun landasan-landasan utama dalam pengembangan kurikulum yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya dan landasan perkembangan ilmu dan teknologi. Sedangkan pada makalah ini hanya dibahas tentang landasan filosofis, landasan psikologis serta landasan sosial budaya.



BAB II
“Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum”

A.    Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluru kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan di dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dsan penelitian yang mendalam.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, serta perkembangan ilmu dan teknologi.
B.     Landasan filosofis Pengembangan Kurikulum
a.         Pengertian
Istilah filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris “phylosophy”yang berasal dari perpaduan bahasa Yunani “philien” yang berarti cinta (love) dan “sophia”  (wisdom) yang berarti kebijaksanaan. Jadi  secara  etimologi  filsafat  berarti  cinta kebijaksanaan  atau love of wisdom.[2] Secara  operasional  filsafat  mengandung  dua  pengertian,  yakni sebagai  proses  (berfilsafat)  dan  sebagai  hasil  berfilsafat  (sistem teori  atau  pemikiran).
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip belajar serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal yang pokok yakni:
1)        Cita-cita nasional
2)        Kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat
Filsafat pendidikan sebagai suatu pandangan hidup bukan menjadi hiasan lidah belaka, melainkan harus meresapi tingkah laku semua anggota masyarakat. Nilai-nilai filsafat pendidikan harus dilaksanakan dalam perilaku sehari-hari. Hal ini menunjukkan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Filsafat pendidikan sebagai sumber tujuan. Secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa filsafat pendidikan adalah hal yang diyakini dan diharapkan oleh seseorang. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam filsafat pendidikan terkandung cita-cita  tentang model manusia yang diharapkan, sesuai dengan nilai-nilai yang disetujui oleh individu dan masyarakat. Karena itu, filsafat pendidikan harus dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum dan objektif.[3] Hopkin dalam bukunya interaction the Democratic process, mengemukakan kriteria, antara lain:
1.        Kejelasan, filsafat atau keyakinan harus jelas dan tidak boleh meragukan.
2.        Konsisten dengan kenyataan, berdasarkan penyelididkan yang akurat.
3.        Konsisten dengan pengalaman, yang sesuai dengan kehidupan individu.

b.      Cabang-cabang Filsafat
Ada tiga cabang besar filasafat, yaitu:
1.        Metafisika, yang membahas segala yang ada dalam alam ini dan membahas  hakikat  kenyataan  atau  realitas  yang  meliputi  (1) metafisika  umum,  dan  (2) metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam semesta),  teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
2.        Epistemologi, yang membahas kebenaran dan membahas  hakikat  pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan,  dan  batas-batas  pengetahuan);  dan  hakikat penalaran (induktif dan deduktif).
3.        Aksiologi, yang membahas  hakikat  nilai  dengan  cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).


c.       Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat  pendidikan  pada  dasarnya  adalah  penerapan  dari pemikiran-pemikiran  filsafat  untuk  memecahkan  permasalahan pendidikan.  Dengan  demikian  filsafat  memiliki  manfaat  dan memberikan  kontribusi  yang  besar  terutama  dalam memberikan kajian  sistematis  berkenaan  dengan  kepentingan  pendidikan. Nasution  (1982)  mengidentifikasi  beberapa  manfaat  filsafat pendidikan, yaitu:
1.    Filsafat  pendidikan  dapat  menentukan  arah  akan  dibawa  ke mana  anak-anak melalui  pendidikan di  sekolah? Sekolah  ialah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak ke arah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara.
2.     Dengan  adanya  tujuan  pendidikan  yang  diwarnai  oleh  filsafat yang  dianut,  kita mendapat  gambaran  yang  jelas  tentang  hasil yang  harus  dicapai. Manusia  yang  bagaimanakah  yang  harus diwujudkan melalui usaha-usaha pendidikan itu?
3.   Filsafat  dan  tujuan  pendidikan  memberi  kesatuan  yang  bulat kepada segala usaha pendidikan.
4.   Tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai.
5.  Tujuan  pendidikan  memberikan  motivasi  atau  dorongan  bagi kegiatan-kegiatan pendidikan.
d.      Hubungan Antara Filsafat Dengan Filsafat Pendidikan
Donald Butler (1957) mengatakan, filsafat memberikan arah & metodologi terhadap praktek pendidikan; praktek pendidikan memberikan bahan bagi pertimbangan filsafat
Brubacher (1950), mengemukakan 4 pandangan tentang hubungan ini :
a.       Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat pendidikan
b.      Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan
c.       Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin yang mungkin memberi keuntungan dari kontak dengan filsafat, tetapi kontak tersebut tidak penting
d.      Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu
John Dewey menyatakan, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama dengan kehidupan

C.     Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
a.         Pengertian
Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Prilaku-prilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya.
b.      Bidang-Bidang Psikologi yang Mendasari Kurikulum
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak tetap berkembang, tetapi dengan pendidikna di sekolah tahap perkembangannya menjadi lebih tinggi dan lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, perlu disesuaikan dengan pola-pola perkembangan anak. Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola perkembangan individu menjadi kejian Psikologi Perkembangan.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
1.        Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.[4] Psikologi   perkembangan  merupakan  cabang  dari  psikologi yang  mempelajari  proses  perkembangan  individu,  baik  sebelum maupun  setelah  kelahiran  berikut  kematangan  perilaku"  (J.P. Chaplin,  1979).  Sementara  itu  Ross  Vasta,  dkk.  (1992) mengemukakan  bahwa  psikologi  perkembangan  adalah  "Cabang psikologi  yang  mempelajari  perubahan  tingkah  laku  dan kemampuan  sepanjang  proses  perkembangan  individu  dari mulai masa  konsepsi  sampai  mati".
a.        Metode dalam psikologi perkembangan
Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan  dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, sejak lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkat usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkemmbangan dan kemampuan, serta perilaku mereka. Studi Psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini ba     nyak diarahkan mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut mereka pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert Huvighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode lain yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah dilakukan oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.[5]
b.      Teori perkembangan
Ada tiga teori pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferrensial (diferential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda.
Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja.
Dalam pendekatan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-pentahapan dari piaget, kholberg, Erikson, dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut piaget, yang terpenting adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problemayang dihadapi dalam lingkungannya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu:
1.      Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun
2.      Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun
3.      Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11 tahun
4.      Tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun
2.      Psikologi Belajar
Psikologi Belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikatagorikan sebagai perilaku belajar.
Menurut Morris L. Bigge dan Mourice P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.[6]
1.      Menurut rumpun teori mental secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
2.      Menurut rumpun teori belajar behaviorisme, anak atau individu tidak memiliki atau membawa potensin apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat atau berupa lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya). Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati.
3.      Rumpun ketiga yakni kognitif gestalt field, menyatakan belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan vcara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif.
D.    Landasan Sosiologis (Sosial Budaya) dalam Pengembangan Kurikulum
a.         Pengertian
 Landasan  sosiologis  pengembangan  kurikulum  adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam  pengembangan  kurikulum.  Mengapa  pengembangan kurikulum  harus  mengacu  pada  landasan  sosiologis?  Anak-anak berasal  dari  masyarakat,  mendapatkan  pendidikan  baik  informal, formal,  maupun  non  formal  dalam  lingkungan  masyarakat,  dan diarahkan  agar  mampu  terjun  dalam  kehidupan  bermasyarakat. Karena  itu  kehidupan  masyarakat  dan  budaya  dengan  segala karakteristiknya  harus  menjadi  landasan  dan  titik  tolak  dalam melaksanakan pendidikan.
Jika  dipandang  dari  sosiologi,  pendidikan  adalah  proses mempersiapkan  individu  agar  menjadi  warga  masyarakat  yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi,  dan berdasarkan pandangan  antrofologi,  pendidikan  adalah  “enkulturasi”  atau pembudayaan. “Dengan  pendidikan,  kita  tidak  mengharapkan muncul  manusia-manusia  yang  lain  dan  asing  terhadap masyarakatnya,  tetapi manusia yang  lebih bermutu, mengerti, dan mampu  membangun  masyarakatnya.  Oleh  karena  itu,  tujuan,  isi, maupun  proses  pendidikan  harus  disesuaikan  dengan  kondisi, karakteristik  kekayaan,  dan  perkembangan  masyarakat  tersebut”.[7] Untuk menjadikan peserta didik  agar  menjadi  warga  masyarakat  yang  diharapkan  maka pendidikan  memiliki  peranan  penting,  karena  itu  kurikulum  harus mampu  memfasilitasi  peserta  didik  agar  mereka  mampu  bekerja sama,  berinteraksi,  menyesuaikan  diri  dengan  kehidupan  di masyarakat  dan  mampu  meningkatkan  harkat  dan  martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya. 
Pendidikan  adalah  proses  sosialisasi melalui  interaksi  insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks  inilah anak didik dihadapkan  dengan  budaya  manusia,  dibina  dan  dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia. 
b.        Masyarakat dan Kurikulum
Masyarakat  adalah  suatu  kelompok  individu  yang diorganisasikan  mereka  sendiri  ke  dalam  kelompok-kelompok berbeda,  atau  suatu  kelompok  individu  yang  terorganisir  yang berpikir  tentang  dirinya  sebagai  suatu  yang  berbeda  dengan kelompok  atau  masyarakat  lainnya.  Tiap  masyarakat  mempunyai kebudayaan  sendiri-sendiri. Dengan  demikian,  yang membedakan  masyarakat  satu  dengan  masyarakat  yang  lainnya  adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan  pemikiran  seseorang,  dan  reaksi  seseorang  terhadap lingkungannya  sangat  tergantung  kepada  kebudayaan  dimana  ia hidup.
Menurut Daud Yusuf  (1982),  terdapat  tiga sumber nilai yang ada  dalam  masyarakat  untuk  dikembangkan  melalui  proses pendidikan,  yaitu:  logika,  estetika,  dan  etika.  Logika  adalah  aspek pengetahuan  dan  penalaran,  estetika  berkaitan  dengan  aspek emosi atau perasaan, dan etika berkaitan dengan aspek nilai.  Ilmu pengetahuan  dan  kebudayaan  adalah  nilai-nilai  yang  bersumber pada  logika  (pikiran).  Sebagai  akibat  dari  kemajuan  ilmu pengetahuan  dan  teknologi  yang  pada  hakikatnya  adalah  hasil kebudayaan  manusia,  maka  kehidupan  manusia  semakin  luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. 
Pendidikan harus mengantisipasi  tuntutan hidup  ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks  inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan  masyarakat.  Untuk  dapat  menjawab  tuntutan  tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga  dari  segi  pendekatan  dan  strategi  pelaksanaannya.  Oleh karena itu guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih  peka  mengantisipasi  perkembangan  masyarakat,  agar  apa yang diberikan kepada siswa  relevan dan berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat. 
Penerapan  teori,  prinsip,  hukum,  dan  konsep-konsep  yang terdapat  dalam  semua  ilmu  pengetahuan  yang  ada  dalam kurikulum,  harus  disesuaikan  dengan  kondisi  sosial  budaya masyarakat  setempat,  sehingga  hasil  belajar  yang  dicapai  oleh siswa  lebih  bermakna  dalam  hidupnya. Pengembangan  kurikulum hendaknya  memperhatikan  kebutuhan  masyarakat  dan perkembangan masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanner dan Tanner  (1984)  menyatakan  bahwa  tuntutan  masyarakat  adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, Light, dan  Keller  (1997)  memaparkan  tujuh  fungsi  sosial  pendidikan, yaitu:
1.         Mengajar keterampilan.
2.         Mentransmisikan budaya.
3.         Mendorong adaptasi lingkungan.
4.         Membentuk kedisiplinan.
5.         Mendorong bekerja berkelompok.
6.         Meningkatkan perilaku etik, dan
7.         Memilih bakat dan memberi penghargaan prestasi.
Perubahan sosial budaya, perkembangan  ilmu pengetahuan dan  teknologi  dalam  suatu  masyarakat  baik  secara  langsung maupun  tidak  langsung  akan  mengubah  kebutuhan  masyarakat. Kebutuhan masyarakat  juga  dipengaruhi  oleh  kondisi masyarakat itu  sendiri.  Masyarakat  kota  berbeda  dengan  masyarakat  desa, masyarakat tradisional berbeda dengan masyarakat modern.  Adanya  perbedaan  antara  masyarakat  satu  dengan masyarakat  lainnya  sebagian  besar  disebabkan  oleh  kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi lain,  kebutuhan  masyarakat  pada  umumnya  juga  berpengaruh terhadap  individu-individu  sebagai  anggota  masyarakat.  Oleh karena itu pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan  dasar  saja  tidak  akan  dapat  memenuhi  kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis dan mengglobal. Akan tetapi  pengembangan  kurikulum  juga  harus  ditekankan  pada pengembangan  individu  dan  keterkaitannya  dengan  lingkungan sosial setempat.  
Berdasarkan uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor  karakterstik  masyarakat  dalam  pengembangan  kurikulum. Salah  satu  ciri  masyarakat  adalah  selalu  berkembang. Perkembangan masyarakat  dipengaruhi  oleh  falsafah  hidup,  nilai-nilai,  IPTEK,  dan  kebutuhan  yang  ada  dalam  masyarakat. Perkembangan  masyarakat  menuntut  tersedianya  proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai  dengan  perkembangan  masyarakat  diperlukan  kurikulum yang  landasan  pengembangannya  memperhatikan  faktor perkembangan masyarakat.
c.       Kebudayaan dan Kurikulum
Kebudayaan  dapat  diartikan  sebagai  keseluruhan  ide  atau  gagasan,  cita-cita,  pengetahuan,  kepercayaan,  cara  berpikir, kesenian, dan nilai yang  telah disepakati oleh masyarakat. Daoed Yusuf  (1981)  mendefinisikan  kebudayaan  sebagai  segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika) serta  perasaan  (estetika)  manusia  dalam  rangka  perkembangan kepribadian  manusia,  pekembangan  hubungan  dengan  manusia, hubungan manusia  dengan  alam,  dan hubungan manusia  dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
a)         Ide,  konsep,  gagasan,  nilai,  norma,  peraturan,  dan  lain-lain. Wujud kebudayaan  ini bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada.   
b)        Kegiatan,  yaitu  tindakan  berpola  dari  manusia  dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial,  aktivitas  manusia  bersifat  konkrit,  bisa  dilihat,  dan diobservasi.  Tindakan  berpola  manusia  tentu  didasarkan  oleh wujud  kebudayaan  yang  pertama.  Artinya,  sistem  sosial  dalam bentuk  aktivitas  manusia  merupakan  refleksi  dari  ide,  konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya.
c)         Benda  hasil  karya manusia. Wujud  kebudayaan  yang  ketiga  ini ialah  seluruh  fisik  perbuatan  atau  hasil  karya  manusia  di masyarakat. Oleh  karena  itu wujud  kebudayaan  yang  ketiga  ini adalah produk  dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Faktor  kebudayaan  merupakan  bagian  yang  penting  dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:
1)        Individu  lahir  tidak  berbudaya,  baik  dalam  hal  kebiasaan,  cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya,  keluarga,  masyarakat  sekitar,  dan  sekolah/lembaga pendidikan.  Oleh  karena  itu,  sekolah/lembaga  pendidikan mempunyai  tugas  khusus  untuk  memberikan  pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
2)        Kurikulum  pada  dasarnya  harus mengakomodasi  aspek-aspek sosial  dan  budaya.  Aspek  sosiologis  adalah  yang  berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, seperti masyarakat  industri,  pertanian,  nelayan,  dan  sebagainya. Pendidikan  di  sekolah  pada  dasarnya  bertujuan  mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan  beradaptasi  dengan  anggota  masyarakat  lainnya  serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai mahluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat untuk  mencapai  tujuan  pendidikan  harus  bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan. 

BAB III
KESIMPULAN

Pada  prinsipnya  ada  empat  landasan  pokok  yang  harus dijadikan dasar dalam setiap pengembangan kurikulum, dan sesuai dengan inti pembahasan kami maka dapat disimpulkan tiga landasan pengembangan kurikulum, yakni sebagai berikut :
1.      Landasan Filosofis,
 yaitu asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, hakikat  manusia, hakikat  pengetahuan,  dan  hakikat  nilai  yang menjadi  titik  tolak  dalam  mengembangkan  kurikulum.  Asumsi-asumsi  filosofis  tersebut  berimplikasi  pada  permusan  tujua pendidikan,  pengembangan  isi  atau  materi  pendidikan, penentuan  strategi,  serta  pada  peranan  peserta  didik  dan peranan pendidik.
2.      Landasan  psikologis
adalah  asumsi-asumsi  yang  bersumber dari  psikologi  yang  dijadikan  titik  tolak  dalam mengembangkan kurikulum.  Ada  dua  jenis  psikologi  yang  harus  menjadi  acuan yaitu  psikologi  perkembangan  dan  psikologi  belajar.  Psikologi perkembangan  mempelajari  proses  dan  karaktersitik  perkembangan  peserta  didik  sebagai  subjek  pendidikan, sedangkan  psikologi  belajar  mempelajari  tingkah  laku  peserta didik  dalam  situasi  belajar.  Ada  tiga  jenis  teori  belajar  yang mempunyai  pengaru  besar  dalam  pengembangan  kurikulum, yaitu teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistic.
3.      Landasan sosial budaya
adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari  sosiologi  dan  antrofologi  yang  dijadikan  titik  tolak  dalam mengembangkan kurikulum. Karakterstik sosial budaya di mana peserta didik hidup  berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangkan.


DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Mudyahardo, Redja.(2008). Landasan-Landasan  Filosofis Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI

Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty. (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sukmadinata,  Nana  Syaodih. (1997). Pengembangan  Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya



[1] Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993). Hlm. 46

[2]  Redja Mudyahardo, Landasan-Landasan  Filosofis Pendidikan, (Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, 2008) hal.83
[3] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara:2008)hal, 19-20
[4] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 46
[5] Ibid,  hlm. 46-47.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 52-55
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 58

Tidak ada komentar: